Setiap bulan Mei, Indonesia memperingati dua momen krusial: Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) dan Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei). Keduanya bukan sekadar ritual sejarah, melainkan momentum refleksi strategis untuk membangun masa depan bangsa. Pendidikan menjadi fondasi yang melahirkan kesadaran kebangsaan, sementara kebangkitan nasional adalah energi kolektif untuk bergerak maju. Di antara keduanya, terbentang ruang untuk merancang arah baru peradaban bangsa.
Sejarah membuktikan bahwa transformasi Indonesia tak lepas dari peran pelajar dan pemuda terdidik. Dari Boedi Oetomo (1908), Sumpah Pemuda (1928), hingga Proklamasi (1945), semua dipelopori generasi muda yang diasah dalam sistem pendidikan—meski saat itu berada di bawah kolonialisme. Pendidikan modern kala itu memperluas wawasan, menguatkan identitas nasional, dan membakar semangat perlawanan. Dari ruang kelas, ide-ide besar menjelma menjadi kekuatan perubahan di ruang publik.
Kesadaran Kolektif
Ironisnya, lembaga pendidikan kolonial justru menjadi pemicu kesadaran nasional. Sekolah seperti STOVIA, HBS, AMS, dan MULO mencetak kader bangsa yang kemudian memimpin gerakan kemerdekaan. Pendidikan menjadi jendela yang membuka mata akan ketidakadilan kolonial.
Sejarawan Ong Hok Ham menyatakan, Boedi Oetomo adalah buah kesadaran terdidik yang lahir dari sistem pendidikan kolonial. Pendidikan tak hanya memberi keterampilan teknis, tetapi juga menumbuhkan keberanian berpikir kritis dan rasa kebangsaan. Ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kolonial justru melahirkan semangat antikolonial.
Tantangan kini berbeda: pendidikan harus membebaskan bangsa dari kebodohan, ketertinggalan teknologi, dan ketimpangan sosial. Di sinilah pendidikan bermutu menjadi kunci membangun kesadaran kolektif dan etos kemajuan.
Transformasi Sistem Pendidikan
Guru Besar Pendidikan, Prof. Dr. Fasli Jalal, menekankan bahwa pendidikan masa kini harus bertransformasi menjadi ruang kreatif yang adaptif terhadap perubahan zaman. Tak cukup sekadar mentransfer ilmu, pendidikan perlu membentuk karakter, inovasi, dan semangat kolaborasi. Hal ini sejalan dengan gagasan revisi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mengedepankan kesetaraan akses dan peningkatan mutu.
Reposisi pendidikan juga mencakup penguatan teknologi digital, pembelajaran sepanjang hayat, serta sinergi antara pendidikan formal, nonformal, dan informal. Di era disrupsi, generasi muda dituntut menguasai keterampilan baru yang relevan dengan dunia kerja. Dengan begitu, pendidikan menjadi motor transformasi sosial, ekonomi, dan budaya.
Generasi milenial dan Gen Z memegang peran krusial. Gita Syahrani, pegiat pembangunan berkelanjutan, menegaskan, pendidikan harus membentuk kesadaran lingkungan dan sosial–semacam ekoteologi membebaskan yang manusia dari sikap apatis terhadap krisis iklim. Ini menunjukkan bahwa reposisi pendidikan harus menjawab tantangan global yang berdampak lokal.
Pesantren Kebangkitan
Dalam sejarah kebangkitan nasional, pesantren berkontribusi besar sebagai benteng perlawanan kultural-spiritual terhadap kolonialisme. Santri tidak hanya dididik ilmu agama, tetapi juga jiwa nasionalisme dan kemandirian. Tokoh seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Wahid Hasyim adalah produk pesantren yang berhasil memadukan keilmuan agama dengan semangat kebangsaan.
Kini, pesantren terus berevolusi. Program digitalisasi kurikulum dan pendidikan vokasi oleh Kementerian Agama RI menjadi bukti integrasi tradisi dengan kemajuan. Pesantren tak hanya menjaga nilai lama, tetapi juga menjadi agen perubahan sosial yang relevan.
Pengawasan Pendidikan
Keberhasilan pendidikan memerlukan pengawasan ketat. Inspektorat Jenderal berperan memastikan kebijakan pendidikan berjalan sesuai tujuan, berintegritas, dan berdampak nyata. Mulai dari pengawasan dana BOS, revitalisasi madrasah, hingga pembangunan infrastruktur (SBSN), fungsi audit dan evaluasi Inspektorat menjadi pondasi peningkatan mutu sistemik.
Dengan prinsip transparansi dan good governance, Inspektorat Jenderal membantu menciptakan sistem pendidikan akuntabel yang mendukung kebangkitan nasional melalui pendidikan berkualitas.
Pendidikan Berbasis Nilai
Kementerian Agama RI memiliki mandat strategis dalam membentuk pendidikan keagamaan yang inklusif, moderat, dan memberdayakan. Melalui madrasah, pesantren, dan lembaga keagamaan lainnya, Kemenag menanamkan nilai kebangsaan, toleransi, cinta kasih, dan semangat transformasi sosial.
Program seperti digitalisasi layanan keagamaan, penguatan keharmonisan beragama, dan revitalisasi KUA menjadi upaya konkret membangun masyarakat religius yang produktif. Di tengah arus globalisasi dan ancaman radikalisme, Kemenag berperan sebagai jangkar moral yang menjaga identitas kebangsaan.
Menuju Indonesia Emas 2045
Reposisi pendidikan adalah langkah strategis menuju Indonesia yang berdaulat intelektual, produktif ekonomi, dan inklusif sosial. Pendidikan masa depan harus adaptif terhadap disrupsi digital, revolusi industri, hingga krisis moral. Selain aspek kognitif, pembentukan karakter, literasi teknologi, dan keadilan sosial harus menjadi prioritas.
Kebangkitan nasional ke depan tak bisa mengandalkan euforia sejarah semata, tetapi perlu sistem pendidikan tangguh yang terukur dan berorientasi hasil. Sinergi Kementerian Agama RI, Inspektorat Jenderal (khususnya), dan seluruh pemangku kepentingan pendidikan wajib diperkuat untuk membangun ekosistem pendidikan transparan dan berkualitas tinggi. Dengan visi progresif dan kolaborasi lintas sektor, Indonesia tidak hanya bangkit, tetapi mampu memimpin peradaban global—berlandaskan pendidikan sebagai fondasi utamanya.*
Aceng Abdul Azis (Inspektur pada Itjen Kemenag RI)