Di hari yang sama, dua panggung digelar: satu dengan segel dan teriakan, satu dengan selempang dan pidato. Tapi keduanya merupakan ekspresi dari satu hal yang sama: kekuasaan.
Hari itu, ada dua kondisi kontras di NTT. Satu perguruan tinggi berseri karena kembali melahirkan guru-guru besar. Sementara perguruan tinggi lainnya riuh dengan aksi demo yang diwarnai penyegelan ruangan.
Tapi artikel ini tidak membahas soal demo dan prosesi pengukuhan guru besar. Artikel ini coba melihat segel dan selempang sebagai dua wajah dari kekuasaan.
Satu wajah disegel penuh amarah, satu diselempang penuh hormat. Satu digelar di halaman kampus jadi tontotan massa, satu di auditorium bergengsi dihadiri pejabat dan orang berdasi. Satu pakai lakban hitam, berteriak dari atas pickup dengan soundsistem mirip ember bocor, yang satu berselempang indah berpidato di podium megah dengan soundsistem yang teduh dan lembut.
Dua narasi ini tampak bertolak belakang, bahkan saling menjauh. Tapi keduanya berbicara tentang satu hal yang sama: Kekuasaan, harapan dan keberanian untuk berubah demi masa depan kehidupan bersama yang lebih baik.
*Segel Sebagai Teks Sosial*
“What’s going on?” para mahasiswa berkicau “Oh I see, I have a problem” yang lain menimpali. Publik membacanya sebagai protes. Tapi bagi saya, segel adalah sebuah teks sosial.
Dalam dunia pendidikan tinggi yang semakin birokratis, di mana kekuasaan akademik bisa dengan mudah berkembang menjadi monster yang dengan hati dingin berjusta, sebuah tindakan langsung menjadi bahasa yang lebih nyaring daripada surat terbuka atau mosi tidak percaya. Mungkin karena ia punya appeal: pura-pura betah tapi terimpit.
Prof. Keltner dari UC Berkeley dalam penelitiannya hampir 20 tahun menemukan fenomena “the power praradox”. Seorang pemimpin yang awalnya terpilih karena karakter positifnya, selalu berubah ketika ia merasa kekuasaannya makin kuat. Power yang awalnya digunakan untuk mempengaruhi orang lain agar mengukuti visinya berubah menjadi power untuk membuatnya mendapatkan privilese yang menurutnya menjadi haknya selaku pemimpin.
Pada titik ini, seorang pimpinan memiliki kecenderungan tiga kali lipat lebih besar menginterupsi pekerjaan anak buah dan pejabat di bawahnya. Melakukan multiasking sambil rapat dan memberikan beragam pressure untuk menunjukkan kekuasaannya. Bagaimana bisa menghindar dari situasi yang memabukkan ini?
“There is nothing outside the text” tulis Jacques Derrida dalam “Of Grammatology”. Tokoh utama filsafat dekonstruksi ini menegaskan kita tak bisa memahami atau mengakses dunia tanpa melalui bahasa, simbol atau sistem representatif lainnya. Segel adalah narasi simbolik yang menolak dibaca secara administratif. Memakai kata-kata Sutardji, segel ibarat “cuka dalam nadi, luka dalam diri” kekuasaan.
Penyakit kekuasaan adalah lupa. Karena itu siapa yang berkuasa dia harus selalu waspada, jangan sampai lupa bahwa kekuasaan itu ada batas dan waktunya. Segel menjadi teks sosial yang menjeritkan harapan, menegur dan mengingatkan kekuasaan dari kecenderungan lupa diri.
Dengan perkataan yang lebih alegoris, sebagai teks sosial, segel adalah sebuah pesan ekskhatologis sekaligus apokaliptis. Dengan menyegel gedung rektor sebagai simbol kekuasaan tertinggi di kampus, para mahasiswa mengingatkan bahwa musuh dari kekuasaan adalah kekuasaan itu sendiri. Bukan yang lain-lain. Segel melindungi agar kekuasaan tidak membusukkan dan menghancurkan dirinya sendiri.
*Selempang Kekuasaan Intelektual*
Guru besar dalam tradisi akademiki adalah puncak pencapaian intelektual. Ia mengenakan toga, menyampaikan pidato ilmiah dan menerima selempang sebagai tanda otoritas. Dengan demikian Selempang Guru Besar adalah bentuk kekuasaan yang lebih halus, ia tidak memerintah tapi memengaruhi. Ia tidak membuat kebijakan, tapi membentuk cara berpikir meski terkadang “Senyap dalam sungai, tenggelam dalam mimpi.”
