Revolusi teknologi berbasis kecerdasan artifisial (Artificial Intelligence/AI) semakin meresap dalam kehidupan akademik di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Di tengah pesatnya adopsi Generative AI (GenAI) dalam kegiatan pembelajaran, penelitian, dan administrasi, perubahan perilaku civitas akademika tidak bisa dihindari. Dari cara mahasiswa mengerjakan tugas hingga bagaimana dosen mempersiapkan materi kuliah dan menilai, semuanya berubah. Fenomena ini adalah keniscayaan zaman.
Namun, hingga hari ini, regulasi khusus dari Kementerian Agama RI yang mengatur penggunaan GenAI di lingkungan PTKIN masih dipersiapkan. Oleh karena itu, UIN Jakarta mencoba menerbitkan kebijakan internal terkait etika dan pemanfaatan AI sebagaimana dalam SK Rektor Nomor 127/2025. Substansinya sangat penting, diharapkan dapat menginspirasi kebijakan nasional PTKIN.
Mengapa penting? Karena AI bukan lagi hanya alat bantu. Ia kini menjadi co-pilot intelektual, yang membentuk cara berpikir, mengolah informasi, dan bahkan mempengaruhi integritas akademik. Tanpa etika, AI bisa menjerumuskan; dengan panduan yang benar, AI bisa mempercepat pencapaian visi digitalisasi berdampak dalam mewujudkan tujuan keilmuan dan keislaman.
Pilar Dasar
Seperti disampaikan oleh Prof. Dr. H. Muhammad Ali Ramdhani, M.Si., Kepala Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan SDM Kementerian Agama RI, dalam berbagai kesempatan, “Transformasi digital dalam pendidikan Islam harus berpijak pada nilai-nilai etik dan tanggung jawab moral.” Pernyataan ini menegaskan bahwa pengembangan teknologi—termasuk AI—di lingkungan PTKIN tidak boleh bebas nilai.
Kebijakan etika pemanfaatan AI di kampus harus mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keterbukaan. Dosen dan tenaga kependidikan perlu dibekali pedoman: kapan dan bagaimana menggunakan GenAI dalam proses akademik.
Mahasiswa perlu tahu batasannya: mana yang murni karya manusia, mana yang hasil bantu AI. Hal ini menyangkut tata cara menjaga kualitas dan kejujuran (integritas keilmuan mahasiswa).
Sertifikasi Kompetensi
Di tengah ledakan pemakaian AI, banyak pihak mulai membuat lembaga pelatihan dan sertifikasi untuk keterampilan penggunaan GenAI. Namun, hingga kini, belum ada skema resmi dari pemerintah—termasuk dari Kementerian Ketenagakerjaan—yang membuka jalur sertifikasi khusus untuk keahlian GenAI.
Padahal, sertifikasi ini sangat dibutuhkan untuk menjamin kualitas dan integritas pemanfaatan AI di berbagai sektor, termasuk pendidikan tinggi.
Prof. Dr. Wisnu Jatmiko, Guru Besar Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, menyatakan bahwa “Tanpa regulasi dan sertifikasi resmi, kita sedang berjudi dengan masa depan kualitas SDM digital Indonesia. Pengguna AI harus bukan hanya mahir, tapi juga bertanggung jawab.”
Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Asep Saefudin Jahar, M.A., Ph.D. mengatakan, “Reformasi pendidikan tentu memerlukan adaptasi yang relevan dalam pengembangan teknologi. Namun kita juga harus melihat bagaimana membimbing anak didik agar tidak hanya mampu beradaptasi dengan tantangan global dan keberagaman budaya, tetapi juga memiliki kekuatan karakter dalam merespons perkembangan tersebut,” ujarnya pada Seminar Nasional FITK 2025 tentang “Transformasi Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan dan Implementasi Deep Learning untuk Inovasi Pembelajaran Abad 21.”
Pernyataan-pernyataan di atas mengingatkan bahwa dalam konteks PTKIN, AI harus dimanfaatkan untuk menumbuhkan nilai atau karakter. Maka sertifikasi pun seharusnya tidak hanya fokus pada aspek teknis (seperti prompt engineering atau pengelolaan data), tetapi juga meliputi pendalaman aspek etik, hukum, dan dampak sosial.
