Presiden Donald Trump dikabarkan akan kembali menunda pemberlakuan larangan TikTok di Amerika Serikat minggu ini, dengan rencana menandatangani perintah eksekutif baru yang akan memperpanjang tenggat waktu larangan tersebut.
Jika benar dilakukan, ini akan menjadi ketiga kalinya Trump menunda tenggat waktu larangan yang saat ini dijadwalkan berlaku pada hari Kamis.
Sekretaris pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, mengungkapkan rencana Trump soal TikTok dalam pernyataan kepada CNN. Ia menyatakan bahwa presiden akan menandatangani perintah eksekutif baru dalam beberapa hari mendatang.
Perpanjangan ini akan menunda pemberlakuan larangan TikTok selama 90 hari, lebih lama dibanding dua kali penundaan sebelumnya yang masing-masing hanya 75 hari, yakni pada Januari dan April.
“[P]emerintahan akan menggunakan waktu penundaan 90 hari ini untuk memastikan kesepakatan dapat diselesaikan, agar masyarakat Amerika dapat terus menggunakan TikTok dengan jaminan bahwa data mereka aman dan terlindungi,” kata Leavitt kepada CNN.
Trump sebelumnya telah mengisyaratkan pada Mei lalu bahwa ia akan kembali menunda larangan TikTok untuk ketiga kalinya. Ia mengatakan bahwa ia memiliki “rasa simpati” terhadap aplikasi tersebut dan sedang berupaya mencari kesepakatan agar TikTok tetap tersedia di Amerika.
Namun hingga kini masih belum jelas siapa yang ingin dibeli Trump untuk mengambil alih TikTok agar dapat terus beroperasi di negara tersebut.
Beberapa pihak telah mengajukan diri, mulai dari YouTuber MrBeast hingga pemerintah AS sendiri, meskipun perusahaan perangkat lunak Oracle tampaknya menjadi kandidat terkuat.
Namun demikian, tarif perdagangan besar-besaran yang diterapkan Trump terhadap China tampaknya menjadi penghalang besar bagi terjadinya akuisisi dalam waktu dekat.
Mengapa Amerika Melarang TikTok?
Para legislator Amerika telah lama menyuarakan kekhawatiran terhadap TikTok, menuding bahwa pemerintah China menggunakan aplikasi tersebut untuk memata-matai pengguna, meskipun hingga kini belum ada bukti publik yang mendukung tudingan itu.
TikTok juga dituduh memanipulasi algoritmanya untuk menampilkan China dalam citra yang positif. Beberapa anggota parlemen bahkan secara terang-terangan ingin TikTok dilarang guna membatasi penyebaran konten pro-Palestina.
Undang-undang yang dikenal dengan nama Protecting Americans From Foreign Adversary Controlled Applications Act (PAFACA), atau Undang-Undang Perlindungan Warga Amerika dari Aplikasi yang Dikendalikan Musuh Asing, menetapkan bahwa perusahaan induk TikTok asal China, ByteDance, harus melepaskan kepemilikan TikTok di AS jika aplikasi itu ingin tetap beroperasi di negara tersebut.
Secara spesifik, larangan ini meminta agar ByteDance menjual TikTok kepada perusahaan yang tidak dianggap sebagai entitas yang dikendalikan oleh ‘musuh asing’ seperti China.
Jika ByteDance gagal melakukannya tetapi tetap menjalankan operasinya di AS, TikTok dapat dikenakan denda hingga sekitar $850 miliar. Angka ini terdiri dari penalti sebesar $5.000 untuk masing-masing dari 170 juta pengguna TikTok di Amerika.
Meskipun ByteDance saat ini memiliki valuasi lebih dari $400 miliar, angka tersebut masih jauh lebih kecil dari potensi denda yang mengintai, yang berarti ByteDance kemungkinan besar akan dipaksa untuk menghentikan operasinya di AS kecuali menjualnya kepada pihak yang disetujui.
Larangan TikTok ini pertama kali disahkan menjadi undang-undang oleh mantan Presiden Joe Biden dan dijadwalkan berlaku mulai 19 Januari.
Namun karena tanggal tersebut hanya satu hari sebelum pelantikan Presiden Trump, Gedung Putih saat itu menyatakan tidak akan memberlakukan larangan dalam periode singkat itu dan menyerahkan keputusan kepada pemerintahan baru.
Meski Trump pernah berupaya melarang TikTok pada masa jabatan pertamanya, pandangannya terhadap aplikasi populer ini tampaknya telah berubah. Ia sempat mengatakan ingin “menjaga aplikasi ini tetap ada.”
Salah satu tindakan pertamanya sebagai presiden adalah menunda pemberlakuan larangan TikTok hingga 5 April. Kemudian, ia kembali memperpanjang tenggat waktu sehari sebelum jatuh tempo, sehingga larangan tersebut kembali mundur hingga 19 Juni.