Penyelenggaraan ibadah haji menerapkan pola kerjasama Government to Government (G-to-G) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Setiap menjelang musim haji dilakukan penandatanganan MoU atau Nota Kesepahaman Pelayanan Haji antara Menteri Agama RI dengan Menteri Haji Arab Saudi. Pelaksanaan haji terikat dengan aturan negara setempat dan semua negara yang mengirimkan jemaah haji menandatangani MoU dengan Pemerintah Arab Saudi. Dalam skema G-to-G (pemerintah ke pemerintah) kedua negara mengawal kelancaran ibadah haji sesuai Taklimatul Hajj atau peraturan pemerintah Arab Saudi tentang penyelenggaraan haji.
Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia merupakan negara yang jemaah hajinya paling banyak. Dengan demikian tugas pembinaan, pelayanan dan perlindungan jemaah haji kita lebih kompleks dan tidak sederhana. Jemaah haji yang berangkat ke tanah suci adalah orang yang berbeda setiap tahun. Profil jemaah haji Indonesia sangat heterogen, baik dari segi usia, suku bangsa, pendidikan, ilmu agamanya maupun kemampuan beradaptasi dengan lingkungan global.
Dalam tinjauan kesejarahan, organisasi-organisasi umat Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan PSII, telah mengambil peran merintis perbaikan penyelenggaraan haji di masa kolonial. Menurut data sejarah tahun 1921, pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan membentuk Bagian Penolong Haji diketuai oleh K.H.M. Sudja’. Muhammadiyah mengirim utusan ke Arab Saudi untuk menyampaikan saran-saran perbaikan perjalanan haji. Di masa revolusi kemerdekaan pemerintah mengirim Misi Haji ke Arab Saudi tahun 1948 dan 1949 sebagai perutusan resmi negara dalam rangka ibadah haji dan diplomasi perjuangan kemerdekaan.
Kementerian Agama Mengurus Haji
Dalam majalah Mimbar Agama, edisi No 2, 17 Agustus 1950, saya membaca berita dan foto bersejarah sewaktu kapal haji pertama Tarakan hendak berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok, Menteri Agama RIS K.H.A. Wahid Hasjim berjabat tangan dengan kapten kapalnya sambil berkata, “Saya percayakan keselamatan jemaah haji ini kepada Tuan. Saya harap mereka mendapat pelayanan yang sesuai dengan kehormatannya.”
Kementerian Agama menorehkan sejarah panjang dalam penyelenggaraan haji dengan segala dinamika yang menyertainya. Prof. H.A. Malik Fadjar, M.Sc, Menteri Agama tahun 1998 – 1999 dan Menteri Pendidikan Nasional, dalam tulisan testimoninya pada biografi Drs. H. Slamet Riyanto, M.Si (2011) mengemukakan bahwa Kementerian Agama dibentuk tahun 1946 untuk melayani, Pertama, urusan agama. Kedua, pendidikan agama. Ketiga, peradilan agama, dan Keempat, penyelenggaraan ibadah haji.
Dalam penyelenggaraan haji era 1950-an Kementerian Agama melakukan kerjasama dengan Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI) sebagai operator berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama RIS K.H.A. Wahid Hasjim tanggal 6 Februari 1950 dan Surat Edaran Menteri Agama Republik Indonesia K.H. Faqih Usman di Yogyakarta Nomor A-III/1/648 tanggal 9 Februari 1950 serta Keputusan Dewan Menteri RIS dalam rapat tanggal 8 Februari 1950. Yayasan PHI merupakan badan hukum milik umat Islam yang didirikan tanggal 21 Januari 1950. Ketua Yayasan PHI adalah K.H.M. Sudja’ dan Wakil Ketua K.H.A. Wahab Chasbullah, Sekretaris Muhammad Sjaubani, Bendahara Abdul Manaf, dan dibantu oleh Ki Bagus Hadikusumo, H.M. Muljadi Djojomartono dan K.H. Moh. Dachlan. Kepengurusan PHI menghimpun segenap organisasi dan sub-kultur masyarakat muslim Indonesia dengan semangat persatuan.
