Tanggal 21 Juni 1970, lima puluh lima tahun silam, salah seorang putra Indonesia yang besar dan Presiden Pertama Ir. Soekarno wafat di tengah kesepian setelah melepaskan jabatan sebagai orang nomor satu di Republik Indonesia. Presiden dan Wakil Presiden akan terus berganti sepanjang perjalanan bangsa, akan tetapi peran Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Proklamator Kemerdekaan tidak tergantikan.
Menteri Agama Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A. ketika menghadiri ziarah kebangsaan dalam rangka mengenang 55 tahun wafatnya Bung Karno di kompleks makam Sang Proklamator di Blitar, menegaskan pentingnya mengenang dan meneladani sosok Bung Karno sebagai pahlawan bangsa. Menurut Menteri Agama, sejarah tidak akan pernah melupakan orang besar, dan bangsa yang melupakan pahlawannya akan dilaknat sejarah. Bung Karno adalah tokoh besar yang menciptakan sejarah besar bagi bangsa Indonesia.
Mengenang Soekarno tak dapat dipisahkan dari mengenang Mohammad Hatta, dwitunggal proklamator kemerdekaan Indonesia. Kedua pemimpin besar itu berasal dari suku dan etnis yang berbeda yakni Jawa dan Minangkabau. Akan tetapi keberadaannya sebagai dwitunggal pemimpin nasional di masanya menjadi representasi persatuan Indonesia. Dalam hubungan ini penghormatan kepada proklamator perlu diiringi upaya mewujudkan gagasan dan cita-cita perjuangan pemimpin utama Indonesia itu dalam konteks kekinian.
Soekarno dan Mohammad Hatta bersama tujuh tokoh lainnya pada 18 Agustus 1945 menyepakati rumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang memuat dasar negara Pancasila dan menjanjikan Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Oleh karena itu pembangunan di segala bidang dan tata kelola demokrasi tidak boleh menyimpang dari prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan prinsip Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Saya mencatat paparan pemikiran dan ajakan dari Prof. Yudi Latif, Ph.D. dalam Seminar Nasional Revitalisasi Nilai Pancasila Dalam Memperkuat Ketahanan Ideologi, Hukum dan Sosial Budaya Bangsa yang digelar Universitas Gadjah Mada Prodi Magister Ketahanan Nasional dan Doktor Ilmu Ketahanan Nasional, Kamis 19 Juni 2025, agar kita menjadikan Pancasila sebagai ideologi kerja, di mana strategi induk pembangunan bangsa terangkum di dalam lima sila itu. Tiga kata kunci untuk memahami Indonesia ialah negara hukum, negara persatuan dan negara keadilan
Pesan Bung Karno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945 atau dikenal sebagai pidato “Lahirnya Pancasila”, mengumandangkan bahwa kita harus mencari persetujuan faham, bersama-sama mencari persatuan philosopische grondslag, mencari satu weltanschaung yang semua setuju. Menurut Bung Karno, dasar-dasar falsafah yang saudara Muhammad Yamin setujui, yang Ki Bagoes Hadikusumo setujui, yang Ki Hadjar Dewantara setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Kesepakatan dan perjanjian luhur philosopische grondslag yang dimaksudkan adalah Pancasila.
Bung Karno mempertanyakan, apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu? Tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua.
Penegasan Bung Karno ketika menguraikan prinsip kesejahteraan sosial, “Tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara?” ucapnya.
Mohammad Hatta, sebelum wafat tahun 1980, memberi penjelasan substantif atas sila-sila Pancasila dalam risalah Pengertian Pancasila (1977) sebagai testament kebangsaan yang perlu dicamkan oleh seluruh anak bangsa. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut Bung Hatta, “Tidak hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing, melainkan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan.”
Selanjutnya, “Dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, tak lain dari kelanjutan dengan perbuatan dalam praktik hidup daripada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Dasar ini sifatnya universal, tidak terikat kepada batas negara atau corak bangsa. Untuk itu perlu diberi tempat yang layak dalam perundang-undangan kepada hak-hak dan kewajiban atas warga negara, terutama hak hidup (keselamatan jiwa), hak atas keselamatan badan dan hak atas kebebasan diri seseorang.”
“Dasar Persatuan Indonesia”, kata Wakil Presiden Pertama, pengertiannya ialah, “Bangsa Indonesia adalah satu dan tidak dapat dipecah-pecah. Persatuan Indonesia itu diperkuat oleh lambang negara kita Bhinneka Tunggal Ika, bersatu dalam berbagai ragam. Persatuan Indonesia mengandung di dalamnya cita-cita persahabatan dan persaudaraan segala bangsa.“
Adapun kerakyatan yang dianut oleh bangsa Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Dalam konteks kedaulatan rakyat, Bung Hatta menggagas demokrasi Indonesia, yang mencakup demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
“Dasar keadilan sosial tidak saja menjadi dasar negara Republik Indonesia, tetapi sekaligus menjadi tujuan yang harus dilaksanakan. Keadilan sosial adalah langkah yang menentukan untuk melaksanakan Indonesia yang adil dan makmur,” tulis Bung Hatta.
