Kebencian terhadap Islam (lazim dikenal Islamophobia) yang terefleksikan dalam opini publik secara global kembali mengemuka. Tidak lama selepas Presiden Donald Trump menyampaikan kebijakannya tentang Universitas Harvard, harian utama The New York Times dengan gamblang menyatakan kembali frasa “a woke madrasa” yang dialamatkan ke Universitas Harvard. A woke madrasa disuarakan ulang oleh pengamat Amerika setelah sempat mencuat pada Oktober 2023. Saat itu intelektual di Harvard, bergabung dalam 32 organisasi gerakan keprihatinan yang dinamai Harvard Palestine Solidarity Group, bersama-sama menandatangani joint statement yang mengutuk tindakan nirkemanusaiaan Israel.
Pernyataan bersama tersebut menegaskan bahwa selama dua dekade terakhir jutaan warga Palestina di Gaza terpaksa hidup di penjara terbuka. Joint statement tersebut juga menekankan bahwa kekerasan Israel telah membentuk setiap aspek kehidupan Palestina selama 75 tahun melalui perampasan tanah secara sistematis, serangan udara, dan lain-lain, serta menyebut situasi politik saat ini sebagai apartheid. Dua tahun usia pernyataan bersama tersebut diteken, relevansinya justru makin menguat hingga kini.
Aksi pembelaan terhadap rakyat Palestina membuat merah telinga pemerintah Amerika. Donald Trump menuduh Harvard sebagai sarang gerakan anti-semitis dengan berbagai demonstrasi anti-Israel dan kemerdekaan Palestina. Pada praktiknya, gerakan anti-Israel dan kemerdekaan Palestina di Universitas Harvard banyak diprakarsai mahasiswa asing. Bisa jadi, ini pula salah satu hal yang melandasi kebijakan terkini Trump untuk Universitas Harvard.
Sebagai bagian dari lembaga pemerintahan Amerika, Harvard jelas harus menerima keputusan tersebut. Sebagai kelanjutan dari tuduhan anti-Semitis, Trump menjalankan kebijakan pencabutan sertifikasi program mahasiswa dan pertukaran internasional tanpa melalui pembicaraan yang memadai dengan internal kampus. Dalam skenario seperti ini, Universitas Harvard jelas menghadapi risiko serius. Mereka terancam tidak dapat menerima mahasiswa asing untuk pertama kalinya dalam sejarah kampus paling bergengsi tersebut karena kebijakan tindakan spontan Trump tersebut. Lebih jauh, para mahasiswa yang sedang belajar juga terancam harus pindah kampus.
Pengalaman Kolektif
Frasa a woke madrasa (madrasah yang bangkit) yang ditujukan ke Universitas Harvard oleh berbagai kalangan tentu tidak datang begitu saja. Frasa tersebut diangkat sebagai bagian dari pengalaman masyarakat Amerika memahami madrasah sekaligus penegasan respons kolektif mereka. Madrasah masih disejajarkan dengan lokasi disemainya pemahaman tentang paham ekstremisme, radikalisme, dan seterusnya terorisme. Selain itu, dalam pandangan mereka, madrasah adalah tempat berasalnya pemahaman yang bersebarangan dengan modernitas. Anggapan relasi ekstremisme dan madrasah sangat mungkin berdasar memori kolektif warga Amerika. Memori tersebut adalah perang dan kiprah Taliban yang terkait erat dengan kampanye war on terror 9/11. Sejarah mencatat, misi Amerika untuk memaksakan demokrasi versi mereka gagal di Afghanistan.
Mereka tidak berhasil mendikte rakyat Afghanistan dengan kemauan liberal di balik misi war on terror, menghamburkan miliaran dollar AS untuk menyokong misi tersebut, dan pada akhirnya meninggalkan banyak mesin perang yang terbengkalai. Kegagalan Amerika dalam menumpas pejuang Taliban mendorong mereka untuk mengulik beragam akar masalah, salah satunya adalah madrasah Deobandi. Madrasah Deobandi secara umum dilihat menjadi akar kesejarahan dan perjuangan Taliban dan, karenanya, mendorong sinisme kolektif warga Amerika. Madrasah Deobandi di Pakistan dan Afghanistan dipandang masih menyebarkan paham ekstremisme.
Di titik ini, frasa a woke madrasa mewakili dua sentimen kolektif sekaligus. Pertama, ia mewakili sentimen pejoratif, yakni sentimen yang mengarah pada sikap mencela, menghina, dan merendahkan. Madrasah dalam anggapan a woke madrasa bukan menunjukkan geliat kebangkitan madrasah dalam merespons perkembangan zaman hingga mampu diakui kiprahnya oleh Universitas Harvard. Pandangan ini adalah sikap asosiatif-negatif yang meletakkan madrasah dalam konteks pemahaman ekstremisme sesuai kategori mereka.
