Saat sedang mencari-cari informasi tentang keadaan iklim dunia, sebuah laporan yang dirilis Januari 2025 membuat napas saya tertahan. Laporan itu mengulas kondisi iklim global sepanjang 2024—dan tak berlebihan jika kita menyebutnya sebagai tahun paling kelam dalam kitab kehidupan alam.
Suhu rata-rata global mencapai angka tertinggi sejak pencatatan modern dimulai, melampaui ambang 1,5 derajat Celcius yang menjadi batas aman dalam Perjanjian Paris 2015, tanda bahwa alam tak boleh lagi diabaikan. Para ilmuwan menyebutnya sebagai titik kritis (tipping point)—bukan akhir segalanya, namun garis merah yang menandai waktu di mana harapan berkejaran dengan kealpaan.
Wajah kehidupan perlahan berubah. Dipahat oleh gelombang panas. Dipecah kekeringan panjang. Badai cuaca yang menggila adalah aksara baru yang menulis ulang narasi kehidupan di setiap benua, dari Afrika hingga Asia, dari Amerika hingga Australia. Tak terkecuali Indonesia, negeri tropis yang dikenal subur, kini dihadapkan pada kenyataan pahit: deforestasi, degradasi lahan, dan krisis ekologi yang kian menyata.
Namun di tengah kecemasan itu, harapan tumbuh dari gagasan besar Kementerian Agama (Kemenag). Satu suluh dari delapan prioritas (Asta Protas) yang diluncurkan Menteri Agama Nasaruddin Umar, ialah penguatan ekoteologi—yang menjadi pilihan strategis untuk menyelaraskan kehidupan manusia dengan alam.
Untuk mengejawantah komitmen itu, Kemenag mencanangkan Gerakan Nasional Penanaman Satu Juta Pohon Matoa, yang puncaknya akan diperingati pada Hari Bumi, 22 April 2025, sebagai zikir semesta dari manusia kepada alam yang mulai renta.
Mengapa Harus Matoa?
Di antara hamparan pohon yang tumbuh subur di bumi Nusantara, mengapa justru pohon ini yang dipilih, yang diangkat, seolah mewakili sebuah harapan? Jawabannya tidak sekadar terletak pada manisnya rasa buah atau eksotisme bentuknya yang memikat mata. Lebih dari itu, Matoa menyimpan filosofi dan potensi besar dalam membangun masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Pohon Matoa (pometia pinnata) adalah tanaman asli Papua yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam ekosistem tropis Indonesia Timur. Tingginya bisa mencapai 18 meter, dengan tajuk yang rindang dan akar yang kuat. Secara ekologis, matoa memiliki kemampuan istimewa: ia dapat menyerap karbon dioksida dalam jumlah besar, menghasilkan oksigen, mencegah erosi, dan memperbaiki kualitas tanah.
Matoa bukan hanya pohon, tapi simbol ketangguhan. Matoa dapat tumbuh hampir di seluruh wilayah Nusantara, dari tanah Aceh hingga Merauke. Kemampuannya bertahan dalam cuaca ekstrem menjadikannya metafora tentang harapan: bahwa kehidupan bisa bertunas bahkan di kondisi yang genting.
Di balik rimbun daunnya yang tenang dan ketangguhan ekologis, Matoa menyimpan denyut kehidupan yang lebih dari sekadar hijau. Ia bukan hanya penjaga harmoni alam, tetapi juga penjaga harapan manusia. Buahnya pun memiliki cita rasa yang tak lazim, seolah memadukan manisnya lengkeng dengan aroma menggoda durian, menyapa lidah dengan percaya diri. Ia membawa peluang, membuka jalan bagi tumbuhnya ekonomi lokal yang bersandar pada alam, bukan dengan perusakan. Sementara kayunya, kokoh namun ringan, siap diolah menjadi karya: dari konstruksi sederhana hingga kerajinan tangan yang menyimpan jejak budaya dan ketekunan.
Tak sekadar tegak di antara rerimbun hutan, Matoa adalah warisan hayati bangsa. Di tengah ekspansi industri yang terus menggusur batas-batas alam, melestarikan pohon endemik seperti matoa adalah tindakan menyulam kembali jalinan kearifan lokal yang nyaris pudar. Seperti diungkapkan Muhibuddin, Kasubdit Bina Kelembagaan dan Kerja Sama Zakat dan Wakaf Kemenag, “Menanam Matoa berarti merawat akar budaya dan ekologis kita sendiri.”
Gerakan ini bukan hanya aksi ekologis. Ia adalah laku spiritual. Dalam Konferensi Pers Asta Protas 2025–2029, Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan bahwa agama harus hadir sebagai kekuatan moral dalam merawat bumi. Pemikiran ini sejalan dengan gagasan Seyyed Hossein Nasr, filsuf muslim terkemuka, yang menyebut alam sebagai theophany—manifestasi kehadiran Tuhan—yang tak boleh disakiti. Dalam Islam, manusia ditunjuk sebagai khalifah, yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan, bukan mengeksploitasi alam semaunya.
Penanaman sejuta pohon Matoa yang dicanangkan Kemenag, serta gerakan yang selama ini dijalankan para aktivis lingkungan menegaskan bahwa alam bukan sekadar tempat untuk memuaskan kebutuhan, melainkan sahabat sejiwa yang layak didengar, dijaga, dan dicintai tanpa syarat. Dalam relasi yang seimbang, alam tidak diperlakukan sebagai objek, melainkan sebagai mitra hidup yang tumbuh bersama manusia dalam irama kasih dan tanggung jawab.
Gerakan ini menyasar titik-titik strategis di seluruh Indonesia: dari masjid, gereja, pura, vihara, dan klenteng, hingga madrasah, pesantren, dan kantor-kantor Kemenag. Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan melakukan penanaman simbolis sebagai penegasan bahwa negara hadir dalam upaya merawat lingkungan.
Tak berhenti di sana, Kemenag juga bekerja sama dengan Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan MOSAIC (Muslims for Shared Action on Climate Impact) untuk mengembangkan konsep Green Waqf—wakaf hijau berbasis konservasi lingkungan. Sebuah Gala Dinner dan penggalangan dana bakal digelar pada 22 April malam, demi mendanai pengembangan Green Waqf sebagai upaya penghijauan berkelanjutan.
Konsep wakaf ekologis ini dinilai strategis. Selain menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir, wakaf hijau juga memberikan manfaat sosial dan ekonomi kepada masyarakat sekitar. Dengan prinsip ESG (Environmental, Social and Governance), wakaf yang menjaga alam dapat sekaligus mendukung penyejahteraan masyarakat sekitar.
Kita, dan Waktu yang Semakin Sempit
Data Forest Watch Indonesia mencatat: antara 2017 hingga 2021, Indonesia kehilangan 2,54 juta hektare hutan per tahun—setara dengan enam lapangan sepak bola hilang setiap menit. Ini bukan sekadar angka, tetapi alarm yang menggema dari jantung bumi. Kita sedang kehilangan warisan kehidupan.
Menanam pohon, terutama matoa, mungkin terlihat sederhana. Tapi di balik kesederhanaan itu tersembunyi makna mendalam: menyelamatkan bumi, menjaga warisan, dan menata masa depan. Kini, pertanyaannya bukan lagi “mengapa matoa?”, tetapi: “Kapan kita mulai menanamnya?”
Mari ikut ambil bagian. Mari menanam harapan. Di Hari Bumi, 22 April 2025.
Wahyu Ciptadi Pratama (Tim Redaksi Bimas Islam)