Jauh sebelum terbentuknya BPUPKI tahun 1945, sewaktu berbicara pada Kursus Liburan Internasional tahun 1927 atas undangan Liga Wanita Internasional di Gland, Swiss, Bung Hatta waktu itu masih mahasiswa di Netherlands, mengatakan, Nama ‘Indonesia’ bagi kami adalah lambang suci bagi sebuah negeri yang pada masa depan akan merdeka. Untuk mencapai cita-cita ini kami sekarang sedang berjuang melawan imperialis Belanda dan mengorbankan kepentingan pribadi kami.
Menurut Bung Hatta, rakyat adalah jantung demokrasi. Sejak zaman kolonial, ia mengingatkan bahwa demokrasi bisa membunuh demokrasi bila tidak dijalankan dengan benar. Untuk itu Bung Hatta memunculkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Setelah proklamasi Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden bulan November 1945 tentang Kepartaian agar Indonesia tidak menjadi negara kekuasaan.
Pokok-pokok pikiran Bung Hatta dapat disimak dalam Karya Lengkap Bung Hatta (1998) yang menjelaskan salah satu tugas negara ialah mempergunakan sumber daya alam menjadi kapital kemakmuran rakyat. Karena itu tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Bung Hatta memberi definisi “kemakmuran rakyat ialah apabila rakyat terlepas dari kemiskinan yang menyiksa dan bahaya kemiskinan yang mengancam.”
Sejalan dengan maksud ayat 1 Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Bapak Koperasi itu mengamanatkan koperasi sebagai organisasi ekonomi yang dituntut oleh Undang-Undang Dasar Negara kita. Asas kekeluargaan itu tiada lain adalah koperasi. Pesan Bung Hatta tegas sekali: cita-cita koperasi Indonesia menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental. Koperasi harus menjadi dasar perekonomian rakyat. Menurut istilah beliau, koperasi lawan tanding kapitalisme.
Cita-cita perjuangan Bung Hatta agar koperasi menjadi soko guru ekonomi Indonesia masih belum selesai. Menurut Bung Hatta, tujuan koperasi ialah memperbaiki nasib orang-orang yang lemah ekonominya dengan jalan kerjasama. Sandaran koperasi adalah orang, sedangkan uang faktor kedua.
Konsep koperasi akan direvitalisasi oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dengan mendirikan Koperasi Merah Putih. Peluncurannya direncanakan pada 12 Juli 2025 bertepatan dengan peringatan Hari Koperasi. Para pemikir dan pejuang koperasi perlu memberi masukan terbaiknya agar koperasi menjadi elevator pembangunan ekonomi menuju Indonesia Emas 2045.
Dalam buku Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1987) Bung Hatta menjelaskan sifat-sifat yang diperlukan dalam mengembangkan koperasi, ialah: (a) rasa solidaritas, setia kawan, (b) individualitas, insaf akan harga diri, (c) kemauan dan kepercayaan pada harga diri sendiri dalam persekutuan untuk melaksanakan self-help, tolong diri sendiri dan auto-aktivitas guna kepentingan bersama, (d) cinta kepada masyarakat yang kepentingannya harus didahulukan dari kepentingan diri sendiri atau golongan sendiri, (e) rasa tanggungjawab moril dan sosial.
Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai pemikir, pemimpin, negarawan pejuang, dan patriot par excellence telah pergi. Tetapi namanya abadi dalam ingatan bangsa. Jasa Bung Karno dan jasa Bung Hatta dalam menyatukan Indonesia tidak ternilai sampai kapan pun.
Desain negara sebagaimana disusun berdasarkan pemikiran para founding fathers adalah warisan berharga yang harus terjaga di tengah perubahan dunia. Saya kira tidak berlebihan menyebut “generasi pertama republik,” seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Haji Agus Salim, Tan Malaka, dan tokoh lainnya, adalah “generasi terbaik bangsa” dengan kecerdasan di atas rata-rata. Para founding fathers negara kita adalah orang-orang terseleksi dalam sejarah dan memiliki kecakapan berpikir melampaui zamannya.
Sebagai manusia biasa, mereka tidak luput dari kekurangan, tetapi jasa dan kebaikannya, insya allah menutup segala kekurangannya. Generasi Indonesia hari ini perlu mengaktualisasikan cita-cita dan legasi pemikiran para pendiri bangsa. Tata kelola bernegara tidak boleh bertabrakan dengan desain negara dan tata nilai dalam konstitusi warisan pendiri bangsa demi untuk Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, di mana seluruh rakyat diharapkan hidup adil dan makmur dengan lambaian Sang Saka Merah Putih.
Wallahu a’lam bisshawab.
M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro UIN Imam Bonjol Padang)