Dalam pidato pengukuhan, seorang guru besar menyampaikan dan mempertanggungjawabkan pemikiran yang telah dirumuskannya secara bertahun-tahun. Ini bukan sekadar seremoni, tetapi kesaksian bahwa ilmu yang ia miliki telah siap menjadi bagian dari sejarah keilmuan.
Pengukuhan guru besar bukanlah akhir, melainkan awal dari tanggungjawab yang lebih besar dari kekuasaan yang lebih halus. “Power corresponds to the human ability not just to act but to act in concert” tulis Hannah Arendt, dalam On Violence.
Guru besar adalah gabungan unik antara pengakuan akademik, harga diri dan sensasi kekuasaan. Pengalungan selendang memberinya tanggungjawab atas nama jabatan, untuk menjaga agar komunitas akademik tidak lupa diri, tetap hidup dalam semangat kolektif, di mana kehidupan tumbuh melalui dialog, bukan monolog, melalui kolaborasi, bukan komando. Dalam semangat Hanna Arendt, selempang adalah simbol komitmen untuk menjadi penjaga ruang publik akademik yang bebas, terbuka dan beradab.
*Mendengar dan Berubah*
Kekuasaan memang memberikan kesempatan luas untuk bermakna bagi orang lain. Namun kekuasaan harus dibatasi, supaya yang berkuasa tahu diri, tanpa pamrih, sehingga sungguh-sungguh bermanfaat. Jika tidak siapa yang diselempangkan kekuasaan, bahkan rakyat jelata, seperti Petruk dalam lakon perwayangan, ia bisa lupa diri.
Segel dan selempang memperlihatkan dua wajah kekuasaan: Yang diprotes dan yang dirayakan. Tapi seyogyanya kekuasaan bukan untuk disegel atau diselempangkan semata. Ia harus diuji, dipertanyakan dan dijalankan keberanian untuk mendengar serta kerendahan hati untuk berubah.
Untuk pemimpin dalam dunia pendidikan, filsuf politik Hannah Arendt dalam eseinya “The Crisis in Education” menulis “Education is the point at which we decided whether we love the world enough to assume responsibility for it.” Apakah kita cukup mencintai kampus kita, mengambil tanggungjawab atasnya dengan bersedia untuk berubah, menjadi jembatan antara masa lalu yang rapuh dan masa depan yang belum pasti.
“To teach is to learn twice,” tulis Jacques Derrida. Segel dan selempang mengingatkan agar para top manager bersedia belajar dari bawahannya. Menjadi pemimpin dalam dunia akademik adalah panggilan untuk merawat dunia, untuk menyelamatkannya dari kehancuran yang sunyi. Kehancuran yang terjadi bukan karena bencana, melainkan karena kelalaian kita dalam memperbarui makna hidup, keengganan kita untuk mengakui kekeliruan, dan memberi maaf.
*Manyala Bersama*
Derrida dalam konsep différance menyatakan bahwa makna selalu tertunda dan tergantung konteks. Maka segel sebagai teks sosial dan selempag sebagai narasi kekuasaan, belum selesai ditulis. Ia masih butuh tindakan selanjutnya. Apakah ruang rektor terbuka untuk dialog dan apakah guru besar akan membuka ruang pikir bagi publik?
Mereka yang memiliki kekuasaan sejati membaginya, sementara mereka yang haus kekuasaan menyalahgunakannya. Segel dan selempang sebagai simbol mengingatkan kekuasaan untuk lebih sering memeriksa code of conduct-nya sebagai pemimpin.
Ia perlu secara spesifik memperhatikan kebiasaannya satu per satu dan memperingatkan dirinya akan batasan-batasan. Disiplin dan kebiasaan baik yang telah membawanya hingga mencapai posisi sekarang justru harus semakin diperkuat untuk memperkuat komunitas akademik, bukan untuk memperkuat posisi pribadi.
Bukan kekuasaan yang merusak watak, melainkan ketakutan. Takut kehilangan kekuasaan merusak mereka yang memegang kekuasaan. Dan takut dilanda kekuasaan merusak mereka yang dikuasai. Maka manusia harus mengendalikan ketakutannya, bukan tunduk kepadanya.
Kampus harus menjadi ruang yang menyala, membakar ketakutan tapi juga menghangatkan. Tanpa itu, que serra serra sajalah. Sebab kebencian dapat berkobar dengan kebenaran yang dibuatnya sendiri. (*)
JB Kleden (Dosen IAKN Kupang)