Sejalan dengan cita-cita K.H.M. Sudja’ tentang perlunya Indonesia memiliki kapal haji sendiri, Yayasan PHI dengan dukungan Menteri Agama K.H. Masjkur mendirikan PT. Pelayaran Muslimin Indonesia (PT. MUSI) tahun 1953. Rencana tersebut tidak terlaksana disebabkan kendala politik, ekonomi dan lainnya.
Pada tahun 1950 untuk pertama kali dibentuk Bagian Urusan Haji di Kementerian Agama dengan Kabagnya R.H. Soeriadilaga. Sejak saat itu urusan haji diselenggarakan oleh Kementerian Agama melalui kerjasama dengan Yayasan PHI dan disusun peraturan-peraturan mengenai penyelenggaraan ibadah haji. Dalam perubahan struktur organisasi Kementerian Agama tahun 1963 periode Menteri Agama Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Bagian Urusan Haji ditingkatkan menjadi Biro Urusan Haji.
Presiden Soekarno tahun 1965 membentuk Departemen Urusan Haji dan mengangkat Prof. K.H. Farid Ma’ruf sebagai Menteri Urusan Haji dalam Kabinet Dwikora II. Departemen Urusan Haji adalah peningkatan dari Biro Urusan Haji. Departemen Urusan Haji berada dalam lingkup koordinasi Menteri Koordinator Urusan Agama yang dijabat oleh Prof. K.H. Saifuddin Zuhri.
Penyelenggaraan haji menyangkut kepentingan orang banyak dan hubungan antarnegara, maka sangat beralasan ditangani oleh lembaga setingkat kementerian. Dalam kurun waktu dekade 60-an pemerintah membentuk Dewan Urusan Haji (DUHA) diketuai oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat H.M. Muljadi Djojomartono.
Dewan Urusan Haji yang dibentuk di masa pemerintahan Presiden Soekarno dibubarkan seiring pergantian pemerintahan. Sedangkan Departemen Urusan Haji kemudian diubah menjadi Direktorat Jenderal Urusan Haji pada Kementerian Agama. Sebelum perubahan politik tahun 1966 Departemen Urusan Haji telah meletakkan dasar-dasar penyelenggaraan haji di negara kita.
Penyelenggaraan Haji Tugas Nasional
Sejak permulaan dekade tujuh puluhan, di masa Menteri Agama K.H. Mohd Dachlan, pemerintah menggariskan penyelenggaraan haji adalah tugas nasional. Sejalan dengan itu mulai 1969 pemerintah menghentikan pemberangkatan jemaah haji oleh organisasi atau badan hukum selain pemerintah. Keputusan tersebut dilatarbelakangi kekisruhan penyelenggaraan haji oleh pihak swasta, antara lain kasus Badan Mukersa Haji, Yayasan Al-Ikhlas, Yayasan Muallim, dan kesulitan keuangan PT Arafat yang dinyatakan pailit. Pemerintah tidak bersedia menalangi secara finansial kasus ratusan jemaah haji gagal berangkat ke tanah suci akibat perbuatan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
Setelah masa Orde Baru pemerintah melakukan penataan penyelenggaraan haji secara keseluruhan. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1969 dan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1969 adalah dasar hukum kewenangan pemerintah dalam penyelenggaraan haji karena waktu itu belum ada undang-undang haji. Dalam Musyawarah Kerja Urusan Haji Seluruh Indonesia tanggal 27 Mei 1972 di Jakarta, Menteri Agama Kabinet Pembangunan II Prof. Dr. H.A. Mukti Ali menandaskan haji masalah nasional dan tugas haji adalah tugas nasional. Menteri Dalam Negeri Amirmachmud di depan peserta Musyawarah Kerja Urusan Haji Ke-5 se-Indonesia tanggal 24 Maret 1969 menegaskan, “Dalam menyelenggarakan urusan haji tidak ada motif-motif catut, dagang atau cari untung pada pemerintah.”
Salah satu langkah permulaan penataan penyelenggaraan haji di awal Orde Baru adalah pembentukan Badan Koordinasi Perjalanan Haji (Bakopen Haji) yang diputuskan dalam Sidang Kabinet Terbatas dipimpin oleh Presiden Soeharto tanggal 10 Februari 1970. Bakopen Haji bertugas memberikan penerangan mengenai perjalanan haji kepada masyarakat di daerah-daerah seluruh Indonesia. Badan yang resmi dibentuk pada 18 Februari 1970 itu bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat. Kementerian Agama dengan dukungan Badan Koordinasi Perjalanan Haji menjadi pilar penyelenggaraan haji sesuai tugas dan fungsinya masing-masing.
