Praktik ini mengacu pada kecenderungan sejumlah perusahaan yang mengklaim produk atau layanan mereka “berbasis AI” untuk menarik perhatian pasar, padahal kenyataannya penggunaan teknologi AI di dalamnya sangat minim, bahkan bisa jadi sama sekali tidak ada.
Melansir dari Itpro.com, Chris Carreiro, CTO dari penyedia layanan TI Park Place Technologies, menyamakan fenomena ini dengan praktik greenwashing, di mana perusahaan melebih-lebihkan komitmen lingkungan mereka. “AI washing adalah taktik pemasaran menyesatkan yang memberikan kesan palsu tentang kemajuan teknologi sebuah produk,” ujarnya.
Laporan dari firma analis Gartner bahkan telah menyoroti fenomena ini dalam lebih dari 70 publikasi mereka. Justin Sharrocks, Managing Director Trusted Tech untuk wilayah Inggris dan Uni Eropa, menambahkan, “Rasanya seperti tekanan sosial di sekolah. Kalau kamu tidak menyebut-nyebut AI, kamu terlihat ketinggalan zaman.”
Alhasil, pasar kini dibanjiri alat dan sistem yang diklaim ‘ditenagai AI’, padahal sering kali hanyalah otomasi sederhana atau sistem berbasis aturan (rule-based systems) tanpa kemampuan olah data kompleks yang seharusnya dimiliki model AI sejati.
Menginvestasikan dana dalam produk yang diklaim berbasis AI namun ternyata tidak, bukan hanya membuang biaya, tetapi juga bisa berdampak buruk pada tujuan bisnis seperti peningkatan efisiensi atau produktivitas yang gagal tercapai.
Dalam industri yang diatur secara ketat, seperti keuangan atau kesehatan, kesalahan ini bahkan bisa berujung pada pelanggaran hukum, ancaman keamanan data, dan risiko reputasi.
“Jika sebuah produk diklaim berbasis AI generatif namun vendor tidak transparan soal teknologinya, pembeli bisa salah mengira sistem tersebut memiliki perlindungan siber yang memadai. Ketika produk tersebut menjadi bagian dari sistem lain, risiko keamanan bisa meningkat karena tidak adanya pemahaman jelas soal jenis AI yang digunakan,” kata Bern Elliot, Wakil Presiden di Gartner.
Elliot juga memperingatkan soal ancaman serius seperti prompt injection—serangan terhadap sistem AI yang tidak memiliki proteksi cukup. Tanpa transparansi dari pihak vendor, pelanggan tidak bisa memastikan adanya langkah mitigasi terhadap ancaman ini.
Yang lebih mengkhawatirkan, praktik AI washing juga bisa merusak kepercayaan publik terhadap teknologi AI itu sendiri. Ketika realita tidak sesuai ekspektasi akibat klaim palsu, masyarakat bisa menjadi skeptis terhadap solusi AI yang benar-benar bermanfaat. “Ini akan memperlambat adopsi AI yang sebenarnya bisa membawa inovasi besar di dunia bisnis,” tambah Sharrocks.
Cara Menghindari Terjebak AI Washing
Di tengah hiruk-pikuk pemasaran AI, membedakan antara produk yang sungguh berbasis AI dan yang hanya menempelkan label palsu bisa jadi sulit, apalagi belum adanya regulasi ketat atau definisi universal soal AI.
Chris Carreiro menyarankan agar perusahaan tidak terpaku pada jargon, tetapi menggali lebih dalam. “Tanyakan bagaimana AI diimplementasikan. Apakah menjadi bagian inti dalam pengambilan keputusan, atau hanya sekadar tambahan kecil pada fitur yang sebenarnya berbasis analitik biasa?”
Ia juga menganjurkan agar pembeli meminta bukti konkret, seperti studi kasus, metrik performa, atau peningkatan yang dapat diukur. “Implementasi AI yang asli harus bisa menunjukkan hasil nyata yang tidak mungkin dicapai hanya dengan sistem otomasi biasa.”
Meski ekosistem AI saat ini masih mirip “Wild West”, pemerintah dan regulator mulai mengambil langkah. Di Amerika Serikat, SEC telah menjatuhkan denda pada dua perusahaan investasi, Delphia dan Global Predictions, karena memberikan klaim menyesatkan terkait penggunaan AI.
Sharrocks menambahkan bahwa otoritas di Inggris dan Uni Eropa pun mulai memperketat pengawasan. Ia memperkirakan akan muncul regulasi serupa dengan GDPR, tapi fokus pada pemasaran dan penggunaan AI secara akurat dan bertanggung jawab. Hal ini diharapkan menciptakan transparansi lebih baik dan melindungi konsumen dari klaim palsu.