Di tengah arus revolusi industri 4.0 dan transformasi digital yang kian deras, aset data (data assets) dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menjelma menjadi fondasi sibernetika (cybernetics) dalam membentuk citra diri yang relevan dan berpengaruh.
Menjawab kebutuhan itu, Techbrand Summit 2025 yang digelar oleh Puspenma Kemenag RI kerjasama dengan Cakrawala Indonesia Bangkit mengusung tema “From Data to Persona: Engineering Personal Brands with AI”, sebuah ruang belajar dan inspirasi bagi siapa pun yang ingin menata personal branding dengan strategi tepat di era kecerdasan buatan.
Acara ini akan digelar secara online melalui platform Zoom, Minggu, 14 September 2025, menghadirkan praktisi lintas bidang, yaitu Anton Sulaiman, Ruchman Basori, Agung Pambudi, dan Khodijah Hulliyah. Disini saya membedah bagaimana AI menjadi mitra dalam membangun citra personal melalui algoritma media sosial dan data analytics.
Reputasi Digital
Era AI telah mengubah cara manusia bekerja, berinteraksi, dan menampilkan diri melalui jejak digital (digital footprint).
Seorang pemimpin, pebisnis, atau profesional masa kini tidak lagi hanya dikenal melalui prestasi nyata di lapangan, melainkan juga lewat rekam jejak digital yang mereka tinggalkan.
Psikolog sosial Sherry Turkle (MIT) menjelaskan bahwa identitas manusia kini berada dalam spektrum life on the screen–hidup di atas layar, sebuah konsep awal metaverse. Identitas tidak lagi tunggal, tetapi terfragmentasi sesuai dengan ruang interaksinya.
Carl Gustav Jung bahkan menyebut persona digital sebagai “topeng sosial” yang kita kenakan untuk diterima lingkungan. Dalam dunia digital, topeng itu berlapis-lapis, sehingga seseorang bisa tampak intelektual di LinkedIn, religius di Instagram, dan inspiratif di YouTube. Lalu, apakah keragaman persona ini memperkaya atau justru melemahkan integritas digital?
Menurut saya, kuncinya terletak pada keseimbangan antara otentisitas (authenticity) dan strategi. Seperti ditegaskan Brian R. Little (Harvard University), manusia adalah free trait agents–siapa pun bisa menampilkan ciri kepribadian yang bukan bawaan, demi tujuan yang bermakna. Suatu tindakan riskan.
Artinya, membangun personal branding digital boleh saja dilakukan secara taktis-strategis, tapi harus tetap berakar pada nilai inti kehidupan, yaknu kejujuran, integritas, dan konsistensi.
Risiko Persona Digital
Personal branding digital sebetulnya tidak netral–pasti untuk membentuk reputasi lebih baik. Amy Cuddy (Harvard Business School) menekankan bahwa manusia akan menilai manusia lainnya melalui dua dimensi utama, yaitu kompetensi dan kehangatan.
Kompetensi terlihat dari segi kualitas konten, gagasan, serta konsistensi narasi yang ditampilkan. Sementara kehangatan lahir dari cara menyapa publik, empati digital pada isu sosial, hingga sensitivitas merespons kritik. Siapa pun yang mampu menyeimbangkan keduanya, maka ia akan lebih dipercaya.
Namun demikian, risiko siber (cyber risk)-nya juga nyata. Joseph Walther menyebut fenomena hyperpersonal effect interaksi daring (online) bisa memperbesar citra positif maupun negatif secara ekstrem.
Unggahan emosional, misalnya, komentar multitafsir, atau jejak digital lama yang kurang pantas dapat menjadi boomerang bagi reputasi seseorang.
Bukankah sejarah digital tidak mudah dihapus, dan banyak tokoh publik kehilangan kepercayaan karena tersandung krisis reputasi digital di media sosial?
Strategi Persona Digital
Untuk menjawab tantangan itu, ada beberapa strategi yang bisa dipegang dalam membangun persona digital. Pertama, otentik, bukan sekadar pencitraan. Persona digital harus mencerminkan nilai yang diyakini, bukan sekadar ikut trend algoritmik.
Kedua, selaras online dan offline. Apa yang ditampilkan di media sosial harus konsisten dengan perilaku nyata, menciptakan koherensi identitas.