Sejak tahun 1978 dilakukan penggabungan Direktorat Jenderal Urusan Haji yang dipimpin oleh Prof. K.H. Farid Ma’ruf selaku Direktur Jenderal dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dengan Dirjennya H. Roes’an. Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara mengangkat H.A. Burhani Tjokrohandoko, seorang perwira tinggi Angkatan Darat dan mantan Ketua DPRD Propinsi Sumatera Barat, sebagai Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji (BIUH). Ditjen BIUH diubah menjadi Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Badan Koordinasi Perjalanan Haji dibubarkan karena tugas dan fungsi koordinasi dan penerangan haji dilakukan oleh Kementerian Agama.
Dalam perkembangan lebih lanjut berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Kedudukan, Kewenangan, Tugas dan Fungsi Departemen Agama dilakukan pemisahan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji menjadi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU). Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni saat itu mengangkat Drs. H. Slamet Riyanto, M.Si sebagai Dirjen PHU, dan Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA menjadi Dirjen Bimas Islam.
Pembenahan organisasi dan manajemen haji dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan dengan langkah-langkah terukur. Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 1995 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 462 A Tahun 1995 mempertegas penyelenggaraan urusan haji menjadi tanggung jawab Departemen Agama yang pelaksanaannya dibantu oleh departemen/lembaga/instansi terkait, seperti Departemen Dalam Negeri, Departemen Kesehatan, Departemen Perhubungan, Departemen Luar Negeri, Departemen Kehakiman, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Pertahanan dan Keamanan, serta Bank Indonesia.
Setelah reformasi di masa kepemimpinan Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie dan Menteri Agama Prof. H.A. Malik Fadjar, berhasil diwujudkan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang pertama sejak Indonesia merdeka. Undang-Undang tersebut telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019. Setiap periode kepemimpinan di Kementerian Agama meninggalkan legasi penataan manajemen haji sesuai regulasi, melahirkan kebijakan baru dan inovasi pelayanan haji di masanya.
Pengawasan atas penyelenggaraan haji dilakukan secara berlapis yang melibatkan DPR-RI dan DPD-RI, pemeriksaan atas laporan keuangan haji oleh BPK-RI, serta pendampingan dan pengawasan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama. Dalam kurun waktu 2014 sampai 2019 pengawasan penyelenggaraan haji dilaksanakan oleh Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) sebagai lembaga yang bertanggungjawab kepada Presiden. KPHI dipimpin pertama kali oleh Drs. H. Slamet Effendy Yusuf dan penggantinya H. Sarmidin Nasir. Dasar hukum pembentukan KPHI adalah Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2014, dengan tugas dan tanggungjawab melakukan pengawasan dalam rangka meningkatkan pelayanan serta memberikan pertimbangan untuk penyempurnaan penyelenggaraan haji. KPHI dibubarkan tahun 2019 dan tugas pengawasan beralih ke Kementerian Agama.
Dinamika Kebijakan Penyelenggaraan Haji
Peraturan perundang-undangan mengamanatkan agar pemerintah memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada jemaah haji. Wacana swastanisasi penyelenggaraan haji telah menggelinding sejak lama. Alasan yang mengemuka adalah perlunya pemisahan tugas regulator dan operator. Dalam pandangan pihak Kementerian Agama sejauh ini bahwa tidak harus ada pemisahan tugas regulator dan operator dalam praktik pemerintahan, dengan menyebut contoh di bidang pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Menteri-menteri Agama di era Orde Baru dan Reformasi menolak swastanisasi penyelenggaraan haji khususnya haji reguler. Regulasi memberi ruang kepada pihak swasta hanya untuk pelayanan haji khusus yang dikelola oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dengan izin dari Kementerian Agama. Haji Khusus mungkin lebih tepat dinamakan Haji Mandiri atau Haji Non-Reguler.
