Saat pelatih Timnas Indonesia U-17, Nova Arianto mengumumkan daftar 34 pemain untuk persiapan Piala Dunia U-17 2025, opini publik langsung tertuju pada sejumlah 9 pemain yang tumbuh di Eropa dan Australia.
Daftar ini bukanlah pilihan yang asal-asalan, tetapi merupakan indikasi yang jelas bahwa sepak bola Indonesia haus akan inovasi dalam berpikir, bergerak ke arah cara kerja yang lebih profesional dan sistematis demi ambisi merambah kancah sepak bola pemuda dunia.
Masalah Dua Sisi
Melihat daftar nama-nama seperti Eizar Jacob Tanjung (Sydney FC), Feike Muller (Willem II Tilburg) atau Lionel De Troy (Palermo), terlihat bahwa Nova Arianto tidak takut untuk menyegarkan skuad dengan wajah-wajah yang belum pernah bermain di turnamen domestik. Ini adalah langkah yang berisiko tetapi perlu, karena tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas pelatihan dan lingkungan kompetitif di Eropa dan Australia telah menciptakan fondasi disiplin, kekuatan fisik, dan taktik teknis yang lebih unggul dari level domestik bagi para pemain.
Namun, “mencari” bakat muda dari seluruh penjuru juga menjadi tantangan besar. Hanya dalam beberapa bulan pelatihan, apakah pelatih Nova Arianto punya cukup waktu untuk mengintegrasikan dan menghubungkan pemain asing dengan pemain muda dalam negeri? Jarak budaya, kendala bahasa, dan terkadang gaya bermain yang berbeda akan menjadi ujian yang sulit diatasi. Inilah sisi buruk dari strategi menaturalisasi pemain muda jika tidak dikontrol dengan baik.
Bersiap untuk Piala Dunia Tetapi Memiliki Tujuan Lebih Jauh
Hal positifnya, tim pelatih tidak menjadikan Piala Dunia U-17 di Qatar tahun ini sebagai satu-satunya tujuan. Terbukti, Indonesia dan delapan tim kuat lainnya berhasil mendapatkan tiket khusus menuju Piala AFC U-17 2026, sehingga membuka peluang jangka panjang bagi pemain-pemain baru untuk lebih banyak berlatih dan mendapatkan pengalaman. Kegigihan ini menunjukkan bahwa Indonesia tengah bermimpi untuk membangun generasi muda yang tidak hanya mampu berkompetisi, tetapi juga mampu memberikan dampak nyata di pentas benua dan dunia.
Sebenarnya, model pemilihan pemain asing bukanlah hal baru di Asia Tenggara. Thailand dan Malaysia telah melakukan hal yang sama untuk tim U-23 dan tim nasional mereka. Namun, masalahnya terletak pada keberlanjutan: perlu ada sistem akses, pemantauan, dan pembinaan jangka panjang, alih-alih hanya memanggil pemain secara tergesa-gesa sebelum turnamen.
Jika Indonesia ingin menghindari kesalahan itu, mereka perlu membuat peta jalan yang spesifik: siapa yang akan memantau secara ketat perkembangan pemain yang bermain di luar negeri, dan kebijakan apa yang akan mendorong mereka untuk kembali bermain dalam jangka pendek atau panjang? Hanya ketika pertanyaan-pertanyaan ini terjawab dengan jelas, impian Piala Dunia akan tampak lebih realistis.
Jalannya Panjang dan Penuh Tantangan
Piala Dunia U-17 mendatang di Qatar mungkin bukan saatnya bagi Indonesia untuk membuat gebrakan. Namun, cara Nova Arianto berani memperbarui kekuatannya dengan pemain-pemain naturalisasi menunjukkan pola pikir yang lebih terbuka, siap menerima tren globalisasi sepak bola muda. Selama rencana ini tidak berhenti pada slogan-slogan, tetapi terus dipertahankan dan ditingkatkan, sepak bola muda Indonesia secara bertahap akan sejajar dengan kekuatan-kekuatan Asia.