Setiap musim haji, selalu ada cerita yang sama. Bukan sekedar soal khusyuknya wukuf di Arafah atau harunya saat mencium Hajar Aswad. Tapi, tentang kebingungan yang melanda ribuan jemaah haji Indonesia ketika harus kembali ke tenda atau hotel setelah lontar jumrah. Dan ironisnya, ini bukan cerita baru. Tahun demi tahun, masalah ini terus berulang, seperti lagu nostalgia yang diputar kembali.
Jangan ditanya, berapa banyak yang tersesat (jalan). Karena jawabannya akan membuat kita geleng-geleng kepala. Yang dimaksud tersesat di sini bukan hilang arah hidup, tapi benar-benar “sesat jalan”, tidak tahu arah pulang ke tenda di Mina tempat jemaah stay dalam 2-3 hari, bingung mencari hotel tempat menginap, bahkan ada yang berputar-putar tak tentu arah dari pagi hingga malam, tanpa makan, tanpa minum, hanya ditemani rasa cemas dan putus asa. Ada yang menangis, ada yang jatuh sakit, ada yang benar-benar stres berat karena tidak tahu harus berbuat apa.
Jika kita terjun langsung di ujung pintu keluar Mina, atau bahkan di sekitar lokasi tenda Mina, pasca lontar jumrah Aqabah, begitu banyak jemaah haji yang ketinggalan rombongan, terpisah dengan suaminya, atau terlepas dari pengawasan karena padatnya jemaah yang melontar. Dari sinilah petaka dimulai. Jemaah banyak yang keleleran, clingak-clinguk, banyak yang menangis, bahkan sakit karena cemas dan bingung.
Di lapangan, para petugas haji yang mengenakan seragam khas berwarna biru atau memakai rompi khusus, seperti menjadi “pahlawan dadakan”. Mereka diserbu pertanyaan, ditarik-tarik bajunya, diminta tolong mengantar, dijadikan tumpuan harapan. Tapi mereka juga manusia biasa, jumlahnya terbatas, tenaganya ada batas. Bayangkan, satu petugas harus menghadapi puluhan bahkan ratusan jemaah yang tersesat, kelelahan, atau panik. Kondisi ini tentu melelahkan dan tak jarang menimbulkan kepanikan massal.
Saya punya pengalaman pribadi saat berada dalam posisi di tenda Mina, betapa banyak orang bingung. Kelelahan saya dan KaKanwil Kemanag Jatim betul-betul dirasakan karena terlalu banyak melayani anter jemput jemaah yang tersesat jalan. Jangankan mencari blok tenda yang memiliki kesamaan tanda, mencari tenda dalam satu blok saja banyak yang kebingungan. Ada cerita saat perjalanan anter dua orang nenek jemaah haji asal Cilacap hingga ketemu rombongan Kloter SOC 11 mereka terharu dan menangis karena bisa kembali ke tendanya.
“Terima kasih ya mas, kami ditemani untuk mencari tenda. Saya bingung dan stres, mau kemana kami kembali. Ini mas buat kalian berdua”, kata salah satu ibu sambil menunjukkan uang riyal. “Kalau ibu kasih uang, kami tidak akan antarkan ke tenda ibu. Ini sudah menjadi tugas kami, melayani jemaah. Jadi nggak usah beri seperti itu”, tegas pak Bahtiar, Kepala Kanwil Kemenag Jatim tegas.
Lalu, pertanyaannya kenapa ini bisa terjadi terus-menerus? Jawabannya ada pada satu hal mendasar yang selama ini sering kita abaikan, literasi jemaah haji yang masih sangat rendah, terutama dalam hal mengenali lokasi, memahami tanda-tanda di sekitar, dan membekali diri secara mental menghadapi kondisi yang benar-benar berbeda dengan suasana di tanah air. Padahal, ini bukan hal baru. Mina, Muzdalifah, Arafah, semuanya sudah ada sejak zaman Nabi. Tapi cara kita membekali jemaah seolah belum beranjak dari pola lama.
Mari kita jujur, medan haji memang tidak mudah. Mina dipenuhi tenda-tenda putih yang nyaris serupa, padat, dan membingungkan. Jalan-jalan di Makkah punya rute yang tidak semua bisa dipahami dengan logika “jalan pulang” versi Indonesia. Apalagi kalau kita tidak terbiasa membaca tanda arah, tidak punya orientasi ruang, atau tidak tahu cara menggunakan aplikasi peta di ponsel. Dan sayangnya, sebagian besar jemaah haji kita memang belum terbiasa dengan itu semua.
Di sinilah pentingnya literasi untuk membentuk jemaah mandiri, bukan hanya sekadar kemampuan baca-tulis. Jemaah mandiri dituntut memiliki kemampuan “baca” dan memahami seluruh rangkaian manasik haji. Literasi dalam arti luas, mengenal tempat, memahami simbol dan penanda, mengenali medan, dan yang paling penting, membangun ketangguhan mental dan spiritual untuk menghadapi segala kemungkinan. Literasi ini mencakup tiga dimensi penting, kognitif, emosional, dan spiritual.