Pengelolaan dana haji beberapa tahun belakangan tidak lagi di Kementerian Agama. Sejak 2017 dana haji dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014. BPKH mengelola dana haji yang meliputi dana setoran biaya penyelenggaraan ibadah haji, dana efisiensi penyelenggaraan haji, dana abadi umat (DAU), serta nilai manfaat yang dikuasai oleh negara dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji dan pelaksanaan program kegiatan untuk kemaslahatan umat Islam.
Dalam suatu kesempatan saya menanya pandangan Muhammad Maftuh Basyuni (Menteri Agama periode 2004 – 2009) mengenai kemungkinan di negara kita didirikan lembaga Tabung Haji seperti di Malaysia. Kata Pak Maftuh Basyuni, “Sangat mungkin, asalkan kualitas orang-orang di sini sama dengan kualitas orang-orang yang mengelola Tabung Haji Malaysia.”
Sesuai kesepakatan sidang OKI (Organisasi Kerjasama Islam), setiap 1.000 penduduk muslim di satu negara diwakili oleh 1 orang jemaah haji. Suatu negara bisa menambah kuota hajinya jika kuota internasional tidak terpenuhi. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama mengeluarkan kebijakan pengisian kuota haji benar-benar diprioritaskan untuk jemaah yang belum pernah berhaji. Peraturan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler yang lahir di masa Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, menetapkan bahwa orang yang sudah berhaji dan ingin mendaftar lagi paling cepat 10 tahun kemudian. Sesuai regulasi dan asas keadilan, kuota haji hanya untuk calon jemaah haji yang sudah mendaftar dan petugas haji.
Pendaftaran calon jemaah haji berlangsung tiap hari dan sepanjang tahun berbasis SISKOHAT yang terus dimodifikasi. Masa tunggu keberangkatan calon jemaah haji menimbulkan antrian panjang dan semakin banyaknya jemaah haji lanjut usia (lansia). Masa tunggu di sebagian daerah sudah mencapai puluhan tahun, sehingga menjadi tantangan yang belum terpecahkan sampai sekarang. Kementerian Agama beberapa tahun terakhir memperkenalkan motto pelayanan “Haji Ramah Lansia”.
Penyelenggaan haji Indonesia secara organisasi, manajemen dan pelayanan mendapat apresiasi dari Kerajaan Arab Saudi. Kementerian Agama dari tahun 2010 telah menerapkan standar manajemen mutu berbasis ISO 9001-2008 di bidang penyelenggaraan haji. Hasil Survei Indeks Kepuasan Jemaah Haji oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun meningkat sejalan dengan inovasi Kementerian Agama yaitu di atas angka 90.
Penyelenggaraan haji tahun 1446 H/2024 M mungkin salah satu yang terberat dalam sejarah perhajian Indonesia. DPR-RI membentuk Panitia Khusus Haji untuk menelusuri masalah alokasi kuota tambahan haji. Pansus Haji DPR-RI mengeluarkan rekomendasi, antara lain perlunya revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, dengan mempertimbangkan kondisi kekinian yang terjadi dalam regulasi dan model pelaksanaan ibadah haji yang ada di Arab Saudi. Menyangkut pelaksanaan ibadah haji khusus, Pansus Haji DPR-RI merekomendasikan dalam pelaksanaan mendatang peranan negara dalam fungsi kontrol harus lebih diperkuat dan dioptimalkan.
Menilik sejarah dan faktanya penggunaan hak angket DPR-RI atas penyelenggaraan haji pernah terjadi tahun 2006 setelah peristiwa kekisruhan pelayanan katering jemaah haji di Arafah-Mina (Armina). DPR-RI waktu itu merekomendasi perlunya Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah memperbaiki kinerjanya dalam pelayanan haji. Kalau dalam jangka waktu 5 tahun tidak ada perbaikan, pemerintah harus membentuk badan tersendiri.
Menuju Tata Kelola Haji Baru
Pada tanggal 22 Oktober 2024 Presiden Prabowo Subianto melantik Kepala Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) K.H. Mochammad Irfan Yusuf dan Wakil Kepala BP Haji Dahnil Azhar Simanjuntak. Pengangkatan pimpinan BP Haji berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 144/P Tahun 2024 tentang Pengangkatan Kepala dan Wakil Kepala Badan Penyelenggara Haji.
