Masjid merupakan pilar sentral dalam peradaban Islam yang sejak awal kehadirannya memiliki fungsi multifaset, tidak hanya sebagai rumah ibadah. Ia telah menjadi pusat transformasi spiritual, sosial, dan intelektual umat.
Dalam sejarah, pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat, masjid tidak hanya digunakan sebagai tempat ibadah, tetapi juga berfungsi sebagai ruang konsolidasi komunitas, pusat pendidikan, arena dialektika dan solusi problem keumatan, serta lembaga pengelolaan sosial-ekonomi. Peran strategis ini terekam dalam teks-teks sejarah klasik maupun kajian kontemporer yang menegaskan masjid sebagai pusat transformasi umat dalam berbagai dimensi.
Salah satu contoh paling autentik adalah Masjid Nabawi pada masa Rasulullah SAW di Madinah, yang tidak hanya digunakan untuk shalat berjamaah, tetapi juga menjadi pusat pendidikan, distribusi zakat dan bantuan sosial, pengorganisasian strategi dakwah, serta pengambilan keputusan politik dan pertahanan. Masjid bukan sekadar simbol ritual, melainkan representasi dari sistem kehidupan umat Islam secara menyeluruh.
Dalam konteks Indonesia masa kini, peran komprehensif masjid belum sepenuhnya terejawantahkan. Fungsi masjid masih didominasi oleh aktivitas ibadah mahdhah, sementara dimensi sosial, edukatif, dan ekonomi belum diberdayakan secara optimal. Padahal, dengan jumlah masjid yang mencapai ratusan ribu di seluruh penjuru negeri, potensi strategis masjid untuk menjadi basis pemberdayaan umat sangat besar. Kesenjangan antara peran historis masjid dan realitas fungsionalnya di era kekinian inilah yang menjadi titik tolak urgensi revitalisasi peran masjid secara komprehensif.
Menteri Agama Nasaruddin Umar menyampaikan bahwa masjid merupakan salah satu potensi ekonomi umat yang belum tergarap secara optimal (Liputan6.com). Dengan potensi lebih dari 800 ribu masjid—belum termasuk mushola dan langgar—masjid dapat menjadi kekuatan pemberdayaan umat yang menjangkau lapisan masyarakat yang sangat luas. Praktik baik yang telah dilakukan Masjid Istiqlal, seperti sistem distribusi kebutuhan pokok berbasis komunitas (beras, ikan, air minum), menjadi contoh nyata bagaimana masjid dapat memainkan peran signifikan dalam pemberdayaan ekonomi umat (tirto.id).
Dalam semangat meneladani fungsi masjid pada masa Rasulullah SAW, Menag Nasaruddin Umar mengingatkan bahwa dahulu menara masjid tidak hanya digunakan untuk adzan, tetapi juga sebagai alat pantau kesejahteraan warga, seperti memperhatikan rumah mana yang dapurnya tak pernah berasap. Ini menjadi simbol masjid sebagai pelopor keadilan sosial (CNN Indonesia).
Dalam perspektif pendidikan Islam, reposisi masjid sebagai pusat peradaban adalah gagasan strategis yang memiliki akar historis kuat. Masjid di masa Rasulullah SAW menjadi basis pembinaan kader melalui majelis ilmu dan halaqah keilmuan, yang kemudian melahirkan generasi unggul berkarakter pemimpin, pendidik, dan penggerak masyarakat. Masjid juga menjadi tempat tinggal bagi para Ahlus Suffah, komunitas pelajar awal dalam Islam yang dididik langsung oleh Rasulullah dalam suasana spiritual dan intelektual yang kuat.
Pendidikan yang dipraktikkan Nabi tidak hanya berfokus pada aspek keagamaan, tetapi juga meluas pada pembelajaran kecakapan hidup, pendidikan nilai, hingga literasi keagamaan dan kenegaraan. Kegiatan edukatif yang menyasar anak-anak, remaja, hingga lansia menjadikan masjid sebagai ruang belajar sepanjang hayat.