Literasi Kognitif
Jemaah perlu diberi pengetahuan yang cukup tentang lokasi-lokasi penting di Tanah Suci, bagaimana membaca peta sederhana, mengenali simbol atau tanda di sekitar, hingga tips mengenali jalur balik ke tenda. Bahkan perlu dilatih bagaimana menggunakan aplikasi GPS sederhana, karena sekarang sudah banyak aplikasi haji yang bisa membantu. Tapi ini harus dimulai sejak di tanah air. Setidaknya, baik individu maupun kelompok kecil ada yang memiliki kemampuan membaca dan mengenali peta dengan baik.
Literasi Emosional
Banyak jemaah yang ketika tersesat langsung panik, menangis, atau marah-marah. Mereka tidak siap secara mental menghadapi situasi tidak terduga. Karena itu, saat manasik, perlu ada sesi khusus untuk melatih “adversity quotient”, yakni kemampuan bertahan dan tenang saat menghadapi masalah. Mereka harus dibiasakan untuk tidak langsung panik, tapi berpikir jernih dan mengambil langkah cerdas. Pengalaman membuktikan, banyak jemaah yang mudah marah dan caci maki petugas yang juga sedang lelah. Ini cukup ironis.
Literasi Spiritual
Haji bukan hanya ritual fisik, tapi juga spiritual. Saat tersesat, keimanan seharusnya menjadi pelita. Tapi kalau sejak awal tidak disiapkan, yang terjadi justru sebaliknya, merasa Tuhan tidak menolong, putus asa, bahkan menyalahkan orang lain. Maka penguatan spiritual yang menekankan bahwa semua rintangan adalah bagian dari ujian kesabaran harus benar-benar ditanamkan.
Sejak kapan peningkatan literasi jemaah haji dimulai? Pendidikan literasi haji tidak bisa hanya dilakukan saat tiba di Arab Saudi. Terlambat. Harus dimulai jauh-jauh hari, sejak masa bimbingan manasik. Bahkan bisa dimasukkan ke dalam kurikulum pelatihan yang terstruktur. Di sinilah peran Kemenag dan para pembimbing haji sangat vital. Mereka tidak cukup hanya mengajarkan tata cara thawaf atau niat ihram, tapi juga membentuk jemaah mandiri dan tangguh, yang tidak mudah bingung, tidak mudah panik, dan tahu apa yang harus dilakukan saat menghadapi masalah.
Sedikit belajar dari jemaah dari Turki, mereka memiliki ketangguhan luar biasa. Kakek dan nenek asal Turki memiliki ketangguhan fisik dan juga ketahanan mental yang kuat. Mungkin soal kultur. Tapi seharusnya Indonesia pun bisa. Selama dilakukan dengan terstruktur dan terencana dengan baik, membentuk jemaah haji mandiri bukan hal mustahil. Bunkankah membutuhkan sekian generasi? Tidak! Semua bisa dilakukan dengan kesungguhan.
Terkait jumlah orang tua, sebagian besar jemaah haji Indonesia adalah sudah berusia dan lansia. Mereka perlu pendekatan berbeda. Jangan paksa mereka menghafal jalur rumit atau menggunakan aplikasi teknologi yang terlalu canggih. Yang mereka butuhkan adalah pendampingan yang sabar, penanda visual yang jelas, dan pelatihan yang diulang-ulang dengan sabar. Kalau bisa, setiap kelompok kecil punya pendamping yang mengenali jemaahnya satu per satu. Dalam konteks ini, harus ada SOP yang jelas untuk.menangani jemaah sesat jalan dari kalangan lansia.
Salah satu media yang bisa mengurai permasalahan ini adalah teknologi. Sekarang memang sudah ada banyak media digital, aplikasi petunjuk arah, pelacak lokasi, hingga grup-grup WhatsApp kloter. Tapi masalahnya, apakah jemaah kita sudah terbiasa menggunakan itu semua? Apakah mereka sudah diajarkan cara mengoperasikannya? Di sinilah peran anak-anak muda, para pendamping, dan komunitas digital haji sangat penting menjadi jembatan antara teknologi dan kebutuhan riil jemaah.
Kita sepakat, ibadah haji bukanlah sekadar tiba lalu beribadah, tetapi juga pulang dengan selamat kembali dengan keluarga di tanah air, dan mampu menjalani semua manasik dengan lengkap. Haji bukan hanya soal sampai ke Tanah Suci, menyelesaikan rukun-rukunnya, lalu pulang membawa sertifikat atau titel haji/hajjah. Tapi juga soal perjalanan batin, perjuangan fisik, dan keberhasilan mengatasi ujian-ujian kecil, termasuk ujian tersesat dan kembali dengan selamat.
Maka, mari kita benahi satu hal yang sering terlupakan tapi sangat menentukan kenyamanan dan keselamatan jemaah, literasi. Jika ini terus terabaikan, tahun depan, kita akan kembali mendengar cerita yang sama, jemaah tersesat, petugas kewalahan dan kelelahan, tenda penuh tangisan. Saatnya kita tekan tombol “Stop”, lalu rekam ulang dengan cara baru, mendidik jemaah menjadi pribadi yang tangguh, cerdas, dan mandiri. Karena haji, sejatinya, bukan hanya soal ibadah, tapi juga tentang cara kita menghadapi hidup.[]