Sebagai Rektor IAIN Curup sekaligus anggota Tim Monitoring dan Evaluasi (Monev) Penyelenggaraan Ibadah Haji 2025, saya berkesempatan melakukan pemantauan langsung terhadap kesiapan jemaah haji menjelang fase krusial di Armuzna, yakni Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Momen ini menjadi penentu penting dalam pelaksanaan rukun haji, yang menuntut kesiapan fisik, emosional, dan spiritual secara menyeluruh. Saat ini, para jemaah berada dalam masa persiapan intensif, baik dari sisi fisik, mental, maupun logistik, yang membutuhkan pendekatan komprehensif dari berbagai pemangku kepentingan. Observasi saya menunjukkan bahwa meskipun ibadah puncak belum dimulai, tekanan psikologis sudah mulai terasa di kalangan jemaah, seiring meningkatnya kecemasan, ekspektasi, dan kelelahan awal dari tahapan ibadah yang telah dijalani.
Sebagai Tim Monev, kami tidak hanya bertugas mengamati dan mencatat, tetapi juga memberikan pengarahan langsung kepada petugas maupun jemaah. Kami memberikan motivasi, penguatan mental, serta menyampaikan pesan penting bahwa Armuzna adalah puncak dari seluruh rangkaian ibadah haji. Karena itu, di samping kesiapan fisik, stabilitas emosional dan mental menjadi syarat utama agar jemaah tidak terganggu selama menjalani ibadah rukun dan wajib haji. Kami menghimbau agar jemaah mengurangi aktivitas-aktivitas sunnah yang berisiko melelahkan tubuh menjelang Armuzna, demi menjaga stamina untuk ibadah wajib. Setelah prosesi rukun dan wajib haji terlaksana dengan baik, barulah jemaah dianjurkan untuk melaksanakan aktivitas tambahan secara khusuk. Pesan ini kami sampaikan dengan pendekatan empatik dan solutif, sebagaimana arahan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI, Prof. Dr. H. Kamaruddin Amin, bahwa tim Monev bukanlah beban, melainkan pemberi semangat, solusi, dan jalan keluar atas berbagai problem yang dihadapi jemaah haji di lapangan.
Tantangan Fisik
Menjelang pelaksanaan ibadah di Armuzna, para jemaah dihadapkan pada tantangan fisik yang berat. Mobilitas tinggi, cuaca ekstrem yang bahkan mencapai 50° C, dan kepadatan lokasi menjadi faktor yang harus diantisipasi sejak dini. Saya mencermati bahwa penguatan stamina melalui pembinaan pra-keberangkatan menjadi kunci penting untuk meningkatkan daya tahan jemaah. Pemerintah Indonesia telah mengembangkan berbagai skema pembinaan kesehatan dan manasik fisik secara menyeluruh sebagai langkah antisipatif (Rachmad et al., 2024; Setiyarini & Kertia, 2024). Namun, efektivitas program ini sangat tergantung pada kepatuhan jemaah dalam menerapkan pola hidup sehat, termasuk mengatur waktu istirahat, asupan cairan, serta menyesuaikan aktivitas fisik.
Tim Monev secara aktif memberikan masukan kepada para petugas dan jemaah terkait pentingnya menjaga stamina secara bijak. Saran-saran strategis kami arahkan pada penyesuaian aktivitas fisik agar tidak terkuras sebelum fase puncak. Kami juga mengingatkan pentingnya tidur yang cukup dan membatasi mobilitas yang tidak diperlukan. Langkah-langkah ini bukan sekadar teori, melainkan hasil dari pemantauan dan analisis langsung di lapangan yang memperlihatkan betapa rentannya fisik jemaah dalam kondisi cuaca ekstrem dan kepadatan massa. Kolaborasi antara kesiapan individu, dukungan tim kesehatan, dan kecanggihan logistik menjadi formula utama untuk menjaga ketahanan fisik jemaah selama prosesi ibadah puncak.
Tantangan Emosional
Selain tantangan fisik, aspek emosional juga mulai terasa signifikan dalam masa persiapan Armuzna. Saya mendapati bahwa banyak jemaah mulai mengalami gejala kecemasan, terutama berkaitan dengan perasaan rindu keluarga, kekhawatiran terhadap kemampuan menjalankan ibadah, hingga tekanan dari penyesuaian terhadap sistem pelayanan baru. Perubahan dari sistem kloter ke Syarikah, misalnya, membutuhkan adaptasi emosional yang tidak selalu mudah bagi jemaah usia lanjut atau yang pertama kali berhaji. Dalam kondisi ini, keberadaan petugas yang memiliki kepekaan emosional menjadi sangat penting untuk meredam gejolak psikologis dan menjaga ketenangan hati jemaah.
Kami di Tim Monev secara aktif mengedukasi jemaah agar menjadikan momen Armuzna sebagai kesempatan untuk memperkuat kedekatan dengan Allah SWT. Fokus introspeksi diri, memperbanyak istighfar, dan doa memohon ampunan di Arafah menjadi bagian dari pendekatan spiritual-psikologis yang kami dorong (Alzeer & Abuzinadah, 2024). Pesan-pesan ini kami sampaikan secara langsung maupun melalui kolaborasi dengan para pembimbing ibadah. Kami menekankan bahwa pengendalian emosi dan mental yang stabil sangat menentukan kekhusyukan dan kelancaran ibadah. Tidak jarang, kami menemukan kasus jemaah yang terlalu memaksakan diri dalam aktivitas non-wajib menjelang Armuzna, yang akhirnya berimbas pada terganggunya konsentrasi saat prosesi rukun haji. Oleh karena itu, intervensi preventif dan promotif menjadi bagian dari strategi utama Tim Monev dalam mendampingi jemaah.
