Pormadi Simbolon (Pembimas Katolik Kanwil Kemenag Banten, penulis buku Pemikiran Zygmunt Bauman (Kanisius, 2024)
Dulu, pengawasan adalah tentang mata negara yang mengintai dan mengawasi dari atas, persis seperti konsep panopticon, penjara di mana narapidana merasa selalu diawasi. Kita mendisiplinkan diri karena merasa diawasi secara vertikal oleh kekuasaan.
Namun kini, di era digital yang serba cair, pengawasan telah bermetamorfosis. Ia tak lagi vertikal, melainkan menyebar horizontal, bahkan kita sendiri yang seringkali sukarela membagikan hidup kita untuk diawasi.
Fenomena ini, yang disebut para sosiolog sebagai synopticon dan liquid surveillance, bukan hanya mengubah cara kita berinteraksi, tapi juga menjebak kita dalam fatamorgana citra dan kedangkalan.
Dari Pengawasan Vertikal ke Horizontal
Michel Foucault menggunakan panopticon untuk menjelaskan bagaimana kekuasaan modern bekerja: menginternalisasi kontrol agar individu patuh. Namun, Thomas Mathiesen memperkenalkan synopticon: di mana banyak orang mengawasi segelintir figur publik. Era digital membawa konsep ini lebih jauh, menciptakan ruang di mana setiap individu menjadi pengawas sekaligus yang diawasi. Lewat media sosial, kita tak henti “melihat dan dilihat”.
Sosiolog Zygmunt Bauman menyebut era kita sebagai “modernitas cair,” di mana segala hal—struktur sosial, nilai, identitas—berubah cepat. Dalam masyarakat cair ini, ia bersama David Lyon mengembangkan konsep liquid surveillance, di mana pengawasan menjadi terdesentralisasi, tersebar, cair, dan seringkali sukarela. Kita, tanpa sadar, menjadi bagian dari sistem pengawasan ini dengan membagikan data dan informasi pribadi. Garis antara pengawas dan yang diawasi pun kian kabur.
Jebakan Citra dan Kedangkalan
Pergeseran ini membawa dilema. Di satu sisi, ada kebebasan berekspresi. Namun di sisi lain, muncul jebakan baru: tekanan untuk selalu tampil menarik dan sempurna di hadapan publik digital. Kita tidak lagi hidup dalam sorotan kekuasaan negara semata, tetapi dalam tekanan algoritma, opini mayoritas, dan standar viralitas.
Fenomena ini nyata di Indonesia. Media sosial menjadi arena penghakiman massal. Perilaku seseorang bisa direkam, disebarluaskan, dan dihakimi tanpa konteks utuh atau proses hukum yang adil. Figur publik, pejabat, bahkan tokoh agama, kerap dinilai dari potongan video atau kutipan singkat, bukan dari rekam jejak atau esensi substansialnya.
Yang miris, seorang tersangka koruptor, tiba-tiba berubah menggunakan simbol-simbol religius membentuk citra di mata publik. Yang tampak adalah citra “positif” tapi hanya selubung belaka. Pelaku berusaha tampil dengan citra palsu.
Logika ini merambah ke berbagai sektor, termasuk pendidikan dan pelayanan publik. Sekolah, lembaga keagamaan, bahkan ada instansi pemerintah seringkali “tampil baik” demi citra di media, bukan untuk pelayanan substantif. Keberhasilan diukur dari realisasi anggaran atau viralitas dokumentasi kegiatan, bukan dari dampak nyata atau kedalaman transformasi yang dihasilkan. Kehidupan religius seolah bukan lagi tentang makna, melainkan tentang citra dan kedangkalan imaji belaka. Padahal beragama tidak sama dengan beriman sejati.
Menjadi Manusia Reflektif di Tengah Arus
Di tengah kecairan ini, kita justru membutuhkan sikap dan pendirian yang kokoh sebagai insan beragama dan beriman. Kita butuh nilai yang tak mudah digoyahkan oleh tren sesaat, serta integritas dan tanggung jawab moral individu yang tidak tergantung pada jumlah likes atau validasi digital.
Maka, pertanyaan utamanya adalah: bagaimana kita tetap menjadi manusia yang reflektif di tengah arus synopticon dan liquid surveillance? Kita butuh literasi digital yang tidak hanya teknis, tetapi juga etis. Masyarakat perlu dididik untuk tidak sekadar mengawasi, tetapi juga memahami dan kritis. Tidak sekadar tampil viral, tetapi bertanggung jawab. Tidak hanya beragama sebagai identitas, tetapi religius dan berdampak nyata bagi sesama.
Perubahan dari panopticon ke pengawasan cair (liquid surveillance) adalah cermin masyarakat kita yang kompleks dan sebagai dampak kemajuan teknologi komunikasi. Namun, di tengah keterhubungan yang intens ini, kita tidak boleh kehilangan jati diri sebagai subjek moral, insan religius dan bertanggung jawab. Karena tanpa kesadaran dan empati, kita hanya akan menjadi kerumunan yang ramai namun sunyi, hidup bersama tapi tidak saling memahami, hidup beragama tetapi tidak beriman. Semoga.
Pormadi Simbolon, Pembimas Katolik Kanwil Kemenag Banten, penulis buku Pemikiran Zygmunt Bauman (Kanisius, 2024).