Keputusan Pemerintah Beijing untuk melarang OnlyFans di daratan China menandai babak baru dalam upaya pemerintah setempat meredam konten “barat tak bermoral” yang dianggap menggoyah nilai-nilai tradisional.
Platform asal Inggris ini, yang selama bertahun-tahun memelopori revolusi ekonomi kreator dengan konten dewasa berbayar, kini resmi dikecualikan dari lanskap digital Tiongkok.
Langkah ini bukan sekadar memblokir satu situs, hal ini melengkapi rangkaian kebijakan keras yang menegaskan tekad pemerintah dalam menata ulang batas-batas kebebasan online demi menjaga “kesucian” ruang maya.
Dikutip dari Radii, Selasa (22/7/2025), sebenarnya OnlyFans tidak pernah mendapatkan lisensi resmi untuk beroperasi di China. Namun, bukan rahasia lagi bahwa para penggemar dan kreator nekat menerobos tembok besar digital Great Firewall dengan bantuan VPN dan layanan pembayaran internasional. Cara pintas semacam ini memungkinkan sebagian kecil pengguna menikmati konten eksklusif, sekaligus membuka celah pemasukan bagi kreator lokal.
Sekarang, celah tersebut tampak telah ditutup rapat; upaya blokir tidak hanya menargetkan domain utama, tetapi juga menghalangi alamat IP yang sering dipakai VPN, serta memutus layanan pembayaran pihak ketiga yang biasa dipakai untuk transaksi OnlyFans.
Langkah tegas terhadap OnlyFans merupakan lanjutan dari serangkaian tindakan keras Beijing dalam beberapa bulan terakhir. Tidak hanya platform konten dewasa, pemerintah juga mengerem laju gim impor, mempersulit distribusi film asing, serta membatasi akses ke jejaring sosial populer seperti Instagram dan Reddit.
Setiap pembatasan itu disertai retorika perlawanan terhadap “invasi budaya asing” yang dipandang mengundang kebebasan yang berpotensi merusak tatanan sosial. Dengan begitu, rakyat dipagari dalam batasan informasi yang ketat, sekaligus menggiring warganet untuk beralih ke aplikasi lokal yang tunduk pada regulasi pemerintah.
Sikap keras China terhadap pornografi dan konten hiperseksual sudah berlangsung puluhan tahun. Undang-undang anti-pornografi yang diterapkan sejak reformasi era 1990-an kerap disusul razia situs rumahan hingga penangkapan pelaku distribusi materi terlarang.
Bahkan pada awal 2000-an, pemerintah merilis lagu-lagu anti-porno disertai video musik yang menggema di stasiun televisi dan jaringan radio nasional, seolah memberi peringatan puitis bahwa “kesusilaan” adalah harga mutlak. Namun, sebagaimana pepatah lama mengatakan, arus bawah akan selalu mencari celah, dan digital underground pun terus bermetamorfosis.
Di tengah pengawasan super ketat, para kreator online di China semakin lihai memainkan pola baru agar konten berbayar mereka tetap dapat diakses oleh para penggemar. Muncul platform alternatif berbasis langganan yang menyamar sebagai “klub penggemar” seperti Fansnub, Weimiquan, atau forum premium di Zhihu di mana konten dewasa dikemas dalam format diskusi seni atau edukasi.
Dengan memanfaatkan sistem grup tertutup, token virtual, dan undangan eksklusif, para kreator berhasil merajut ekosistem tersendiri yang relatif minim risiko diblokir, sekaligus menjaga arus pendapatan tetap mengalir.
Keputusan memblokir OnlyFans meski sudah relatif terlambat menjadi sinyal kuat bahwa China tidak main-main dalam mempertahankan kedaulatan digitalnya.
Bagi netizen, ini berarti mereka semakin terbatas pada konten yang disetujui pemerintah dan terpaksa menempuh jalur alternatif yang kian rumit. Sebaliknya bagi kreator, tantangan panjang terbentang, mendorong inovasi cara penyajian konten dan saluran pembayaran.
Pada akhirnya, larangan ini membuktikan satu hal: dalam permainan kekuasaan dunia maya, regulasi dapat menggulung sekumpulan platform raksasa, tetapi kreativitas manusia selalu menemukan celah untuk terus berkreasi.