Ciputat (Kemenag) — Para dosen dan mahasiswa di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta kini tengah merasakan gelombang antusiasme baru. Pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (AI) tak lagi sekadar wacana, melainkan telah menjadi kebijakan resmi.
Melalui Surat Keputusan Rektor No.127/2025, UIN Jakarta secara resmi meluncurkan kebijakan penggunaan Generative AI dan Large Language Models (LLMs) dalam kegiatan akademik maupun non-akademik, sebuah langkah berani yang menjadi terobosan penting di lingkungan perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Membangun Pondasi dengan ALII
Sebelum kebijakan ini dirumuskan, UIN Jakarta terlebih dahulu membentuk Artificial Intelligence and Literacy Innovation Institute (ALII). Lembaga ini menjadi pusat riset, inovasi, dan pelatihan literasi AI.
“Kami ingin memastikan bahwa setiap aspek literasi dan inovasi dalam kecerdasan buatan berjalan sesuai prinsip amanah dan keadilan,” ujar Khodijah Hulliyah, Direktur ALII, saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (3/6/2025).
Terpisah, Rektor UIN Jakarta, Asep Saepudin Jahar, menyampaikan visi besar kampus dalam menyikapi era digital, “Kami tidak sekadar ikut arus, tetapi ingin membentuk arah pemanfaatan AI agar memperkuat ruh keilmuan dan keimanan modern.”
Menarik Garis Batas Antara Bantu dan Curang
Salah satu poin utama dalam kebijakan ini menyangkut etika penulisan akademik. Mahasiswa yang memanfaatkan AI diwajibkan mencantumkan atribusi secara jelas, baik dalam tugas harian, skripsi, maupun publikasi ilmiah. Di sinilah ditetapkan batas tegas antara penggunaan AI sebagai alat bantu dan praktik plagiarisme.
“Kami telah menyusun pedoman yang jelas agar AI menjadi pendukung proses belajar, bukan celah untuk kecurangan,” tegas Prof. Dr. Ahmad Tholabi, Wakil Rektor Bidang Akademik.
Penggunaan AI dalam ujian juga diatur ketat. Hanya diperbolehkan jika fakultas terkait menetapkan protokol khusus, termasuk mekanisme verifikasi untuk memastikan keaslian kompetensi mahasiswa.
Dari Kurikulum Hingga Meja Administrasi
Kebijakan ini tidak hanya terbatas pada kegiatan akademik mahasiswa. Dosen dan tenaga kependidikan juga diberi ruang untuk memanfaatkan AI dalam perancangan kurikulum, penyusunan materi, efisiensi pelaporan, hingga perencanaan kegiatan kampus.
Namun demikian, pemanfaatan teknologi tetap diiringi oleh nilai-nilai dasar Islam, yakni: kejujuran, keadilan, dan integritas intelektual. “AI memang membantu kami menghemat waktu dalam riset dan memperkaya materi ajar, tetapi peran bimbingan humanis dari dosen tetap tak tergantikan,” ungkap seorang dosen yang memilih tidak disebutkan namanya.
Tantangan dan Harapan
Dengan landasan etika yang kokoh, UIN Jakarta membayangkan dampak yang luas. Pelatihan literasi AI akan digelar secara intensif, kerja sama riset dengan pengembang AI terkemuka akan diperluas, serta pengembangan kode etik digital terus disempurnakan. Semua itu diarahkan untuk membentuk ekosistem akademik yang melek teknologi sekaligus berlandaskan nilai-nilai keislaman. “Impian kami, kebijakan ini bisa menjadi inspirasi bagi perguruan tinggi Islam lainnya di seluruh Indonesia,” harap Prof. Asep Saepudin Jahar.
Di bawah naungan nilai Islam, UIN Jakarta bukan hanya menjadi pelopor dalam adopsi teknologi AI, tetapi juga penjaga integritas akademik. Di titik inilah, kecanggihan teknologi dan keimanan berpadu untuk membentuk masa depan pendidikan tinggi yang inovatif dan bermartabat.