Abu Rokhmad (Dirjen Bimas Islam Kemenag RI)
Tidak berlebihan bila Karl Heinrich Marx (5 Mei 1818 – 14 Maret 1883) layak dinobatkan sebagai ‘nabinya’ kaum buruh. Ajarannya masih relevan dan kontekstual hingga sekarang. Doktrinnya inspiratif sehingga membuat kaum buruh selalu tersadar akan posisi dirinya di hadapan pemilik modal.
Ajarannya tentang pertentangan kelas yang berlangsung sepanjang sejarah manusia menjadi energi revolusioner bagi perjuangan buruh untuk mendapatkan haknya. Marx berhasil menciptakan ‘musuh’ abadi yang dilekatkan pada mitra utamanya sebagai pihak yang selalu menindas dirinya. Berkat teori Marx, kelas buruh mendapatkan 1 hari yang istiwewa di bulan Mei (May Day).
Mimpi besar Marx adalah menciptakan masyarakat tanpa kelas. Tidak ada buruh dan tidak pemilik modal. Semua adalah majikan dan buruh sekaligus. Baginya, keadilan hanya dapat terwujud jika masyarakat sama rata dan sama rasa. Paling tidak, kaum buruh mengharapkan upah yang layak dan hak-hak lainnya dipenuhi. Point terakhir inilah yang selalu diperjuangkan kaum buruh.
Situasi ekonomi memang sedang banyak tantangan. Buruh merasa upahnya rendah dan jaminan masa depan tidak ada. Setiap saat, mereka rentan PHK. Kerisauan ini sangat bisa dimaklumi. Pada sisi lain, pemerintah dan pengusaha selalu menjadi tertuduh sebagai biang ketertindasan buruh.
Kaum buruh berargumen, para pengusaha hanya mau untung, tapi tak mau bayar mahal tenaga buruh. Pemerintah dipandang lebih condong membela kepentingan pengusaha. UU Ketenagakerjaan selalu dipandang tidak adil.
Cara pandang seperti ini kurang sehat. Padahal, buruh-majikan saling membutuhkan. Tanpa buruh, tidak ada majikan. Begitu pula sebaliknya. Kita membutuhkan paradigma baru relasi buruh-majikan. Relasi yang lebih maslahat di antara keduanya.
Pekerja-pengusaha merupakan mitra strategis, bukan musuh abadi. Keduanya semestinya saling bekerjasama dan tidak mungkin saling menafikan. Tanpa pekerja, pengusaha tak bisa berusaha. Tanpa pengusaha, pekerja tak bisa berkarya dan memenuhi kebutuhan keluarga.
Relasi Maslahat
Dunia ini dikuasai oleh ekonomi kapitalis. Pengusaha menumpuk modal tanpa peduli bagaimana nasib pekerja. Di mata kapitalisme, buruh adalah aset. Jika sudah tidak produktif akan diparkir. Jika mereka melawan, akan dipecat tanpa hak. Begitulah asumsi kaum sosialis.
Dalam ekonomi Syariah, kelas pekerja adalah sosok terhormat. Mereka yang bekerja dengan pikiran dan tenaga untuk mendapat imbalan yang pantas, derajatnya di atas para pemalas dan peminta-minta (HR. Bukhari). Bahkan, bekerja adalah beribadah. Hanya dengan cara bekerja, mereka kan mendapat berkah dari alam ini (al-Najm: 39). Tuhan akan mengasihi mereka yang mau berusaha dan bekerja untuk kehidupan mereka.
Tidak sedikit Nabi atau Rasul, termasuk Nabi Muhmmad SAW, pernah bekerja kasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Rasulullah SAW pernah menggembala kambing milik orang lain. Beliau juga pernah ‘mburuh’ mengikuti Siti Khadijah sebelum menjadi isterinya. Jujur, bersahabat dan saling menghormati adalah relasi buruh-majikan yang dipraktikkan Rasulullah saat itu.
Lebih-lebih, Islam mengajarkan bahwa orang yang bekerja tidak hanya mencari uang. Setiap bekerja, terselip niat ibadah dan mencari berkah. Upah (baca pula: untung) memang bisa besar atau kecil, tergantung banyak hal. Asal berkah, upah yang tidak seberapa bisa menjadi wasilah (sarana) untuk menghidupi keluarga. Kehormatan buruh di mata Tuhan dan manusia, dilihat dari kejujuran dan kesungguhan mereka dalam bekerja.
Hak Pekerja
Norma Islam menyatakan bahwa upah buruh harus diberikan sebelum keringatnya kering (HR. Ibn Majah). Rasulullah melarang mempekerjakan buruh tanpa menetapkan upahnya terlebih dahulu (HR. Baihaqi). Bahkan Rasulullah akan memusuhi tiga golongan manusia di hari pembalasan, salah satunya adalah pengusaha yang tidak membayar penuh upah karyawannya. Termasuk dalam kategori Sabda Nabi di atas adalah pekerja yang diberi upah di bawah standar minimum hidup layak, padahal perusahaannya mampu.
Pada prinsipnya, doktrin Islam selalu menyandingkan dua kepentingan—pengusaha dan pekerja—agar seimbang. Di satu sisi, Islam konsen agar pekerja menerima upah dan berbagai fasilitas (kesehatan, perumahan dan jaminan hari tua) yang memungkinkan baginya menikmati kehidupan yang wajar. Di sisi lain, Islam juga melindungi kepentingan pengusaha agar usahanya tetap profitable dan lancar hingga dapat terus berproduksi dan membuka lapangan kerja.
Untuk itulah, ruang dialog bipartit (pengusaha-buruh) atau tripartit (pengusaha-buruh-pemerintah) perlu dibuka lebar untuk menjembatani keinginan masing-masing pihak. Buruh dan majikan hendaknya saling menghormati dan berbagi.
Dengan kata lain, buruh-pengusaha perlu bertindak proporsional dalam mensikapi upah dan kesejahteraan masing-masing pihak. Pandangan Islam tentang buruh, relasi buruh-majikan dan kesejahteraan buruh berdiri di antara pandangan kapitalisme (pro pengusaha) dan sosialisme (pro buruh). Relasi yang maslahat.
Keduanya mesti didudukkan dalam ruang yang saling membutuhkan dan menghargai. Dari sini, pemerintah diharapkan bertindak netral, sebagai fasilitator dan mediator untuk menjembatani dua kepentingan yang saling bertentangan.
Selama ini, pemerintah telah berusaha melaksanakan tugasnya dengan baik. Tentu belum sempurna. Namun, kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025 adalah bukti keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan masalah perburuhan.
Abu Rokhmad (Dirjen Bimas Islam Kemenag RI)