Will Smith kembali menyapa dunia musik lewat tur Eropa bertajuk Based on a True Story, sebuah langkah besar setelah dua dekade vakum dari dunia rekaman. Dalam salah satu unggahan terbarunya di media sosial, Smith membagikan video yang memperlihatkan lautan penggemar bersorak menyemangatinya.
“Bagian favoritku dari tur ini adalah melihat kalian semua dari dekat. Terima kasih sudah melihatku juga,” tulisnya dalam keterangan video yang dilansir dari Techcrunch, Jumat (29/8/2025).
Namun, di balik semangat dan cinta yang terpancar dari ribuan penonton, muncul pertanyaan yang mengguncang: apakah semua itu nyata? Video yang awalnya terlihat autentik ternyata menyimpan kejanggalan.
Wajah-wajah penonton tampak buram, ekspresi mereka kaku, dan beberapa tangan terlihat memiliki jumlah jari yang tidak masuk akal. Bahkan, beberapa banner yang dibentangkan berubah secara aneh, dari “Lov U Fresh Prince” menjadi “Lov U Fr6sh Crince”.
Kejanggalan ini memicu spekulasi bahwa video tersebut menggunakan teknologi AI generatif untuk menciptakan kerumunan virtual. Tuduhan ini menjadi pukulan berat bagi Smith, yang masih berusaha memulihkan citranya setelah insiden kontroversial di panggung Oscar beberapa tahun lalu.
Jika benar bahwa timnya menggunakan AI untuk memperindah suasana konser atau bahkan mengarang kisah emosional tentang penggemar yang bertahan hidup berkat musiknya, maka kepercayaan publik bisa runtuh seketika.
Meski belum ada konfirmasi resmi dari pihak Smith, beberapa pengamat teknologi seperti Andy Baio menunjukkan bahwa foto dan video serupa telah diunggah sebelumnya oleh Smith selama tur berlangsung.
Artinya, kemungkinan besar timnya menggabungkan rekaman asli dengan elemen visual berbasis AI untuk menciptakan narasi yang lebih dramatis. Sayangnya, di era digital yang serba cepat, publik jarang meluangkan waktu untuk menelusuri arsip unggahan lama. Yang tersisa hanyalah kesan bahwa Smith memalsukan dukungan penggemarnya.
Situasi ini semakin rumit karena YouTube baru-baru ini menguji fitur peningkatan visual otomatis pada Shorts, yang menggunakan pembelajaran mesin untuk menghilangkan noise dan meningkatkan kejernihan gambar. Ironisnya, fitur ini justru membuat video Smith terlihat semakin tidak natural, memperkuat dugaan bahwa kerumunan dalam video tersebut adalah hasil rekayasa digital.
Di tengah perdebatan ini, muncul pertanyaan etis yang lebih besar: apakah penggunaan AI dalam konten promosi bisa dianggap sebagai bentuk penipuan? Beberapa orang berargumen bahwa AI hanyalah alat kreatif, seperti halnya autotune dalam musik atau Photoshop dalam fotografi. Namun, publik tampaknya lebih sensitif terhadap manipulasi berbasis AI, terutama jika menyangkut emosi dan pengalaman nyata.
Ketika seorang artis mulai kehilangan kepercayaan dari penggemarnya, jalan untuk memulihkannya bisa sangat panjang dan terjal. Dalam kasus Will Smith, yang selama ini dikenal sebagai ikon budaya pop dan inspirasi lintas generasi, kontroversi ini bisa menjadi titik balik yang menentukan. Apakah ia akan menjelaskan secara terbuka? Atau membiarkan publik menafsirkan sendiri?
Yang jelas, di era di mana batas antara realitas dan rekayasa semakin kabur, kejujuran menjadi mata uang paling berharga. Dan bagi seorang bintang sebesar Will Smith, setiap langkah digital bukan hanya soal estetika tetapi juga soal integritas.