Ni Wayan Pujiastuti (Analis Kebijakan Ahli Madya)
Bayangkan seorang bayi baru lahir di Indonesia langsung mendapatkan akta kelahiran, Kartu Identitas Anak (KIA, dan didaftarkan ke BPJS Kesehatan) tanpa satu pun kunjungan orang tuanya ke kantor pelayanan. Bayi itupun secara otomatis terdata dalam sistem pendidikan dasar dan kesehatan,siap menerima perlindungan sosial dari Negara.
Fantastis? Tidak juga. Model seperti ini telah diterapkan di Negaranegara seperti Estonia dan Denmark, dan Indonesia memiliki semua modal untuk mewujudkannya.
Namun kenyataan di lapangan berkata lain. Layanan dasar warga Negara di Indonesia, seperti akta kelahiran, BPJS, bahkan pendaftaran sekolah dasar, masih menuntut warga proaktif. Sistem layanan yang tersebar di berbagai instansi dan proses manual menyulitkan, khususnya bagi masyarakat di daerah tertinggal.
Akibtanya, jutaan anak Indonesia masih belum memiliki dokumen kependudukan atau jaminan kesehatan sejak dini. Padahal, dokumen dan layanan ini adalah pintu gerbang untuk memperoleh hak-hak dasar sebagai warga Negara.
Di sinilah letak urgensi membangun kebijakan layanan dasar satu pintu. Konsep ini menegaskan bahwa setiap warga Negara sejak lahir – tanpa diminta – berhak secara otomatis atas layanan dasar dari Negara: identitas, jaminan kesehatan, akses pendidikan, bahkan keagamaan. Hal ini dimungkinkan jika Indonesia membangun sistem digital terintegrasi lintas kementerian dan lembaga, yang menjadikan data sebagai fondasi utama birokrasi proaktif.
Kemenag dan Digitalisasi Layanan Keagamaan
Kementerian Agama telah menetapkan digitalisasi layanan keagamaan sebagai program prioritas nasional kedelapan. Ini bukan hanya tentang modernisasi layanan KUA atau sertifikasi halal secara daring, melainkan juga tentang mengintegrasikan layanan keagamamn dalam siklus hidup warga Negara sejak dini. Bayi yang baru lahir tidak hanya memerlukan akta kelahiran, tapi juga pencatatan agama dan potensi bimbingan keagamaan di masa depan.
Dalam konteks ini, Kementerian Agama dapat megambil peran kunci dalam sistem layanan dasar satu pintu, dengan memastikan layanan, antara lain: 1) Pencatatan agama dan status pernikahan orang tua bagi semua agama; 2) Penyambungan data layanan bimbingan keagamaan berbasis keluarga; dan 3) Hingga integrasi dengan sistem pendidikan keagamaan (madrasah, sekolah minggu, pasraman). Semuanya tersedia secara digital dan terintegrasi dalam satu dashboard pelayanan publik.
Inilah langkah konkrit digitalisasi layanan keagamaan: bukan sekadar digitalisai dokumen, tapi digitalisasi relasi Negara dan warganya sejak hari pertama kelahiran—termasuk dalam aspek spiritual dan religious.
Mewujudkan Layanan Publik Digital Terpadu
Kita telah memiliki fondasi: sistem Kependudukan nasional (Dukcapil), Satu Data Indonesia, SPBE, dan platform layanan publik. Tapi semuanya masih berjalan sendirisendiri. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menyatukan semuanya dalam satu Gerbang Layanan Publik Digital (Public Service Gateway for Newborn Citizen).
Bayi yang lahir akan langsung ’ditangani’ oleh Negara melalui sistem, bukan hanya tenaga medis. Sistem ini akan secara otomatis mencetak : Akta kelahiran, KIA, BPJS, menautkan dengan sistem pendidikan dan layanan sosial serta mencatat agama sebagai dasar perencanaan layanan keagamaan jangka panjang.
Langkah awalnya adalah regulasi. Pemerintah perlu menyusun Perpres atau Inpres tentang Layanan Dasar Otomatis Sejak Lahir. Lalu, dikembangkan platform digital yang user-friendly, dimulai dari piloting di kabupaten/kota yang sudah siap. ASN muda dapat dilibatkan sebagai pelaksana dan inovator lapangan.
Menegakkan Hak Konstitusional
Digitalisasi layanan kegamaan bukan hanya modernisasi teknologi. Ini adalah pengakuan hak dasar warga Negara dalam kerangka spiritualitas, identitas, dan perlindungan Negara. Dengan membangun sistem layanan satu pintu, kita memastikan bahwa tidak ada satu pun warga yang tertinggal dari sentuhan negara—baik secara administrastif maupun keagamaan.
Itulah reformasi birokrasi yang berdampak langsung. Ketika Negara hadir sejak lahir, layanan dasar tidak menjadi beban masyarakat, tapi menjadi bukti konkret kehadiran Negara yang inklusif, adaptif, dan melayani segenap warganya, dunia dan akhirat.
Ni Wayan Pujiastuti (Analis Kebijakan Ahli Madya)