Menurut saya, literasi AI yang utuh adalah literasi yang berimbang antara kecakapan dan kebijaksanaan. Saya menganggap, penggunaan AI yang cerdas menstimulasi inovasi, kreatifitas dan critical thinking.
Selain itu, sertifikasi AI bisa jadi memiliki potensi signifikan sebagai sumber pendapatan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) PTKIN.
Di tengah keterbatasan anggaran pendidikan tinggi keagamaan, ini adalah peluang strategis untuk penguatan institusi sekaligus mendorong literasi teknologi yang bertanggung jawab.
Perlu Kebijakan Nasional
Sebagai langkah awal, kami di Artificial Intelligence Literacy and Innovation Institute (ALII) UIN Jakarta telah memetakan kebutuhan mendesak civitas akademika terhadap literasi dan etika AI.
Kebijakan internal telah dirumuskan, pelatihan dosen dan mahasiswa akan segera dilaksanakan, dan kedepan kita menunggu Kementerian Agama bergerak secara sistemik.
Pertama, penyusunan regulasi nasional tentang pemanfaatan dan etika AI di lingkungan PTKIN merupakan fondasi yang perlu segera direalisasi. Regulasi ini akan menjadi acuan bagi seluruh kampus keagamaan di bawah naungan Kementerian Agama untuk memastikan penggunaan AI tidak bertentangan dengan nilai-nilai keilmuan dan keislaman.
Regulasi ini dapat berbentuk Surat Edaran, Pedoman Teknis, atau bahkan Rencana Induk Transformasi Digital berbasis Etika AI, yang memuat batasan, ruang lingkup, serta tanggung jawab seluruh pengguna AI di kampus. Tanpa regulasi naaional, niscaya muncul kebijakan setiap kampus yang bersifat sporadis dan sulit diukur efektivitasnya.
Kedua, Kemenag perlu mendorong PTKIN untuk membangun kerja sama lintas kementerian/L, khususnya dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), untuk membuka jalur sertifikasi resmi di bidang GenAI.
Sertifikasi ini penting agar dosen, tenaga kependidikan, dan lulusan PTKIN memiliki pengakuan kompetensi yang sah dalam menggunakan GenAI secara produktif dan bertanggung jawab. Apalagi, kebutuhan pasar kerja terhadap talenta AI terus meningkat, dan sertifikasi bisa menjadi instrumen penting dalam menjamin kesiapan SDM pendidikan tinggi untuk masuk ke era digital berbasis kecerdasan artifisial.
Ketiga, sudah saatnya dibangun pusat-pusat literasi dan inovasi AI yang berakar pada nilai-nilai Islam dan kebangsaan. Pusat ini dapat berfungsi sebagai simpul kolaborasi lintas prodi, fakultas, dan perguruan tinggi, serta menjadi ruang edukasi publik yang terbuka terhadap perkembangan teknologi terkini.
Dengan mengintegrasikan tiga aspek penting—keislaman, keilmuan, dan keindonesiaan—pusat inovasi ini dapat melahirkan pendekatan khas PTKIN terhadap AI yang tidak hanya meniru, tetapi juga memberi warna bagi arah pemanfaatan AI di tingkat nasional maupun global.
Pemanfaatan AI bukan ancaman—ia adalah peluang. Tetapi hanya akan menjadi berkah jika didampingi dengan kebijakan yang bijak dan literasi yang memadai. Sudah saatnya Kementerian Agama menjadi pelopor dalam membingkai arah masa depan teknologi berbasis nilai-nilai Islam.
Policy Note
Sebagai kesimpulan, tampaknya Kementerian Agama perlu segera mengambil langkah afirmatif dengan merumuskan regulasi nasional mengenai etika penggunaan GenAI di lingkungan PTKIN, membuka jalur sertifikasi resmi keterampilan AI berbasis kolaborasi BNSP dan Kemenaker, serta mendorong pengembangan pusat-pusat literasi AI yang berbasis nilai-nilai Islam dan keilmuan.
Dengan pendekatan ini, PTKIN tidak hanya akan adaptif terhadap zaman, tetapi juga menjadi pengawal etika digital nasional, khususnya dalam lanskap pendidikan tinggi keagamaan di Indonesia.***
Khodijah Hulliyah Nadjid (Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerja sama FST UIN Jakarta dan Direktur Artificial Intelligence Literacy and Innovation Institute (ALII), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)