Platform layanan ride-sharing raksasa, Uber, kembali berada di bawah sorotan hukum setelah Departemen Kehakiman Amerika Serikat (DOJ) secara resmi mengajukan gugatan atas dugaan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.
Gugatan ini bukan yang pertama, namun kali ini DOJ menyoroti praktik yang dianggap sistematis, termasuk penolakan layanan terhadap penumpang yang menggunakan hewan pemandu atau kursi roda lipat.
Dikutip dari Engadget, Jumat (12/9/2025), gugatan tersebut diajukan di pengadilan federal California Utara dan menjadi babak baru dalam hubungan tegang antara Uber dan komunitas disabilitas.
Dalam dokumen gugatan, DOJ menyatakan bahwa meskipun Uber menjadi layanan penting bagi mobilitas penyandang disabilitas, perusahaan tersebut justru gagal memberikan akses yang setara.
Tuduhan mencakup perlakuan tidak pantas dari pengemudi, mulai dari hinaan verbal hingga pertanyaan yang dianggap melecehkan. Gugatan ini menegaskan bahwa diskriminasi bukan hanya terjadi secara sporadis, melainkan sudah menjadi pola yang merugikan secara emosional, fisik, dan ekonomi.
Menanggapi tuduhan tersebut, Uber langsung mengeluarkan pernyataan resmi yang membantah klaim pemerintah. Perusahaan menegaskan bahwa penumpang dengan kebutuhan khusus, termasuk pengguna anjing pemandu dan alat bantu mobilitas, berhak mendapatkan pengalaman yang aman dan penuh rasa hormat.
Uber juga menyebutkan bahwa mereka memiliki kebijakan nol toleransi terhadap penolakan layanan yang terbukti, dan akan menonaktifkan akun pengemudi secara permanen jika terjadi pelanggaran.
Uber menjelaskan bahwa semua pengemudi diwajibkan menyetujui kebijakan terkait hewan pemandu sebelum mulai beroperasi. Sebagai bentuk edukasi, perusahaan telah mengirimkan video informatif kepada seluruh pengemudi di AS tahun lalu, yang menjelaskan pentingnya peran hewan pemandu dalam kehidupan penyandang disabilitas.
Namun, DOJ menilai langkah tersebut belum cukup. Bahkan, fitur baru yang memungkinkan penumpang memberi tahu pengemudi bahwa mereka akan bepergian dengan hewan pemandu dinilai sebagai respons reaktif setelah Uber diberi tahu tentang investigasi yang sedang berlangsung.
Dalam gugatan terbarunya, DOJ meminta pengadilan juri, putusan sela, dan ganti rugi atas pelanggaran yang dituduhkan. Departemen ini juga berupaya mengenakan denda perdata kepada Uber atas pelanggaran Undang-Undang Penyandang Disabilitas Amerika (ADA), yang menjamin hak akses dan perlakuan setara bagi semua warga negara, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik.
Jika kasus ini terdengar familiar, itu karena DOJ pernah menggugat Uber pada tahun 2021 atas isu serupa. Gugatan sebelumnya berfokus pada biaya “waktu tunggu” yang dikenakan kepada penumpang penyandang disabilitas yang membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk ke kendaraan.
Kasus tersebut diselesaikan pada tahun 2022, dengan Uber setuju membayar setidaknya $2,2 juta kepada penumpang yang terdampak. Namun, rangkaian gugatan yang terus bermunculan menunjukkan bahwa tantangan dalam menciptakan layanan transportasi inklusif masih jauh dari selesai.
Dengan meningkatnya kesadaran publik tentang hak-hak penyandang disabilitas dan tekanan hukum yang terus berlanjut, Uber kini berada di persimpangan penting. Perusahaan harus membuktikan bahwa komitmen terhadap inklusivitas bukan hanya retorika, tetapi tercermin nyata dalam kebijakan, pelatihan, dan pengalaman pengguna sehari-hari.