Isu pembatasan WhatsApp di Rusia kembali mencuat setelah Anton Gorelkin, Wakil Ketua Komite Teknologi Informasi di majelis rendah parlemen, secara terbuka menyatakan bahwa aplikasi pesan instan milik Meta harus siap angkat kaki dari pasar Rusia.
Pernyataan ini muncul menyusul laporan Reuters yang menyebut pemerintah mungkin memasukkan WhatsApp ke dalam daftar perangkat lunak terlarang, mengikuti jejak Facebook dan Instagram yang sejak 2022 sudah diblokir setelah perusahaan induknya dinyatakan sebagai “organisasi ekstremis”.
Dikutip dari Engadget, Senin (21/7/2025), dalam catatan Kremlin, langkah ini diambil untuk mengamankan ruang digital nasional dari pengaruh asing yang dianggap mengancam stabilitas negara.
Pekan ini, Presiden Vladimir Putin mengeluarkan arahan bagi lembaga-lembaga pemerintahan untuk memperketat regulasi terhadap aplikasi komunikasi yang berafiliasi dengan negara-negara “tidak bersahabat” yang telah menjatuhkan sanksi kepada Rusia.
Tenggat waktu 1 September ditetapkan sebagai batas akhir untuk menuntaskan daftar aplikasi yang akan dibatasi. Meski belum ada daftar final yang diungkap publik, sinyal kuat mengarah pada WhatsApp sebagai salah satu kandidat utama.
Di kalangan elite politik Moskow, wacana ini dinilai sejalan dengan upaya menciptakan “kedaulatan digital” di tengah ketegangan geopolitik.
Pada Juni lalu, Putin menandatangani undang-undang ambisius yang mendorong pengembangan aplikasi pesan singkat nasional bernama MAX. Aplikasi ini dipersiapkan untuk terintegrasi langsung dengan layanan pemerintah, mulai dari administrasi publik hingga sistem pembayaran digital.
Dengan regulasi baru tersebut, platform buatan dalam negeri diharapkan dapat menggantikan ketergantungan pada produk asing, sekaligus mempermudah pengawasan konten yang melintas di ruang siber Rusia. Inisiatif ini dianggap bagian dari strategi jangka panjang untuk mengurangi jejak digital perusahaan besar asal Barat.
Dampak langsung dari rencana pelarangan WhatsApp diprediksi akan membuka peluang bagi MAX dan pengembang lokal lainnya untuk memperluas pangsa pasar. Anton Gorelkin bahkan menyebut bahwa memaksa WhatsApp berhenti beroperasi di Rusia akan mengakselerasi migrasi pengguna ke aplikasi dalam negeri yang lebih mudah diatur.
Meski ambang batas adopsi MAX belum jelas, tren transisi ke layanan lokal sudah terlihat saat Telegram bersedia mematuhi persyaratan pembukaan kantor perwakilan di Moskow agar bisa terus melayani pengguna.
Di saat kebijakan membatasi layanan asing semakin kencang, masyarakat Rusia dihadapkan pada dilema antara kebebasan memilih aplikasi favorit dan tuntutan kepatuhan terhadap hukum setempat.
Sejak invasi ke Ukraina pada 2022, pemerintah Moskow gencar menerapkan mekanisme pemblokiran URL, throttling akses, hingga denda bagi penyedia dan pengguna layanan yang dinyatakan “ekstremis”.
Kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran soal privasi dan kebebasan berekspresi, terutama setelah muncul desakan untuk menurunkan kecepatan layanan WhatsApp agar publik beralih ke alternatif lokal.
Langkah pemerintah Rusia ini juga memicu sorotan internasional mengenai konsep kedaulatan siber. Sementara di satu sisi Moskow berupaya menjaga keamanan nasional, di sisi lain kebijakan pembatasan aplikasi dapat mendorong fragmentasi internet global.
Perusahaan teknologi asing yang masih bertahan di Rusia pun dihadapkan pada pilihan sulit: tunduk pada regulasi ketat atau meninggalkan pasar yang selama ini menjadi jantung komunikasi digital bagi puluhan juta pengguna.
Sejauh ini, Meta selaku pemilik WhatsApp belum mengeluarkan pernyataan resmi menanggapi ultimatum dari parlemen Rusia. Namun bila rencana pemblokiran benar-benar dilaksanakan, konsekuensinya tidak hanya mengguncang ekosistem komunikasi sehari-hari, tetapi juga berpotensi memengaruhi hubungan bisnis lintas negara.
Dalam konteks persaingan teknologi global, keputusan Rusia memblokir WhatsApp menjadi cerminan betapa politik dan keamanan negara kini berperan dominan dalam menetapkan masa depan layanan digital.
Dengan waktu yang terus berjalan menuju batas 1 September, perhatian kini tertuju pada apakah Kremlin benar-benar akan memberlakukan larangan penuh terhadap WhatsApp, atau justru menunda kebijakan demi mengkaji dampak luasnya.
Sementara itu, perdebatan soal kedaulatan digital versus aksesibilitas informasi makin hangat diperbincangkan, menandai babak baru dalam evolusi regulasi internet di tengah polaritas geopolitik yang terus memanas.