Pertandingan Liga Champions 2025/2026 matchday kelima telah usai, sekaligus menjadi ajang bagi wakil La Liga untuk memasuki fase perhitungan dengan target meraih tiket ke babak gugur.
Berdasarkan poin musim lalu dan perhitungan Opta, ambang batas untuk finis di 2 teratas biasanya adalah 19-21 poin, 8 teratas sekitar 16 poin, dan tempat terakhir dalam grup 24 tim yang berpartisipasi dalam play-off mungkin hanya perlu 10 poin.
Menurut AS, Barcelona bisa langsung tersingkir dari babak phase group. Kekalahan di Stamford Bridge membuat Barcelona kehilangan momentum dalam perebutan posisi 8 besar dan membuka skenario buruk bagi tim Catalan tersebut. Barca hanya mengoleksi 7 poin setelah 5 pertandingan, berada di luar 16 besar dan belum pasti lolos ke babak play-off.
Skuad asuhan Hansi Flick tak lagi berpeluang merebut kembali posisi kedua klasemen seperti musim lalu dan terpaksa memenangkan ketiga laga terakhir melawan Eintracht Frankfurt, Slavia Praha, dan Kopenhagen untuk berharap bisa masuk grup 8 tim terkuat. Jika harus bermain play-off, risikonya sangat tinggi.
Barcelona membutuhkan setidaknya satu kemenangan untuk mengamankan tempat mereka di grup. Namun, skenario terburuknya adalah jika mereka terus kehilangan poin melawan tim-tim yang peringkatnya lebih rendah. Jika mereka hanya meraih maksimal 2 poin dalam 3 pertandingan, Barcelona bisa turun di bawah batas 9 poin – zona berbahaya, karena tim-tim play-off sangat berdekatan.
Real Madrid adalah favorit. Kemenangan 4-3 atas Olympiakos membawa mereka ke posisi ke-5 dengan 12 poin. Mereka hanya membutuhkan 4 poin lagi dari 3 pertandingan terakhir untuk berada di 8 besar dan terhindar dari play-off. Untuk bersaing memperebutkan dua posisi teratas, mereka harus meraih setidaknya 7 poin melawan Man City, Monaco, dan Benfica.
Atletico Madrid tak boleh melakukan kesalahan. Tim asuhan Diego Simeone harus memenangkan ketiga pertandingan melawan PSV, Galatasaray, dan Bodo/Glimt untuk mencapai puncak grup. Satu kekalahan saja hampir menutup peluang mereka untuk mencapai 8 besar, meskipun tiket play-off masih terbuka.
Athletic Bilbao mempersulit diri mereka sendiri ketika ditahan imbang 0-0 oleh Slavia Praha. Dengan empat poin, mereka perlu memenangkan setidaknya dua pertandingan untuk memiliki harapan finis di 24 besar. Jadwal padat bersama PSG, Atalanta, dan Sporting membuat tugas mereka semakin sulit.
Villarreal adalah tim dengan kerugian terbesar. Satu poin setelah 5 pertandingan membuat mereka tersingkir dari grup play-off. Namun, “Kapal Selam Kuning” masih memiliki peluang jika mereka memenangkan ketiga pertandingan melawan Kopenhagen, Ajax, dan Leverkusen untuk mencapai target 10 poin.
Barcelona Menunjukkan Warna Asli Mereka di Stamford Bridge
Chelsea yang dingin memperlihatkan kelemahan Barcelona: kurangnya kecepatan, kurangnya intensitas dan kurangnya kepemimpinan.
Barcelona datang ke Stamford Bridge dengan harapan menunjukkan peningkatan performa mereka di bawah Hansi Flick. Namun, ketika peluit akhir dibunyikan, yang tersisa hanyalah kekalahan 3-0 dan perasaan bahwa tim belum siap untuk Liga Champions. Chelsea bermain seperti tim yang tahu apa yang harus dilakukan melawan lawan yang tangguh. Barca justru sebaliknya.
