Ajang GITEX 2025 di Singapura, yang digelar pada 23 hingga 25 April 2025 yang lalu, menjadi titik temu penting bagi para pemimpin industri teknologi global untuk berdiskusi, berkolaborasi, dan menampilkan inovasi terkini.
Salah satu topik yang mendapat sorotan besar adalah keamanan siber, yang kini menjadi pilar utama dalam transformasi digital berbagai negara, termasuk Indonesia.
Dalam wawancara eksklusif bersama Yuliya Shlychkova, Vice President, Global Government Affairs and Public Policy at Kaspersky di GITEX 2025 Singapura, Mashable Indonesia mengulas pandangannya tentang kondisi keamanan siber di Indonesia, peran teknologi AI, serta pentingnya kolaborasi lintas sektor demi menciptakan ekosistem digital yang aman dan berkelanjutan. Berikut adalah petikan wawancaranya.
Baca juga: Ancaman Siber Lewat Perangkat Fisik Meningkat di Asia Tenggara, Kaspersky Ungkap Fakta Mengejutkan
Mashable Indonesia: Hai Yulia, apa kabar?
Yuliya: Hai, kabar Saya baik, senang bertemu dengan Anda.
Mashable Indonesia: Baik, langsung saja yah. Saya ada beberapa pertanyaan seputar AI dan kebijakan kepada Anda.
Mashable Indonesia: Bagaimana pandangan Kaspersky terhadap kondisi keamanan siber di Indonesia saat ini, terutama dalam tantangan dan peluang?
Yuliya: Ada hal baik dan hal buruk. Hal baiknya adalah Indonesia telah mencapai kemajuan signifikan dalam hal digitalisasi, penggunaan internet, serta digitalisasi layanan pemerintah dan layanan keuangan. Ini merupakan pencapaian positif.
Namun di sisi lain, para pelaku kejahatan siber juga memanfaatkan digitalisasi ini untuk keuntungan mereka. Sayangnya, karena hal ini, Indonesia berada di peringkat tiga teratas di Asia Tenggara dalam hal jumlah serangan ransomware dan serangan lewat email.
Maka dari itu, tren kejahatan siber ini membutuhkan kolaborasi dari semua pihak, baik sektor keamanan siber, perusahaan swasta, maupun pemerintah untuk mengatasi masalah ini.
Mashable Indonesia: Langkah apa yang harus diambil Indonesia untuk memperkuat infrastruktur keamanan sibernya, khususnya di sektor pemerintahan?
Yuliya: Selalu ada tiga elemen: manusia, proses, dan teknologi. Dan sangat penting untuk memulai dari manusia, memastikan bahwa semua pegawai pemerintah, di semua level, memiliki kesadaran terhadap isu-isu keamanan siber.
Karena kita semua memiliki banyak peran. Misalnya saya, setelah jam 7 malam saya adalah seorang ibu, tapi sebelum itu saya adalah karyawan perusahaan. Namun ponsel saya menggabungkan semua peran itu.
Hal yang sama berlaku untuk pejabat pemerintah, jadi mereka juga harus sadar akan isu-isu keamanan siber agar tidak menjadi korban di luar sistem perlindungan pemerintah.
Saya percaya pelatihan dan peningkatan kesadaran harus diperkuat, dan di sinilah sektor swasta seperti kami bisa membantu.
Terlebih lagi dengan hadirnya teknologi baru seperti AI, kebutuhan akan kesadaran ini jadi makin relevan. Karena orang-orang dan pejabat pemerintah perlu memahami teknologi, risiko yang bisa ditimbulkan, dan cara menghadapinya.
Adopsi teknologi baru dan risiko keamanan siber ini adalah area lain yang harus diperhatikan, dan sektor swasta seperti kami bisa berperan di situ.
Mashable Indonesia: Kaspersky punya Transparency Center di Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan. Apakah ada rencana membangun pusat serupa di Indonesia?
Yuliya: Kami selalu mempertimbangkan kebutuhan pelanggan dan mitra kami. Transparency Center kami bangun ketika ada permintaan dari pihak pemerintah atau pelanggan.
Baca juga: Lindungi Ruang Digital Nasional, Komdigi Bekukan Izin Worldcoin dan WorldID!
Saya bangga mengatakan bahwa BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara), regulator Indonesia, pernah mengunjungi pusat transparansi kami di Turin, Italia. Kami memperlihatkan praktik kami dan source code.
Jadi, jika ada permintaan dari regulator Indonesia, kami siap menanganinya. Namun sejauh ini, kami belum memiliki rencana konkret untuk membangun Transparency Center di Indonesia. Tapi semua pusat lain kami terbuka untuk dikunjungi pelanggan dan regulator dari Indonesia.
Mashable Indonesia: Selain permintaan, adakah syarat khusus dari Kaspersky untuk membangun Transparency Center di suatu negara?
Yuliya: Ini murni inisiatif dari kami, bukan kewajiban. Kami percaya ini adalah praktik terbaik, dan akan lebih baik jika vendor lain juga mengikuti.
Karena dalam situasi geopolitik dan ancaman rantai pasok saat ini, menurut kami sangat penting bagi vendor untuk tidak beroperasi seperti “kotak hitam”, tapi membuka teknologi mereka untuk edukasi.
Keputusan tentang lokasi Transparency Center sangat tergantung pada banyaknya permintaan dari negara atau wilayah tersebut untuk melihat atau mengecek source code kami.