Ketiga, cerdas memanfaatkan algoritma. AI dan media sosial cenderung mengangkat konten viral yang emosional. Agar tidak terjebak kontroversi, kedepankan narasi edukatif, inspiratif, dan menenangkan melalui strategi konten berbasis data.
Keempat, bangun tim pendukung. Pebisnis atau calon pemimpin tidak bisa bekerja sendiri. Tim kreatif yang memahami literasi digital, wtren, dan etika teknologi (tech ethics) sangat membantu merancang konten yang bernas dan menyentuh publik.
Studi Kasus
Banyak figur global memanfaatkan persona digital secara efektif. Barack Obama menggunakan media sosial sebagai sarana membangun citra hangat dan inklusif melalui komunikasi digital yang terencana. Najwa Shihab konsisten menghadirkan narasi kritis namun elegan, memperkuat brand equity-nya yang independen.
Dari mereka kita belajar, bahwa personal branding bukan sekadar menampilkan diri, melainkan merawat konsistensi pesan, nilai, dan gaya komunikasi di berbagai saluran digital (omnichannel communication).
Mengukur Dampak
Agar tidak sekadar wacana, ada metric yang bisa digunakan untuk mengukur keberhasilan persona digital, yaitu, (1) Trust Index; (2) Tingkat Engagement Positif; (3) Konsistensi Narasi; dan (4) Ketahanan krisis (crisis resilience).
Diperlukan ukuran yang jelas agar langkah branding tidak berhenti di area wacana. Empat unsur metric digital diatas dapat dijadikan alat ukur. Dengan metric ini pula, citra abstrak dapat diterjemahkan ke dalam angka, tren, dan pola.
Disebutkan, bahwa indikator utama adalah trust index, yang menggambarkan tingkat kepercayaan audiens. Kepercayaan bukan soal jumlah pengikut, tetapi lebih jauh dari itu, melahirkan kesediaan orang untuk mendengarkan, mengikuti rekomendasi, bahkan membela saat muncul perdebatan.
Sentimen positif dalam komentar, kualitas interaksi, hingga tingkat konversi menjadi tolok ukur yang menunjukkan seberapa kuat fondasi kredibilitas digital yang sudah dibangun.
Indikator berikutnya adalah engagement positif, yang mengukur resonansi pesan dengan audiens. Tak hanya banyaknya like atau share, melainkan apakah konten yang kita unggah benar-benar menggerakkan percakapan dan menciptakan komunitas digital yang loyal.
Konsistensi narasi juga tak kalah penting. Bahwa cerita yang selaras di berbagai platform akan memperkuat pengenalan dan posisi kita di benak publik, sekaligus menghindarkan disonansi yang bisa merusak citra.
Terakhir, adalah ketahanan krisis, yang menjadi ujian sesungguhnya dari reputasi digital. Bagaimana kita merespons isu negatif, seberapa cepat pemulihan sentimen, dan apakah komunitas bersedia membela kita–semua itu menjadi cermin ketangguhan personal branding.
Jika keempat indikator ini dipantau secara rutin, maka pengelolaan persona digital tidak lagi bergantung pada perasaan semata, melainkan pada keputusan berbasis data yang lebih akurat dan berkelanjutan.
***
Di era komputasi kognitif (cognitive computing) dan AI, manajemen reputasi digital adalah kunci untuk menjadi pemimpin masa depan, pebisnis unggul, dan pemenang dalam kompetisi global.
Dunia digital bisa menjadi platform amplifikasi yang memperbesar nilai diri, atau jebakan algoritmik yang meruntuhkan reputasi. Pilihannya ada pada strategi, otentisitas, dan konsistensi kita dalam menata persona.
Seperti kata Jung, persona memang topeng, tetapi bukan untuk menutupi wajah sejati. Persona digital sejatinya adalah kurasi nilai luhur dan sarana menghadirkan dampak positif. Bagi siapa pun yang ingin melangkah maju, inilah saatnya membangun citra diri yang berkelas–bukan sekadar demi pengakuan, tetapi demi kontribusi nyata di dunia yang semakin terhubung oleh jaringan data (data networks) dan kecerdasan buatan.***
Khodijah Hulliyah, PhD (Direktur Artificial Intelligence Literacy and Innovation Institute UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)