Sejak menit-menit awal, Chelsea mendominasi permainan dengan tekanan intens, memaksa Barcelona untuk mundur lebih dalam. Tim tuan rumah meningkatkan formasi mereka, bertarung sengit, dan memblok semua peluang lawan untuk menguasai bola dari lini belakang.
Sementara itu, Barcelona memulai pertandingan dengan tempo lambat, berusaha menguasai bola tetapi kurang kecepatan dan tekad untuk mematahkan tekanan Chelsea. Perbedaan motivasi terlihat jelas, dan hal itu segera menyebabkan kebobolan dua gol di babak pertama.
Lini tengah Barcelona menjadi kelemahan terbesar dalam pertandingan ini. Frenkie de Jong tidak mampu mengatur tempo tanpa Pedri, sementara Fermin Lopez terus-menerus dihadang lawan dan tidak mampu mendominasi ruang. Keduanya gagal menciptakan koneksi antar lini, membuat Barcelona kehilangan kemampuan transisi, yang merupakan kunci ketika menghadapi tim dengan kecepatan seperti Chelsea. Ketidakmampuan Barcelona untuk merebut kembali bola setelah kehilangannya membuat pertandingan benar-benar berpihak pada tim tuan rumah.
Memasuki babak kedua, peluang Barcelona untuk bangkit kembali yang sudah tipis pupus sepenuhnya oleh kartu merah Ronald Araujo. Bek tengah Uruguay itu menerima dua kartu kuning karena kehilangan kendali, yang keduanya sebenarnya bisa dihindari seandainya ia lebih waspada.
Seorang pemain yang dianggap sebagai pemimpin pertahanan tidak boleh melakukan kesalahan seperti itu. Membiarkan timnya bermain dengan satu pemain lebih sedikit melawan Chelsea yang bersemangat tinggi ibarat menyerahkan senjata.
Keruntuhan berlanjut ketika pertahanan rapuh dan serangan kehilangan arah. Jules Kounde bermain kurang optimal, dengan pergerakannya lambat dan tidak akurat. Alejandro Balde gagal memberikan dampak signifikan di sayap kiri.
Raphinha diblok dan hampir tidak ada bola berkualitas yang bisa diantisipasi Lewandowski di kotak penalti. Chelsea mengendalikan tempo, memanfaatkan ruang, dan akhirnya mencetak gol ketiga.
Yang paling mengkhawatirkan bukanlah kekalahan 0-3, melainkan gambaran Barcelona yang menyerah total setelah gol kedua. Semangat juang yang pernah membuat Blaugrana terkenal kini sirna. Tidak ada perjuangan yang cukup kuat untuk menciptakan rasa bahwa mereka masih yakin akan kemampuan membalikkan keadaan. Inilah detail yang paling membuat banyak penggemar khawatir.
Barcelona kembali terekspos melawan tim-tim terbaik di Eropa. Mereka bisa bermain baik melawan lawan yang lemah atau biasa-biasa saja, tetapi melawan tim-tim bertempo tinggi seperti Real Madrid, PSG, atau Chelsea, mereka seringkali terpaksa mengejar bola. Keterbatasan mereka dalam hal kekuatan, kemampuan bersaing, dan intensitas sangat kentara. Ini bukan hanya masalah personel, tetapi juga masalah taktik.
Hansi Flick tidak bisa mengelak dari tanggung jawabnya. Ia harus meningkatkan kualitas permainan, mengatur ulang standar disiplin, dan menemukan struktur taktis yang lebih tepat saat menghadapi tim-tim kuat. Barcelona membutuhkan lebih dari sekadar penguasaan bola; mereka membutuhkan ketajaman dalam menekan, intensitas dalam tekel, dan kecepatan dalam transisi.
Stamford Bridge telah mengungkap sebuah kebenaran: Barcelona bisa tampil spektakuler melawan tim-tim kecil, tetapi rapuh menghadapi tantangan nyata. Dan kecuali mereka segera berkembang, Liga Champions akan selalu berada di luar jangkauan mereka.
