Wamenag Romo Muhammad Syafi’i, melakukan pertemuan dengan Kepala Densus 88 Antiteror, Sentot Prasetyo
Tangsel (Kemenag) — Wakil Menteri Agama (Wamenag) RI, Romo Muhammad Syafi’i, melakukan pertemuan dengan Kepala Densus 88 Antiteror, Sentot Prasetyo, di Kantor Lemdiklat Polri, Ciputat. Pertemuan ini digelar untuk merespons perkembangan kasus Aparatur Sipil Negara (ASN) Kemenag yang menjadi tersangka anggota kelompok Negara Islam Indonesia (NII) faksi MYT di Aceh.
Turut hadir dalam pertemuan ini, Inspektur Jenderal Kemenag, Khairunas.
Dalam pernyataannya, Wamenag menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam menyikapi kasus tersebut. Ia meminta seluruh pihak mengedepankan informasi yang akurat dan tidak gegabah dalam memberikan label terhadap individu yang sedang berproses hukum.
“Kita perlu kehati-hatian dan informasi yang akurat. Apakah benar seluruh unsur yang menyebabkan mereka disebut sebagai teroris sudah terbukti? Jika benar, maka kita serahkan sepenuhnya kepada proses hukum. Namun, sejauh ini, kita belum mendengar adanya tindakan kekerasan yang mengancam nyawa dari pihak yang bersangkutan,” tegas Wamenag, Kamis (7/8/2025).
Wamenag mengingatkan bahwa keterkaitan dengan kelompok ideologis seperti NII tidak serta-merta berarti terlibat dalam tindak pidana terorisme. Menurutnya, Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme secara tegas mensyaratkan adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menyebut seseorang sebagai teroris.
“Saya setuju dengan pemberantasan jaringan teror, tapi mohon agar semua dilakukan sesuai undang-undang. Jangan sampai seseorang yang bukan teroris diekspos sebagai teroris,” pungkas Romo, panggilan akrabnya.
“Maka, tidak boleh ada pelabelan teroris secara gegabah tanpa dasar hukum dan fakta yang jelas. Jika hanya terkait paparan ideologi tertentu, undang-undang kita sudah menyediakan mekanisme kesiapsiagaan dan kontra narasi,” lanjutnya.
“Label teroris ini justru bisa menjadi provokasi. Saya mohon, penggunaan istilah teroris ini bisa diminimalisir dan digunakan dengan hati-hati,” tambahnya.
“Proses hukum tetap harus berjalan. Bila seseorang sudah menjadi tersangka, maka ASN yang bersangkutan sudah dapat dinonjobkan, namun tetap mengikuti tahapan-tahapan prosedural,” ungkapnya.
Wamenag juga menyinggung pentingnya menjaga suasana kondusif, tidak hanya untuk stabilitas sosial, tetapi juga demi menjaga iklim investasi. Ia mengingatkan bahwa narasi ekstrem dan labelisasi yang tidak proporsional dapat memicu islamofobia serta memperkeruh opini publik.
“Presiden Prabowo menugaskan saya untuk merawat moderasi beragama. Oleh karena itu, persoalan-persoalan yang memunculkan pro dan kontra di masyarakat harus disikapi dengan bijak agar tidak merusak kohesi sosial,” ujarnya.
“Hindari narasi yang menyudutkan agama tertentu. Jangan sampai muncul persepsi bahwa Islam selalu dikaitkan dengan jaringan teror. Ini sangat rawan dan sensitif,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Densus 88, Sentot Prasetyo, menjelaskan bahwa proses hukum terhadap tersangka sudah melalui tahapan panjang, bukan penangkapan instan. Ia juga menegaskan bahwa langkah yang diambil merupakan bagian dari strategi pencegahan dini terhadap potensi teror.
“Penangkapan dalam kasus ini juga bukan proses instan, melainkan sudah melalui proses panjang. Kami berharap, pada akhirnya semua akan terungkap dengan jelas,” jelas Kadensus.
“Perlu dipahami bahwa langkah-langkah yang kami ambil ini merupakan bentuk pencegahan. Karena itu, yang kami antisipasi adalah unsur-unsur persiapan dan perencanaan dari pihak-pihak yang kami nilai berpotensi melakukan tindakan teror. Tahapan-tahapan yang kami lakukan sejauh ini merupakan bagian dari semangat pencegahan itu sendiri,” tambahnya.
Kadensus juga menyampaikan bahwa Densus 88 saat ini menerapkan dua pendekatan dalam penanganan ekstremisme dan radikalisme, yaitu pendekatan keras (hard approach) dan pendekatan lunak (soft approach). Dalam konteks pendekatan lunak, Densus 88 bekerja sama dengan Kementerian Agama untuk menyusun kurikulum keagamaan yang moderat, termasuk dengan Direktorat Pendidikan Pondok Pesantren.
“Harapannya, orang-orang yang sebelumnya terlibat dalam kelompok seperti JI (Jamaah Islamiyah) atau NII (Negara Islam Indonesia) dapat bertransformasi dan beralih ke kelompok-kelompok Islam yang lebih moderat, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dengan begitu, pemahaman keagamaan mereka bisa diperbaiki,” kata Kadensus.