Saya kira sesuatu yang wajar, bahkan sudah menjadi kebutuhan, ketika Kantor Urusan Agama (KUA) kini ikut membuat konten digital. Para penghulu tidak lagi sekadar menjadi saksi di balik meja akad nikah, tidak hanya melaksanakan pengawasan akad, lalu membubuhkan tanda tangan pada berkas-berkas resmi. Kini mereka hadir sebagai pendidik, sebagai penutur nilai, bahkan sebagai kreator di layar-layar mungil yang kita bawa ke mana-mana. Mereka mengedukasi masyarakat tentang keluarga sakinah, tentang pencegahan perkawinan dini, tentang ikhtiar menyelamatkan janji suci agar tidak terjerumus ke jurang perceraian. Begitu pula para penyuluh agama: mereka tidak cukup lagi berdiri di mimbar atau duduk lesehan di majelis taklim, tidak cukup lagi menunggu orang datang ke kantor. Mereka harus hadir di ponsel kita, di scroll tanpa ujung media sosial, di ruang digital yang tidak pernah tidur.
Dan saya kira pula, tidak ada yang istimewa dari sebuah tepukan tangan, anak-anak taman kanak-kanak melakukannya setiap hari untuk menghafal doa sebelum makan. Guru sekolah dasar menjadikannya permainan agar pelajaran tidak terasa kaku. Ibu-ibu di pengajian kampung kadang menepuk tangan untuk mengiringi shalawat bocah-bocah. Bahkan dalam barisan Pramuka, tepuk tangan adalah bagian tradisi yang diwariskan. Ia ringan, sederhana, dan tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang sakral.
Tetapi lihatlah bagaimana nasib sesuatu di era algoritma, di sebuah balai nikah kecil yang bercampur dengan ruang arsip KUA Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi, sebuah gedung yang tidak besar, catnya sederhana, kursinya terbatas, sebuah tepukan tangan bernama “Tepuk Sakinah” tiba-tiba meledak. Video singkat itu melintas, diputar jutaan kali di TikTok, dibagikan ulang di Facebook, diperdebatkan di grup WhatsApp keluarga. Ia lahir sederhana, tetapi tumbuh menjadi raksasa. Ia datang bukan hanya sebagai gerakan tangan, tetapi juga membawa gelombang komentar yang tidak pernah habis. Ada komentar hangat: “Lucu, kreatif, bisa bikin suasana cair.” Ada komentar datar: “Biasa saja.” Ada komentar nyinyir: “Pernikahan itu janji suci, kok disederhanakan jadi tepuk tangan.”’
Sebenarnya ini bukan pertama kali “Tepuk Sakinah” muncul di media sosial. Jauh sebelumnya, sudah ada banyak unggahan serupa. Namun takdir viral memilih akun KUA Wongsorejo, bukan karena kemewahan produksinya, melainkan karena ia hadir dengan wajah alami: sebuah naturalitas yang jujur. Dengan logat Madura bercampur Osing, fasilitator yang cantik itu mengajak peserta bimbingan perkawinan untuk sejenak melepaskan kaku, menertawakan penat, dan bertepuk tangan dalam irama sederhana. Hanya sebuah ice breaking, sebuah jeda kecil agar kepala tidak terlalu berat menerima nasihat rumah tangga.
Tetapi lihatlah bagaimana Allah meniupkan ruh pada sesuatu yang sederhana, tepuk tangan yang lahir dari ruang sempit balai nikah itu, tiba-tiba meluas, berputar dalam layar-layar ponsel, dibicarakan orang banyak. Bahkan ketika ada calon pengantin datang untuk mendaftar, ada yang spontan nyeletuk: “Tepuk Sakinah, Bu!”—seakan-akan gerakan tangan itu sudah menjadi doa bersama, doa yang ringan tapi melekat.
Mulut netizen, seperti biasa, tidak pernah kering. Ia selalu menemukan celah untuk menilai, menimbang, menambahkan bumbu—kadang lebih banyak dari isi. Padahal, ini bukan peristiwa baru. Jauh sebelum Wongsorejo, di banyak tempat, di banyak forum bimbingan perkawinan, tepuk-tepuk serupa sudah dimainkan. Namun media sosial punya cara kerjanya sendiri. Ia mampu menghidupkan kembali sesuatu yang lama, membuat yang biasa tampak luar biasa, menjadikan hal kecil terlihat sebesar gunung. Di situlah saya melihat pelajaran yang tersembunyi: bahwa setiap gerakan kecil bisa berubah menjadi ayat kehidupan ketika ia menyentuh hati orang banyak. Bahwa sesuatu yang sederhana bisa menjadi tanda, bisa menjadi pengingat. Mungkin, di balik tepukan tangan yang ringan itu, ada doa yang tidak terucap dengan kata, doa yang lebih kuat daripada komentar yang berisik.
Saya menonton video itu dengan perasaan yang campur aduk. Ada geli, ada iba, ada kagum. Geli, karena irama yel-yelnya mengingatkan saya pada anak-anak yang belajar baris-berbaris. Iba, karena saya tahu betapa mudahnya sesuatu ditertawakan oleh orang yang tidak pernah tahu konteksnya. Kagum, karena fasilitator di KUA bisa secerdas itu: mengubah materi yang kaku menjadi permainan sederhana, agar calon pengantin tidak merasa dicekoki, agar kepala yang penat bisa tertawa sebentar sebelum diajak serius kembali.