Pembentukan BP Haji menjadi tonggak awal era baru penyelenggaraan haji atau tata kelola haji baru. Transisi kewenangan dan tanggungjawab penyelenggaraan haji dari Kementerian Agama kepada BP Haji dilakukan secara bertahap. Penyelenggaraan haji tahun 1446 H/2025 M merupakan yang “terakhir” ditangani Kementerian Agama sebagai regulator dan operator.
Sesuai Peraturan Presiden Nomor 154 Tahun 2024 BP Haji merupakan lembaga pemerintah yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemberian dukungan penyelenggaraan haji. BP Haji berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama. Pola kerjasama BP Haji dan Kementerian Agama yang telah memiliki aset, sistem dan sumber daya manusia akan segera dirumuskan seusai musim haji tahun 2025.
Kelembagaan BP Haji sampai saat ini hanya dibentuk di tingkat pusat. Ketentuan Peralihan dalam Peraturan Presiden Nomor 154 Tahun 2024 yang ditetapkan pada tanggal 5 November 2024 menetapkan bahwa dalam melaksanakan tugas dan fungsi pemberian dukungan penyelenggaraan haji di daerah, BP Haji memanfaatkan infrastruktur Kementerian Agama melalui mekanisme kerjasama antara badan dan kementerian.
Dalam jangka waktu satu atau dua tahun ke depan akan terjadi banyak perubahan seputar organisasi dan tata kerja, pengelolaan keuangan serta pengawasan penyelenggaraan ibadah haji. Pemerintah dan DPR akan membahas Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 yang menjadi payung hukum bagi pemerintah khususnya Kementerian Agama selama ini dalam penyelenggaraan haji. Pengalaman mengelola haji selama puluhan tahun sangat berharga bagi Kementerian Agama dan segenap aparaturnya. Segala kebijakan dan keputusan adalah baik pada masanya.
Menyongsong penyelenggaraan haji 1446 H/2025 M sebagai salah satu program prioritas Kementerian Agama, Menteri Agama Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar meminta seluruh jajaran Kementerian Agama agar menyiapkan layanan prima bagi jemaah haji mulai dari asrama embarkasi hingga tiba di tanah suci. Seluruh petugas haji harus memiliki perspektif untuk mendahulukan kepentingan jemaah. Hal tersebut demi mewujudkan perjalanan haji yang aman, nyaman, dan mencapai kemabruran bagi para jemaah.
Pemerintah dan DPR melalui Panitia Kerja BPIH menyepakati Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1446 H/2025 M rata-rata turun dibanding BPIH 2024 yang mencapai Rp 93.410.286,00, di mana penurunan BPIH berdampak pada turunnya Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang harus dibayar jemaah. Efisiensi dilakukan pada komponen operasional layanan umum dalam negeri dan luar negeri dengan total efisiensi mencapai Rp 600 Miliar. Penggunaan nilai manfaat yang dialokasikan dari hasil optimalisasi setoran awal untuk jemaah haji yang berangkat juga turun karena efisiensi komponen operasional haji. Pemerintah mendorong BPKH agar meningkatkan nilai manfaat dana haji yang dikelolanya dengan prinsip kehatian-hatian dan akuntabilitas
Indonesia pada musim haji 1446 H/2025 M memperolah 221.000 kuota haji yang meliputi jemaah reguler dan jemaah haji khusus. Pemerintah Arab Saudi juga menyetujui permintaan tambahan kuota petugas haji Indonesia sebanyak 2.210 petugas yang akan memperkuat layanan bagi jemaah haji Indonesia.
Kementerian Agama akan memberikan legacy terbaik kepada bangsa dalam penyelenggaraan haji yang harus semakin baik dengan kehadiran BP Haji. Prinsip G-to-G (Government to Government) saya kira tidak akan pernah ditinggalkan di era baru perhajian mendatang. Dalam penyelenggaraan haji, di samping dukungan organisasi, manajemen dan kualitas sumber daya manusia, diperlukan niat yang suci. Dalam penyelenggaraan haji bisa terjadi sesuatu di luar rencana manusia kalau Allah menghendaki. Sesuai petuah ulama, kiyai dan senior Kementerian Agama, mengelola haji perlu keikhlasan.
Wallahu a’lam bisshawab.
M. Fuad Nasar, mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro UIN Imam Bonjol Padang.
