Makkah (Kemenag) — Sebagai rukun Islam kelima yang bersifat multidimensi, ibadah haji menempati tempat tersendiri di hati setiap generasi. Setidaknya ada tiga generasi yang bisa diangkat untuk melihat bagaimana ibadah ini dijalani, dimaknai, dan dihayati secara berbeda—yakni generasi Baby Boomers, Milenial, dan Z. Perbedaan ketiganya terlihat dari aspek motivasi, cara menjalani, hingga cara mereka merefleksikan ibadah haji dalam hidupnya.
Pertama, dari sisi motivasi. Generasi Baby Boomers umumnya melihat haji sebagai puncak ibadah sekaligus peneguh identitas religius. Di sejumlah komunitas, haji juga dimaknai sebagai simbol status sosial dan spiritual. Tradisi penyematan gelar “Pak Haji” atau “Bu Hajjah” menjadi bagian dari peneguhan identitas yang menghadirkan privilese sosial tersendiri.
Momentum pelaksanaan haji bagi generasi ini biasanya terjadi setelah mereka mapan secara ekonomi dan matang secara usia. Banyak kisah dari kalangan Baby Boomers yang pergi haji dengan modal hasil menjual tanah, properti, atau menabung bertahun-tahun secara konvensional.
Salah satu contoh adalah Saiman Muslih, jemaah asal Banyuwangi dari Embarkasi SUB. Dalam wawancara mendalam dengannya, pria berusia 76 tahun ini bercerita bahwa niatnya untuk berhaji muncul sejak tahun 2000, dan ia mulai menabung sejak 2010 dari hasil panen padi sawahnya. Artinya, ia mengumpulkan bekal haji selama 15 tahun. Awalnya ia mendaftar bersama istrinya, namun sang istri wafat tiga tahun sebelum keberangkatan.
Sebagai petani, Saiman mengaku harus jatuh bangun mengumpulkan ongkos haji. Panennya tak selalu berhasil; sawahnya kerap diserang hama tikus atau wereng. Ia membandingkan kondisinya dengan pegawai negeri atau karyawan swasta yang memiliki pendapatan tetap dan cenderung meningkat tiap tahun.
Berbeda dengan Baby Boomers, motivasi berhaji pada generasi Milenial (Gen Y) cenderung lebih variatif. Ada yang berangkat karena dorongan spiritual, ada yang karena keinginan pencapaian diri, eksistensi, atau bahkan sebagai bentuk aktualisasi. Dengan akses luas pada teknologi, generasi ini memiliki sudut pandang yang lebih personal dan reflektif.
Contohnya, Erwin Yusuf, jemaah asal Gorontalo berusia 44 tahun. Saat ditemui di pemondokan, ia menggambarkan pengalaman pertamanya thawaf dan melihat Ka’bah sebagai kepuasan batin yang luar biasa. Ia merasa telah sampai pada puncak spiritual yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dengan mata berkaca-kaca, ia menyampaikan kekaguman dan rasa syukurnya yang begitu dalam.
Milenial juga cenderung ingin berhaji di usia muda. Mereka menggunakan beragam cara, mulai dari menabung sendiri, memanfaatkan fintech syariah, hingga berinvestasi di saham, reksadana, atau sukuk. Corak dan karakteristik pengumpulan bekal haji mereka mencerminkan gaya hidup finansial yang lebih modern dan terencana.
Sementara itu, generasi Z melihat haji sebagai perjalanan spiritual yang harus “relatable” dan “meaningful.” Mereka lebih tertarik pada makna sosial dan historis ibadah haji, bukan semata menjalankan ritual.
Salah satu contohnya adalah Alfareza Firdaus, jemaah berusia 25 tahun asal Bondowoso. Belum menikah, ia mengaku selain pemahaman ajaran agama yanh dia pelajari, ia termotivasi untuk berhaji dari konten media sosial dan kisah jemaah muda. Media sosial menjadi sumber inspirasi dan informasi utama baginya, sekaligus medium untuk mencari makna yang rasional dan kontekstual.
Kedua, dari cara menjalani ibadah haji. Setiap generasi memiliki karakteristik tersendiri dalam merasakan dan menjalaninya, sangat dipengaruhi oleh usia dan latar pengalaman hidup.
Bagi Baby Boomers, haji dijalani dengan penuh ketertiban, kepatuhan pada pembimbing, dan nyaris tanpa banyak bertanya. Kepatuhan pada muthawwif (pembimbing) sangat tinggi, terutama di kalangan jemaah dari desa yang umumnya memiliki keterbatasan bahasa dan pengalaman. Mereka juga lebih sabar menghadapi keterbatasan fasilitas, karena memaknai haji sebagai proses kepasrahan total kepada Allah. Hal ini diamini oleh Saiman Muslih dari Banyuwangi, Jatim dan Husni Pagalung dari Enrekang, Sulawesi Selatan. Mereka menyebut haji sebagai bentuk spiritualitas yang diwariskan Nabi Ibrahim kepada Ismail.
Gen Milenial cenderung ingin menjalani haji secara praktis, efisien, dan terorganisir. Mereka menyukai kemudahan, kemandirian, serta tetap mengikuti aturan. Mereka juga aktif mendokumentasikan pengalaman melalui foto dan video karena akrab dengan teknologi. Ibadah tidak sekadar dijalankan, tetapi juga dikurasi dan dibagikan.
Sementara itu, Gen Z menjalani haji dengan pendekatan yang lebih visual dan digital. Mereka memanfaatkan smartphone, bahkan dibantu AI, untuk membuat vlog, refleksi spiritual, dan unggahan di TikTok atau Instagram. Media sosial menjadi sarana berbagi makna sekaligus ruang eksplorasi sisi sosial dan humanis haji—interaksi antarbangsa, kesetaraan, solidaritas. Pengalaman otentik menjadi penting, terutama yang bisa dirasakan dan sekaligus dibagikan.
Ketiga, dari sisi refleksi dan makna, tiap generasi juga menunjukkan perbedaan. Bagi Baby Boomers, haji adalah bekal akhirat dan bentuk pengabdian setelah selesai dengan urusan duniawi. Karena itu, mereka jarang membagikan pengalaman secara terbuka, kecuali dalam lingkaran terbatas seperti pengajian.
Generasi milenial memaknai haji sebagai momentum reflektif yang lebih besar, seperti soal makna kesabaran, sosial, dan kebersamaan. Mereka lebih mengaitkan haji dengan perbaikan diri, personal branding, bahkan sebagai momentum “life reset.” Erwin Yusuf menyampaikan bahwa dirinya menemukan titik balik spiritual. Dirinya mengaku akan memperbaiki sholatnya karena selama ini masih bolong-bolong. Demikian juga dia berjanji dengan dirinya sendiri akan lebih mampu mengontrol diri, lebih sabar dalam banyak hal.
Sementara Gen Z memandang haji sebagai “journey of the soul” yang jujur dan kontekstual. Mereka lebih terbuka dalam berbagi sisi emosional dan perjuangan mental selama haji. Bahkan, tidak segan mengkritik sistem layanan jika dianggap tidak adil, demi perbaikan. Semua itu direkam dan dipublikasikan melalui media sosial sebagai ekspresi dari realitas masyarakat digital. Wallahu a’lam.[]