Namun kamera hanya merekam gerakan tangan, kamera tidak merekam pelajaran yang berat. Tidak terlihat bahwa bimbingan perkawinan membahas kewajiban suami-istri, kesehatan reproduksi, cara menyelesaikan konflik, dan pembekalan psikologis agar pasangan muda tidak roboh saat badai rumah tangga datang. Tepuk sakinah hanyalah jeda, sebuah pintu kecil untuk masuk ke ruang yang lebih dalam. Tetapi karena kamera merekam, jari mengunggah, algoritma bekerja, maka yang bukan inti tiba-tiba dianggap inti.
Saya jadi teringat firman Allah: wa qul linnāsi husnā, katakanlah yang baik kepada manusia. Tetapi di zaman ini, kebaikan sering kalah cepat dibanding komentar. Lidah sudah berubah menjadi keyboard. Fitnah lisan bermigrasi menjadi fitnah komentar. Dan barangkali yang paling menyedihkan bukanlah komentar yang kasar, melainkan komentar yang lahir dari ketidaktahuan. Orang menonton 30 detik lalu merasa paham 3 jam. Membaca satu kalimat lalu merasa menguasai seluruh buku. Kita hidup di zaman potongan: video dipotong, kalimat dipotong, makna dipotong, lalu dihakimi seakan-akan utuh.
Saya membayangkan, bagaimana kalau tepuk sakinah dipraktikkan dalam ruang nyata. Ada pasangan muda yang sedang bertengkar. Suami meninggikan suara, istri memalingkan wajah. Lalu salah satu menepuk tangan, mengingatkan dengan kata sederhana: “Ingat ya, janji kita itu mitsaqan ghalizan.” Bukankah itu bisa mengubah tegang menjadi tawa? Bukankah itu lebih baik daripada saling mendiamkan berhari-hari?
Nilai dari tepuk sakinah bukan pada substansinya, melainkan pada pintu yang ia buka. Ia adalah jembatan kecil menuju hal besar. Kita menertawakan gerakan tangan, tetapi lupa pada pesan yang dibawanya. Kita meremehkan metode, padahal metode itu sedang berusaha menyelamatkan generasi dari perceraian yang semakin tinggi. Mungkin penyakit kita memang ini: kita lebih sibuk menertawakan sesuatu yang viral daripada merenungkan substansi. Kita rela membaca komentar berjam-jam, tetapi enggan meluangkan lima menit untuk memahami inti. Nabi pernah bersabda: inna minasy-syari la-fuhsyu fil kalam, sesungguhnya di antara keburukan adalah buruknya ucapan. Dan hari ini, ucapan itu tidak selalu lahir dari mulut. Ia lahir dari jari-jari yang mengetik. Dari mulut netizen yang tanpa wajah.
Namun saya percaya doa bisa sembunyi di mana saja. Ia bisa lahir dari sajadah yang basah oleh air mata. Ia bisa menempel pada tawa anak kecil. Ia bisa menyelinap di balik tepukan tangan yang dianggap remeh. Barangkali tanpa sadar, “Tepuk Sakinah” sedang berdoa dengan caranya sendiri: doa agar pasangan muda menemukan jalan keutuhan, doa agar rumah tangga tidak mudah roboh oleh badai, doa agar janji suci selalu diingat meski lewat gerakan ringan.
Maka biarlah mulut netizen tetap ramai. Pada akhirnya, rumah tangga sakinah tidak dibangun oleh komentar orang, melainkan oleh kesabaran suami-istri, oleh janji yang ditepati, oleh cinta yang dijaga dalam diam. Dan jika sebuah tepukan tangan bisa mengingatkan orang pada lima pilar rumah tangga—zawaj, mitsaqan ghalizan, mu‘asyarah bil ma‘ruf, musyawarah, taradhin—maka tepukan itu lebih suci daripada seribu komentar yang lahir dari jari yang tidak tahu.
Saya kira begitu saja. Karena ketika layar ponsel dimatikan, setiap orang kembali ke rumah masing-masing. Di situlah, jauh dari sorot kamera, tepuk sakinah sesungguhnya diuji. Saya berharap, dari hiruk-pikuk komentar itu ada yang sempat menangkap makna. Dari viral yang penuh cemoohan itu ada yang pulang dengan bekal ringan untuk mengingat cinta. Dari sebuah tepukan tangan sederhana itu, lahir kesadaran bahwa rumah tangga bukan soal pesta resepsi, bukan soal gaun pengantin, bukan pula soal validasi netizen. Rumah tangga adalah soal janji yang ditegakkan di hadapan Allah.
Dan semoga pula, ketika kelak ada suami-istri yang nyaris lupa pada janjinya, Allah membisikkan satu gerakan kecil di tangan mereka, satu tepukan ringan yang cukup untuk menghentikan amarah, cukup untuk membuka kembali pintu sakinah. Karena doa tidak pernah memilih tempat. Ia bisa lahir dari sajadah, dari air mata, dari bisikan lirih seorang ibu, bahkan dari sebuah tepukan tangan yang dianggap remeh.
Syafaat (ASN / Ketua Lentera Sastra Banyuwangi)