Kedua, kebangkitan madrasah yang disampaikan dalam konteks “hukuman” terhadap Universitas Harvard mengamplifikasi kecenderungan negatif terhadap Islam. Frasa a woke madrasa adalah frasa kolektif, aspirasi bersama, bersembunyi di balik kebebasan berbicara, namun memberi rasa kebencian yang sama. Upaya membangun kebencian ini tentu saja merupakan jembatan yang buruk dan rapuh dalam kerangka membangun kesepahaman dan dialog antariman yang perlu terus dipupuk. Frasa julid ini seperti memberi eksposur negatif dan hendak memancing pandangan buruk tentang pendidikan Islam lebih lanjut.
Peran Deobandi
Madrasah Deobandi bermula dari akhir abad ke-19, merupakan gerakan politik Sunni di India dan Pakistan yang kemudian menyebar ke Afghanistan, Afrika Selatan, hingga Inggris (Brannon D. Ingram, Revival from Below, the Deoband Movement and Global Islam, 2018). Menganut mazhab Imam Abu Hanafi secara fiqih dan Abu Mansur Al Maturidi dalam hal aqidah, Deobandi tidak begitu kompatibel dengan Islam mayoritas di kawasan Asia Tenggara yang lebih familiar ke mazhab Imam Syafii. Meski demikian, basis ideologis Deobandi dan kelembagaannya masih dapat ditemukan di Malaysia dan Singapura dengan berbagai perkembangannya, namun sulit menemukannya di Indonesia.
Ingram, akademisi dan pengamat Deobandi dari Northwestern University di Illinois, menyatakan bahwa meski teologi perlawanan menjadi salah satu ajaran mereka, Deobandi di India dan Pakistan tidak menekankan ajaran tentang jihad. Ajaran jihad tidak mendapat perhatian tersendiri meski teks klasik yang mereka pelajari berdekatan dengan perspektif tersebut. Dalam perkembangannya, Mullah Mohammad Omar, pendiri Taliban, bersama beberapa figur pemimpin Taliban lainnya mengaku sebagai lulusan madrasah Deobandi di Pakistan. Pengakuan ini tidak lantas bisa menyamakan persepsi bahwa Taliban adalah Deobandi, pun sebaliknya.
Di India, dengan represi ketat yang diterima, Deobandi berkembang dengan kesadaran berbangsa dan bernegara yang relatif baik dan mengambil jarak secara ideologis dengan Deobandi yang berkembang di Afghanistan dan Pakistan. Meski begitu, Pakistan pada dasarnya tengah giat-giatnya menata kelembagaan madrasah. Hingga kini, baru sekitar separuh lembaga pendidikan Islam yang terdata dan teregistrasi.
Madrasah Deobandi Pakistan yang bermula dari kamp-kamp pengungsian Afghanistan yang berada di wilayah Pakistan, kini sudah sangat berkurang jumlahnya, berkembang dari semangat perlawanan alternatif terhadap Barat. Berbeda dengan India, pengaruh Wahabisme terasa kuat di Pakistan dengan dukungan awal dari pemerintah Saudi. Mengembalikan puritanisme menjadi tujuan utama mereka hingga perubahan terjadi di Saudi di bawah pemerintahan Muhammad Bin Salman yang relatif terbuka dan adaptif terhadap perkembangan. Perubahan di Saudi turut memengaruhi surutnya kebijakan dan dukungan mereka pada Deobandi Pakistan.
Madrasah Deobandi menggelorakan semangat bahwa bersama kekuatan lainnya mereka telah berhasil mengusir Inggris dari India. Keberhasilan ini disemai dan digelorakan dalam salah satu ajaran Deobandi di Pakistan dan, khususnya, Afghanistan yang juga meraih keberhasilan dalam melawan Rusia dan Amerika. Dengan kata lain, melihat madrasah Deobandi sebagai sumber kekuatan ekstremis jelas berlebihan dan tidak beralasan secara akademik. Selain itu, terdapat upaya sungguh-sungguh dari Pakistan untuk menertibkan sumber pandangan keras dari ajaran Deobandi tepat di saat frasa a woke madrasa dialamatkan pada mereka.
Pada perspektif lain, diksi a woke madrasa terang turut menyinggung eksistensi madrasah di Indonesia. Sayangnya, Indonesia belum banyak berbicara di kancah internasional, setidaknya hal ini tercermin dari pengakuan internasional dalam kancah madrasah. Dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, cendekiawan Mona Abaza terlihat samar dan tidak terang mengeksplorasi khazanah pendidikan Islam Indonesia saat menerangkan konteks “Madrasah”. Alih alih, ia malah menyebut madrasah Indonesia sebagai bagian dari perkembangan madrasah di Malaysia (Kedah dan Kelantan) dan Thailand bagian Selatan (Pattani).
Pandangan Mona Abaza seperti cerminan betapa Pendidikan Islam, dalam konteks kesejarahan dan kontribusi akademik, masih jauh dari idealitas pengakuan global, disertai dengan kiprah yang diaminkan publik internasional. Padahal, di Indonesia madrasah telah lama diakui sebagai bagian pendidikan nasional, setidaknya dengan kehadiran Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Rekognisi ini hendaknya memacu semua pihak untuk berkontribusi secara positif dan mampu mengubah secara konstruktif definisi madrasah yang, setidaknya, disampaikan Mona Abaza.
Saiful Maarif (Bekerja pada Ditjen Pendidikan Islam Kemenag)