Akhir pekan lalu (12/4), Tim Evaluasi Kinerja Penyuluh Inspektorat Jenderal Kemenag RI turun di Kota Yogyakarta. Dengan waktu yang sangat terbatas, tim mencoba mengangkat hal-hal krusial kinerja penyuluh. Diharapkan telaah atas catatan auditor di Yogyakarta ini menjadi atensi nasional dalam upaya pembenahan semesta penyuluh agama.
Penyuluh agama memang memegang peranan penting dalam merawat kehidupan beragama masyarakat. Mereka bukan hanya penyampai pesan keagamaan, tetapi juga menjadi agen perubahan sosial, penjaga kerukunan, serta penghubung antara nilai agama dan realitas kehidupan sehari-hari. Namun, tata kelola penyuluh agama kita masih menghadapi tantangan struktural, administrasi dan teknis yang perlu segera dibenahi.
Yogyakarta, sebagai daerah yang dikenal prestasinya dalam tata kelola kehidupan beragama, ternyata masih terbuka area perbaikan (kelemahan) dalam pelaksanaan tugas penyuluhan. Tentu hal ini menjadi bahan refleksi penting bagi pembenahan kepenyuluhan di Yogyakarta khususnya, dan secara nasional pada umumnya.
Tantangan Baru
Sejumlah tantangan dalam proses sistematisasi layanan penyuluh, terus menjadi perhatian Kanwil Kementerian Agama. Tampaknya, ke depan perlu disusun suatu formula data rasio ideal antara jumlah penyuluh dan populasi umat yang diayani. Kementerian Agama sangat perlu memiliki sistem pemetaan digital yang menunjukkan sejauh mana masyarakat telah terjangkau penyuluhan dan kelompok mana yang belum tersentuh. Langkah ini sebagai ikhtiar agar kegiatan-kegiatan penyuluhan tidak berlangsung sporadis. Setiap event penyuluhan harus berbasis kebutuhan riil masyarakat.
Sebanyak 38.000 penyuluh agama Islam aktif di seluruh Indonesia (Kemenag RI, 2025)–belum lagi penyuluh agama Kristen, Katolik, Hindu dan Budha, namun penyebarannya tidak merata. Bisa jadi, ada pihak yang belum merasakan kehadiran penyuluh. Di samping itu, kualitas kinerja penyuluh pun dilaporkan masih perlu diungkit. Tidak jarang, satu kelompok binaan dibina oleh lebih dari satu penyuluh, sementara kelompok lainnya tak tersentuh. Di sisi lain, masih ada penyuluh yang justru lebih sibuk mengurus layanan administrasi kantor dibanding menjalankan tugas pembinaan masyarakat secara langsung.
Hal ini berkorelasi dengan penetapan homebase penugasan penyuluh yang tidak seragam: ada yang berada di Kanwil, sebagian di Kemenag kabupaten/kota, lainnya di KUA. Ketidakjelasan ini tentu saja berimbas pada lemahnya koordinasi, pembinaan, dan distribusi kerja penyuluh.
Integrasi dengan Isu-Isu Kekinian
Di era sekarang, tugas penyuluh semakin berkembang, semakin bervariasi. Mereka dituntut memahami isu-isu strategis seperti kebangsaan, pencegahan stunting, bimbingan pranikah, penguatan moderasi beragama, bahaya narkoba, pemahaman ekoteologi hingga diseminasi program pembangunan nasional.
Program “Elsimil” (Elektronik Siap Nikah dan Hamil) yang dikembangkan bersama BKKBN, misalnya, membutuhkan dukungan penyuluh untuk memberikan edukasi langsung kepada calon pengantin.
Namun, soal integrasi dengan isu-isu baru ini membutuhkan peningkatan kapasitas teknis yang belum berjalan optimal. Pelatihan tentang isu-isu tersebut masih minim dan belum menjadi bagian dari sistem pengembangan berkelanjutan penyuluh. Gagasan yang perlu pendalaman khusus dengan Pusat Diklat Teknis Kemenag RI, bagaimana program peningkatan kapasitas penyuluh dilakukan?
Pengawasan dan Regulasi
Inspektorat Jenderal Kementerian Agama dalam evaluasinya menyoroti lemahnya sistem pelaporan penyuluhan serta belum optimalnya pembinaan jabatan fungsional. Padahal, regulasi seperti Permenpan RB No. 9 Tahun 2014, KMA No. 792 Tahun 2018, hingga Perdirjen Bimas Islam No. 637 Tahun 2024 telah memberikan panduan tegas tentang fungsi, pelaporan, dan pembinaan penyuluh agama.
Namun di lapangan, prinsip-prinsip dasar tersebut belum sepenuhnya diimplementasikan. Pelaporan tidak dilakukan secara seragam, pengawasan belum berjalan efektif, dan pengakuan terhadap kinerja masih cenderung administratif.
Perlu Interdisipliner
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Prof. Amin Abdullah, menekankan pentingnya penyuluh untuk memiliki pendekatan interdisipliner. Sesuai dengan pandangannya bahwa penyuluh masa kini harus dibekali wawasan sosial, komunikasi publik, serta literasi digital agar mampu merespons dinamika masyarakat dengan pendekatan yang reflektif dan transformatif.
Penyuluh memang bukan hanya pengajar agama, tetapi agen nilai-nilai kehidupan yang harus mampu menyatu dengan denyut masyarakat dan membawa pesan keberagamaan yang inklusif.
Keterbukaan cakrawala berfikir penyuluh sangat erat kaitannya dengan keberhasilan
Langkah Strategis
Sebagai salah satu pusat perkembangan kehidupan keagamaan di Indonesia, Yogyakarta niscaya mampu menjadi model reformasi desain penyuluhan. Terdapat beberapa langkah strategis, seperti:
1. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem penyuluhan agama di seluruh jenjang.
2. Membangun sistem digital untuk memetakan wilayah kerja dan kelompok sasaran.
3. Menyusun pedoman homebase penyuluh secara seragam lintas satuan kerja.
4. Menyusun strategi penyuluhan yang fokus pada kelompok marginal dan wilayah rentan.
5. Mendorong pelaporan digital berbasis indikator kinerja dan kebutuhan.
6. Mengaktifkan pembinaan fungsional yang objektif, berkala, dan terintegrasi.
Jika langkah-langkah tersebut diterapkan dengan konsisten, bukan mustahil sistem penyuluhan agama akan menjadi kekuatan baru dalam membumikan nilai-nilai kebangsaan, toleransi, cinta dan kemanusiaan di tengah masyarakat.
Penyuluh, Wajah Negara
Penyuluh agama adalah wajah negara dalam kehidupan keagamaan masyarakat. Namun wajah itu akan kehilangan daya jika sistem pendukungnya tidak kuat. Yogyakarta telah mengirimkan sinyal penting bahwa perbaikan sistem penyuluhan agama bukan lagi opsi, tetapi mutlak harus di tempuh. Dan perbaikan itu harus dilakukan sekarang—terukur, terencana, dan menyeluruh.
Oleh karena itu, perlu agenda tindak lanjut atas hasil evaluasi kinerja penyuluh di Yogyakarta ini. Dimulai dengan diskusi tripartit Bimas, Inspektorat Jenderal dan Kanwil, semoga formula baru kepenyuluhan dapat dirumuskan dengan baik.
Aceng Abdul Azis (Inspektur III pada Itjen Kemenag)