Meski kecerdasan buatan (AI) terbukti mendorong peningkatan pendapatan bagi 90% brand di Indonesia, hasil survei terbaru dari Twilio menunjukkan bahwa loyalitas pelanggan tetap bergantung pada kepercayaan dan interaksi dengan manusia.
Temuan ini diungkap dalam laporan tahunan State of Customer Engagement Report (SOCER) 2025 yang disusun Twilio, perusahaan global yang bergerak di bidang teknologi interaksi pelanggan.
Laporan ini disusun berdasarkan survei terhadap lebih dari 7.600 konsumen dan 600 pimpinan bisnis di 18 negara, termasuk Indonesia.
Hasilnya mencerminkan adanya kesenjangan signifikan antara persepsi brand terhadap kualitas layanan personalisasi dan pengalaman nyata yang dirasakan oleh konsumen.
Baca juga: Adobe Firefly Hadir di iOS dan Android, Bawa Fitur AI Generatif
Adopsi AI Tinggi, Tapi Personalisasi Masih Kurang
Brand di Indonesia termasuk yang paling antusias dalam memanfaatkan AI untuk membangun pengalaman pelanggan.
Teknologi ini digunakan untuk menganalisis data pelanggan, menanggapi pertanyaan dengan chatbot, hingga memberikan rekomendasi produk yang relevan.
Sebanyak 100% responden bisnis di Indonesia mengklaim menggunakan AI untuk menganalisis kebutuhan pelanggan, sementara 94% menggunakannya untuk chatbot dan rekomendasi berbasis data. Namun, terlepas dari optimisme ini, hasil di sisi konsumen menunjukkan hal berbeda.
Hanya 72% konsumen yang merasa brand telah melakukan personalisasi dengan baik, dan bahkan hanya 10% yang merasa interaksi mereka dengan brand selalu dipersonalisasi.
Artinya, meskipun teknologi sudah diterapkan secara luas, pengalaman yang konsisten dan terasa personal belum benar-benar dirasakan konsumen.
Personalisasi Tidak Selalu Meningkatkan Kepercayaan
AI memang telah memberikan dampak positif terhadap performa bisnis. Sebanyak 90% brand di Indonesia melaporkan peningkatan pembelian pelanggan setelah mengimplementasikan AI. Namun, hasil ini belum cukup untuk membangun loyalitas jangka panjang.
Laporan Twilio menyebutkan bahwa 55% konsumen Indonesia tidak yakin apakah data mereka digunakan untuk kepentingan mereka sendiri. Sementara itu, 39% merasa mulai jenuh dengan kehadiran AI dalam layanan pelanggan.
Baca juga: Hati-Hati! Malware Baru Menyamar Jadi Asisten AI dan Curi Data Pengguna
Bahkan, 87% konsumen Indonesia mengaku tidak akan segan beralih ke brand lain jika merasa pengalaman yang diberikan tidak relevan atau tidak memuaskan.
Dalam konteks global, hampir setengah konsumen (45%) akan membeli kembali dari brand yang mempersonalisasi layanan mereka, dan 43% akan merekomendasikannya kepada orang lain.
Tren loyalitas ini terutama menonjol di negara-negara Asia seperti Indonesia, Filipina, India, dan Meksiko, di mana lebih dari 50% konsumen menunjukkan keterikatan dengan brand yang mampu menghadirkan pengalaman personal secara real-time.
Transparansi dan Sentuhan Manusia Masih Jadi Prioritas
Salah satu sorotan dalam laporan SOCER 2025 adalah kebutuhan konsumen terhadap transparansi dan kendali atas interaksi mereka dengan brand.
Sebanyak 64% konsumen Indonesia ingin tahu apakah mereka sedang berbicara dengan AI atau agen manusia, dan 86% lebih memilih menentukan sendiri bagaimana mereka ingin berkomunikasi.
Selain itu, 88% konsumen Indonesia ingin interaksi yang dibantu AI tetap terasa seperti percakapan dengan manusia, dan 67% menyatakan lebih memilih berbicara langsung dengan agen manusia jika AI gagal menyelesaikan masalah.
“Survei ini menunjukkan bahwa walaupun AI memainkan peran penting dalam membangun skala dan efisiensi, konsumen Indonesia masih sangat menghargai kehadiran manusia dan transparansi dalam interaksi,” jelas Irfan Ismail, Regional Vice President, South ASIA & APAC, ISV Sales Twilio.
“Hanya brand yang mengedepankan empati dan keterbukaan, serta memanfaatkan AI secara bijak, yang akan berhasil membangun kepercayaan dan loyalitas pelanggan”, imbuh Irfan.
Risiko Kehilangan Konsumen Lebih Besar
Dalam era di mana persaingan semakin ketat, pengalaman pelanggan menjadi kunci utama keberhasilan sebuah brand.
Temuan survei menunjukkan bahwa 59% konsumen Indonesia langsung mencari alternatif produk atau layanan jika mendapatkan pengalaman buruk, dan lebih dari 40% akan beralih ke brand lain.
Namun, harapan juga muncul dari data bahwa 93% konsumen Indonesia lebih cenderung membeli dari brand yang menawarkan interaksi personal secara real-time.
Sayangnya, hanya 44% brand yang mengaku mampu menghadirkan pengalaman seperti ini secara konsisten.
Dalam dunia yang makin terdigitalisasi, konsumen tidak lagi sekadar mencari layanan cepat dan pintar, tapi juga menginginkan koneksi emosional dan kontrol atas interaksi mereka dengan brand.