Kegagalan Timnas Indonesia U-23 dan Malaysia di Kualifikasi Piala Asia U-23 telah mengungkap sisi buruk kebijakan naturalisasi besar-besaran, memperlihatkan kurangnya keberlanjutan ketika mengabaikan pelatihan pemain muda.
Kesuksesan gemilang Timnas Indonesia dan Malaysia baru-baru ini, yang dibangun di atas fondasi kebijakan naturalisasi besar-besaran, telah menciptakan ilusi kebangkitan sebuah bangsa sepak bola secara keseluruhan. Namun, kekalahan telak tim kualifikasi Piala Asia U-23 baru-baru ini telah mengungkap kebenaran yang nyata: itu adalah rumah megah yang dibangun dari atas ke bawah, dengan fondasi yang sangat rapuh.
Kualifikasi Kejuaraan Piala Asia U-23 2026 telah menjadi tolok ukur yang kejam. Vietnam dan Thailand, tim yang setia mengembangkan bakat-bakat lokal, dengan nyaman menjuarai grup, sementara Indonesia dan Malaysia justru terpuruk meskipun memiliki pemain-pemain yang sangat diunggulkan. Indonesia, yang baru setahun lalu mencapai semifinal Kejuaraan AFC U23 dan hampir lolos ke Olimpiade, bahkan gagal mengalahkan Laos di kandang sendiri.
Akar penyebab keruntuhan ini berasal dari kebijakan yang mereka junjung tinggi. Pelatih timnas U-23 Indonesia, Gerald Vanenburg, tak ragu menunjukkan masalahnya: pemain lokalnya terlalu lemah karena mereka minim menit bermain.
“Ketika mereka kembali ke klub, memang perlu jam terbang untuk bermain agar ketika mereka menghadapi turnamen seperti ini, mereka siap,” kata Vanenburg pada jumpa pers usai pertandingan di Stadion Gelora Delta Sidoarjo.
Hal ini merupakan akibat langsung dari kejuaraan nasional Indonesia yang mengizinkan klub mendaftarkan hingga 11 pemain asing, sehingga hanya ada 4 pemain lokal di susunan pemain inti.
Paradoks terbesar dari kebijakan naturalisasi telah terungkap. Tujuan awalnya adalah mendatangkan pemain yang dilatih di Eropa untuk meningkatkan kualitas tim nasional. Namun kini, tren paradoks terjadi: setelah mendapatkan paspor Indonesia, para pemain “berkemas” dan kembali bermain di liga domestik AFC yang berperingkat rendah. Mereka tertarik dengan “pekerjaan mudah, gaji tinggi” dan akibatnya, keterampilan mereka tidak hanya tidak berkembang tetapi juga berisiko mengalami kemunduran.
Vanenburg mencontohkan kasus Rafael Struick: “Ya, itu sesuatu yang harus kami bicarakan. Saya pernah membicarakan hal ini kepada Struick. Jika Anda tidak mendapatkan menit bermain, maka performa akan turun,” kata Gerald.
Solusi (naturalisasi) kini menjadi bagian dari masalah, karena pemain naturalisasi sendiri kesulitan bersaing dengan pemain asing lainnya di liga domestik Indonesia.
Sepak bola Malaysia juga mengikuti jalur serupa. Kejuaraan nasional mereka mengizinkan pendaftaran hingga 15 pemain asing. Tim nasional mereka mungkin lebih kuat dalam jangka pendek, tetapi tim U-23 mereka, yang intinya adalah pemain “lokal”, telah gagal total. Dalam jangka panjang, ketika pemain muda tidak diberi kesempatan, dari mana mereka akan mendapatkan pemain generasi berikutnya? Jika demikian, mereka harus bergantung sepenuhnya pada sumber daya asing.
Kegagalan Timnas Indonesia U-23 dan Malaysia bukanlah sebuah kecelakaan, melainkan sebuah peringatan keras. Berfokus hanya pada lini atas dan melupakan akarnya, yaitu pembinaan pemain muda dan penciptaan kondisi bagi pemain lokal untuk berkompetisi, adalah strategi “kemenangan cepat” yang berisiko. Keberhasilan sementara mungkin membutakan penggemar, tetapi pada dasarnya, ini adalah jalan yang tidak berkelanjutan, dengan risiko mengarah pada keruntuhan sistemik dalam waktu dekat.