Saat pandemi COVID-19, karena pembatasan perjalanan, kami bahkan membuka opsi review secara online.
Jadi bukan soal kami punya atau tidak punya pusat transparansi di suatu negara, tapi soal bagaimana kami bisa memenuhi permintaan dari pemerintah atau perusahaan. Dan kami punya banyak opsi untuk itu, baik dengan kunjungan langsung atau secara daring.
Mashable Indonesia: AI saat ini sangat populer. Negara mana saja yang menjadi fokus Kaspersky dalam pengembangan kebijakan AI?
Yuliya: Kami melihat pengembangan kebijakan AI sebagai usaha internasional. AI punya potensi besar yang sangat luar biasa, dan banyak negara termasuk Indonesia telah mengembangkan strategi nasional AI mereka.
Kami mencoba untuk berkontribusi di semua level, baik internasional maupun lokal dalam diskusi dan masukan terhadap kebijakan nasional.
Kami percaya hal penting yang perlu dijaga adalah harmonisasi standar dan regulasi AI antarnegara. Karena kalau setiap negara punya aturan yang berbeda-beda, itu akan menyulitkan perusahaan global seperti kami.
Kaspersky juga mendorong praktik keamanan siber dalam penggunaan AI di tingkat internasional. Kami menandatangani komitmen penggunaan AI yang aman di Global Compact (inisiatif PBB), juga bergabung dalam kelompok kerja UNIDO untuk AI di bidang manufaktur.
Kami juga ikut dalam Forum Tata Kelola Internet PBB pada Desember lalu dan memperkenalkan panduan penggunaan AI yang aman.
Karena saat ini, regulasi lebih fokus pada infrastruktur digital, kesiapan SDM, dan pengembangan teknologi. Namun belum banyak yang fokus pada aspek keamanan penggunaannya, terutama bagi UKM.
Saat ini AI digunakan oleh semua kalangan, termasuk bisnis kecil dan menengah. Bahkan ada penggunaan AI di luar pantauan tim IT.
Karena itu, kami kembangkan panduan mudah seperti daftar periksa agar organisasi bisa menggunakan AI secara aman. Kami juga ingin pemerintah menyebarkan panduan penggunaan AI yang aman, meski bersifat rekomendasi, bukan kewajiban hukum.
Mashable Indonesia: Masih soal AI, bagaimana AI bisa memperkuat keamanan siber?
Yuliya: AI dan machine learning sudah digunakan dalam keamanan siber selama lebih dari satu dekade. Karena jumlah ancaman siber sangat besar, tidak mungkin semuanya dideteksi secara manual oleh manusia.
Awalnya, machine learning hanya digunakan untuk tugas-tugas rutin dan mendeteksi malware sederhana. Tapi kini, AI digunakan untuk mendeteksi ancaman tingkat lanjut.
Misalnya, dengan AI di produk Kaspersky Unified Monitoring and Analysis (KUMA) kami (produk SIEM), kami berhasil mendeteksi kampanye mata-mata siber canggih yang memanfaatkan celah di iOS. Ini kami temukan di jaringan internal kami sendiri.
AI sangat penting dalam pertahanan, tapi juga digunakan oleh pelaku kejahatan siber. Mereka pakai AI untuk membuat phishing lebih meyakinkan dengan suara, gambar, dan video. Ini berbahaya karena serangan terjadi di interaksi pertama antara pengguna dan pesan jahat tersebut.
Pelaku kejahatan siber juga otomatisasi banyak tugas mereka. Di forum dark web, mereka cari cara agar lebih efisien. Dan sayangnya, setiap tahapan dalam produksi AI, dari data pelatihan, algoritma, hingga distribusi aplikasi bisa jadi titik lemah.
Kami sudah melihat data set yang dimanipulasi, serangan terhadap prompt, dan algoritma yang dibuat “berperilaku aneh”. Maka kami terus memantau dan berusaha melindungi dari semua sisi ini.
Mashable Indonesia: Pertanyaan terakhir, apa tantangan utama dalam mengembangkan AI yang aman dan etis di negara seperti Australia, Singapura, AS, dan Indonesia?
Yuliya: Negara-negara seperti yang Anda sebutkan sebenarnya sudah cukup matang dalam hal praktik keamanan. Tantangan terbesar justru ada di negara-negara yang masih minim infrastruktur digital, kurang tenaga ahli, dan belum memiliki regulasi yang kuat.
Untuk mengembangkan AI yang aman, dibutuhkan infrastruktur digital, pasokan energi, SDM yang terdidik, serta sistem keamanan siber dan regulasi yang matang. Negara-negara seperti Australia, Singapura, dan AS bisa jadi contoh baik.
Pada akhirnya, wawasan yang disampaikan Kaspersky dalam wawancara ini menegaskan bahwa keamanan siber bukan hanya tanggung jawab teknis, melainkan tanggung jawab kolektif yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.
Dengan meningkatnya adopsi AI dan digitalisasi di berbagai lini, forum seperti GITEX 2025 di Singapura menjadi sangat relevan untuk membentuk strategi bersama menghadapi ancaman siber global.
Indonesia, dengan semua potensi dan tantangannya, bisa mengambil peran strategis dalam peta keamanan digital regional, asal mampu membangun kolaborasi yang kuat dan terbuka terhadap praktik transparansi.