Fungsi strategis masjid sebagai pusat pengembangan umat ini berlanjut pada masa Khulafaur Rasyidin. Abu Bakar Ash-Shiddiq menggunakan masjid sebagai basis penguatan akidah dan stabilitas umat pasca wafatnya Rasulullah. Umar bin Khattab memperluas fungsi masjid menjadi tempat pengambilan keputusan politik dan penyusunan kebijakan publik. Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memanfaatkannya sebagai ruang pembinaan sosial dan penyelesaian problematika masyarakat. Sejarah mencatat bahwa masjid tidak pernah dimaknai secara sempit sebagai ruang ibadah semata, melainkan sebagai simpul peradaban Islam yang inklusif, dinamis, dan transformatif.
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) sebagai institusi strategis pencetak calon pendidik dan ulama intelektual memiliki tanggung jawab besar untuk mewarisi dan mereaktualisasi peran masjid tersebut. Hal ini dapat diwujudkan melalui pengembangan kurikulum masjid, penguatan kelembagaan masjid, riset aplikatif berbasis masjid, serta praktik pengabdian masyarakat yang berakar pada nilai-nilai keumatan dan pemberdayaan sosial. Dengan demikian, masjid dihadirkan kembali sebagai ruang kolektif umat yang tidak hanya mencetak pribadi shalih secara spiritual, tetapi juga produktif secara intelektual dan shalih secara sosial.
Masjid sebagai institusi sosial memiliki peran strategis dalam mempererat ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah melalui berbagai kegiatan sosial seperti forum diskusi keumatan, layanan konsultasi keluarga, klinik, hingga kepedulian terhadap kelompok rentan. Kepekaan sosial ini menjadi pondasi awal terbentuknya komunitas yang inklusif dan responsif terhadap problematika kehidupan.
Dari fungsi sosial itu, masjid juga bisa dikembangkan menjadi pusat ekonomi umat, di mana kegiatan seperti koperasi masjid, BMT, LAZ, pelatihan kewirausahaan, bazar UMKM, hingga pendampingan ekonomi mikro dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan prinsip tolong-menolong dalam Islam dan semangat membangun kemandirian umat. Potensi ekonomi berbasis masjid akan tumbuh jika dikelola secara profesional, partisipatif, dan transparan.
Tak kalah penting, masjid juga perlu direvitalisasi sebagai pusat budaya Islam. Ini mencakup pelestarian nilai-nilai adab, seni Islami, literasi keislaman, serta ekspresi budaya lokal yang selaras dengan nilai-nilai Islam. Masjid menjadi tempat merayakan keragaman ekspresi keagamaan secara damai dan konstruktif, sehingga umat memiliki ruang untuk mengekspresikan identitas spiritual dan budaya mereka secara harmonis.
Agar peran strategis masjid dapat berjalan optimal dan berkelanjutan, peran takmir masjid menjadi sangat krusial. Takmir harus mampu menjadi konsolidator umat, fasilitator gerakan, sekaligus manajer profesional dalam mengelola potensi masjid. Melalui kepemimpinan takmir yang visioner dan kolaboratif, mereka dapat mensinergikan berbagai elemen—jamaah, akademisi, ilmuwan, politisi, pemerintah, hingga pelaku usaha—untuk bersama-sama memakmurkan masjid, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara sosial, intelektual, dan spiritual.
Dengan demikian, masjid tidak lagi hanya menjadi simbol spiritualitas, tetapi juga sebagai ruang transformatif yang mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dengan agenda sosial dan pembangunan umat. Pendidikan Islam masa kini dituntut menjadi agen perubahan dalam membumikan kembali fungsi masjid sebagai institusi keilmuan, sosial, dan ekonomi umat secara holistik dan berkelanjutan. Dengan revitalisasi yang tepat, masjid akan kembali pada ruhnya sebagai tempat yang makmur dan memakmurkan—bukan hanya oleh aktivitas ibadah mahdhah, tetapi juga oleh denyut kehidupan umat yang dinamis, berdaya, dan berbudaya. Paradigma memakmurkan masjid haruslah berbuah pada masjid yang memakmurkan.
Fauzi (Guru Besar/Dekan FTIK UIN SAIZU Purwokerto)