Analisis Psikologi
Dari sudut pandang psikologi, masa persiapan menuju Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) merupakan fase kritis dalam membentuk fondasi mental jemaah haji. Tahapan ini bukan sekadar waktu menunggu, tetapi merupakan momentum strategis untuk menguatkan ketahanan batin dan kesiapan emosional. Kesiapan mental tidak hanya berarti mampu bertahan di tengah tantangan fisik, tetapi juga mencakup kemampuan untuk mengelola stres, merespons tekanan sosial, serta menjaga kestabilan emosi secara aktif (Jailani & Huda, 2024). Teknik manajemen stres seperti relaksasi pernapasan, dzikir terstruktur, afirmasi positif, serta menjaga pola pikir spiritual, terbukti sangat efektif dalam menjaga konsentrasi ibadah dan menghindari kejenuhan mental (Alzeer & Abuzinadah, 2024). Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, saya mencatat bahwa jemaah yang aktif dalam aktivitas spiritual harian menunjukkan ketenangan batin yang lebih tinggi dan semangat ibadah yang lebih stabil.
Sebagai anggota Tim Monev Haji 2025, saya dan rekan-rekan tidak hanya melakukan pengawasan teknis, tetapi juga menjadi fasilitator psikososial di tengah jemaah. Salah satu strategi utama kami adalah mendorong budaya saling bantu dan semangat gotong royong, terutama dalam konteks menghadapi tekanan menjelang Armuzna. Kami menginisiasi pembentukan kelompok-kelompok kecil berbasis sektor atau rombongan, yang menjadi ruang aman bagi jemaah untuk menyalurkan keluhan, berbagi cerita, dan mengekspresikan beban emosi. Praktik ini terbukti mampu membangun keakraban dan menciptakan iklim sosial yang suportif di tengah lingkungan ibadah yang padat dan menantang. Dukungan sosial semacam ini terbukti memainkan peran protektif terhadap kesehatan mental jemaah (Abdul Mutalib et al., 2022; Abadi et al., 2024), terutama dalam meredam potensi konflik interpersonal dan gejala kelelahan emosional.
Selain memberikan dukungan emosional langsung, kami juga menyarankan agar aktivitas-aktivitas sunnah yang bersifat fisik dikurangi menjelang puncak ibadah. Hal ini bertujuan agar energi jemaah tetap terjaga untuk menjalankan ibadah wajib dan rukun haji di Armuzna. Kami memahami bahwa keinginan untuk memperbanyak amal sangat tinggi, namun kesiapan fisik dan kestabilan emosional jauh lebih penting agar pelaksanaan rukun haji berjalan lancar dan khusyuk. Ini sesuai dengan pendekatan preventif yang ditekankan dalam literatur manajemen haji, yaitu menjaga keseimbangan antara semangat ibadah dan daya tahan tubuh (Setiyarini & Kertia, 2024). Dalam beberapa kasus, kami juga memberikan intervensi berbasis pendekatan spiritual seperti refleksi diri, bimbingan dzikir kolektif, dan sesi penguatan makna ibadah yang telah terbukti meningkatkan rasa syukur dan ketenangan batin jemaah (Dewi, 2023; Jailani & Huda, 2024).
Dengan demikian, pendekatan psikologi pelayanan haji perlu ditempatkan sebagai elemen utama dalam sistem penyelenggaraan ibadah, bukan sekadar pelengkap. Armuzna bukan hanya lokasi geografis dalam perjalanan haji, tetapi juga menjadi simbol klimaks spiritual yang menuntut kesiapan total — fisik, mental, dan spiritual. Oleh karena itu, intervensi berbasis psikologi sosial dan spiritual harus dikembangkan secara terstruktur oleh para petugas dan pembimbing haji, mulai dari manasik hingga ke lapangan. Kami berharap bahwa model pendekatan empatik, kolaboratif, dan transformatif ini dapat menjadi standar dalam pelayanan haji ke depan. Pendekatan yang mengintegrasikan kekuatan spiritual dan dukungan sosial terbukti bukan hanya memperkuat daya tahan jemaah, tetapi juga memperindah makna ibadah yang dijalankan dengan hati yang tenang dan jiwa yang penuh harap (Rachmad et al., 2024; Mohammed & Yaqub, 2024).
Simpulan
Masa persiapan menuju Armuzna merupakan fase krusial yang menuntut kesiapan fisik dan emosional secara utuh. Tim Monev tidak hanya melakukan pengawasan administratif, tetapi juga menyuplai energi moral, spiritual, dan psikologis kepada para jemaah. Dengan membangun kesadaran bahwa Armuzna adalah puncak ibadah yang harus dijalani dengan ketenangan dan kesehatan prima, maka fokus ibadah dan introspeksi diri akan lebih terjaga. Sebagaimana amanat Sekjen Kementerian Agama, Prof. Dr. H. Kamaruddin Amin, Tim Monev harus menjadi pemberi solusi, bukan beban. Refleksi ini saya harap dapat menginspirasi berbagai pihak untuk lebih peka terhadap kebutuhan emosional jemaah, serta menjadi landasan dalam menyusun strategi layanan haji yang tidak hanya efisien, tetapi juga empatik dan bermartabat.
Prof. Dr. Idi Warsah, M.Pd.I. / Rektor IAIN Curup / Anggota Tim Monev Ibadah Haji 2025