PPIH Daker Bandara sedang membantu merapikan barang bawaan kabin salah satu jemaah lansia, di Paviliun Terminal Haji Bandara King Abdul Aziz Jeddah. (Foto:Ramdani Bur/MCH2025)
Di bandara Jeddah, setelah rangkaian panjang ibadah dan kelelahan yang menumpuk, para jemaah haji Indonesia bersiap untuk kembali ke Tanah Air. Koper-koper kabin yang semestinya hanya berbobot 7 kg, seakan ingin berteriak karena beban yang ada di dalamnya lebih dari itu. Tangan-tangan renta memegang erat tas selempang atau plastik-plastik besar yang terikat di atas koper yang juga sudah nyaris tak muat menampung oleh-oleh: kurma, air zamzam, cokelat Arab, sajadah, minyak wangi, mukena, bahkan boneka unta untuk para cucu tersayang di tanah air.
Di sinilah babak terakhir dari perjalanan haji berlangsung. Di ruang tunggu sebelum boarding, bukan hanya rasa haru dan lega yang kami temui, tapi juga peristiwa-peristiwa kecil yang diam-diam menguras emosi.
Saya dan tim PPIH Daker Bandara sudah hafal polanya. Setiap menjelang keberangkatan, kami bersiaga membantu jemaah mengecek koper kabin, dan memastikan tak ada kelebihan bagasi yang bisa menghambat keberangkatan. Tapi yang tak pernah mudah adalah ketika kami harus berkata, “Maaf, ini tidak bisa dibawa, Nek. Beratnya sudah melebihi batas.”
Tak jarang, kami harus menahan tangan-tangan tua yang dengan berat hati mengumpulkan kembali barang-barang yang tadi sudah kami pisahkan. Mereka berjalan pelan, kadang gemetar, mencoba menyelipkan lagi tasbih atau sekotak kurma ke tas jinjing. “Ini buat cucu saya, Mba,” kata seorang nenek dengan suara nyaris pelan, seolah sedang meminta izin, bukan membangkang.
Kami tahu betapa berharganya oleh-oleh itu bagi mereka. Di balik setiap kurma dan sajadah yang dibawa, tersimpan doa-doa keluarga di kampung halaman. Tapi kami juga tahu bahwa keselamatan tak bisa ditukar dengan perasaan sentimentil. Pesawat harus tetap berangkat sesuai jadwal. Bobot harus tetap sesuai aturan. Satu orang ngotot bisa membuat ratusan jemaah lainnya terlambat terbang. Pasalnya, pesawat tidak bisa tinggal landas bila isi bobotnya melebihi kapasitas.
Kami berusaha tegas, tapi juga lembut. Ada yang akhirnya memahami dan rela melepas sebagian barang. Tapi ada juga yang diam saja, hanya menatap, sebelum akhirnya duduk di kursi dan menangis diam-diam.
Di titik ini, kami sadar: haji bukan hanya soal tawaf dan wukuf. Tapi juga tentang mengalahkan ego. Tentang melepaskan sesuatu yang kita cintai demi kepentingan bersama. Ini adalah ujian terakhir, sesaat sebelum kepulangan: ujian keikhlasan.
Dan bagi kami yang bertugas, ini pun ujian. Ujian empati, kesabaran, dan ketegasan. Karena di balik seragam petugas, kami juga manusia. Kami juga punya orang tua. Kami tahu rasanya ingin membahagiakan keluarga dengan buah tangan dari tempat suci.
Tapi kami juga tahu, tanggung jawab kami adalah memastikan seluruh jemaah bisa pulang dengan selamat. Maka meskipun hati ini ikut teriris saat melihat nenek-nenek yang harus meninggalkan oleh-olehnya, kami tetap berdiri di sana—mendampingi mereka melewati detik-detik terakhir sebelum terbang pulang, sambil berdoa dalam diam: semoga yang mereka bawa pulang bukan hanya koper yang ringan, tapi juga hati yang lapang dan jiwa yang utuh.
Karena sejatinya, haji bukan hanya tentang berangkat dan kembali. Tapi tentang bagaimana kita berubah—menjadi lebih bijak, lebih sabar, dan lebih mengerti bahwa tidak semua yang kita genggam harus kita bawa pulang.