Di tengah panasnya persaingan global dalam dunia kecerdasan buatan (AI), nama Mira Murati kembali mencuri perhatian.
Wanita yang dikenal sebagai mantan Chief Technology Officer (CTO) OpenAI ini membuat langkah mengejutkan dengan menolak tawaran senilai USD 1 miliar (sekitar Rp16 triliun) dari Meta, perusahaan teknologi milik Mark Zuckerberg.
Tawaran fantastis tersebut diberikan kepada Murati dan tim startup barunya, Thinking Machines Lab (TML), yang saat ini menjadi salah satu pemain yang paling dinantikan kiprahnya di ranah AI.
Tidak hanya Murati, seluruh anggota tim TML juga sepakat untuk menolak tawaran pribadi yang nilainya mencapai miliaran dolar per orang.
“Sejauh ini belum ada satu pun dari Thinking Machines Lab yang menerima tawaran itu,” tegas Murati yang dikutip dari Wired.
Penolakan ini bukan hanya soal angka. Di baliknya ada filosofi, idealisme, dan strategi jangka panjang untuk membangun teknologi AI yang benar-benar independen.
Mira Murati: Dari Albania ke Pusat Revolusi AI
Lahir di Albania pada 1988, Mira Murati adalah simbol dari perjalanan luar biasa seorang perempuan dalam dunia teknologi.
Di usia remaja, ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di Kanada, lalu menempuh pendidikan tinggi di Amerika Serikat. Ia meraih dua gelar sarjana di bidang matematika dan teknik mesin dari Colby College dan Dartmouth College.
Sebelum menjejak dunia AI, Murati sempat bekerja di perusahaan-perusahaan besar seperti Zodiac Aerospace, Tesla, hingga Goldman Sachs.
Namun puncak kariernya dimulai saat bergabung dengan OpenAI pada 2018. Ia memimpin tim yang mengembangkan proyek revolusioner seperti ChatGPT, DALL·E, dan Codex.
Murati juga sempat menduduki jabatan CEO interim OpenAI ketika Sam Altman dipecat sementara pada 2023, sebelum akhirnya kembali ke posisi CTO dan kemudian memutuskan keluar pada 2024 untuk membentuk perusahaannya sendiri.
Thinking Machines Lab: Startup Baru dengan Ambisi Besar
Thinking Machines Lab berdiri pada September 2024 dan langsung menarik perhatian para investor. Startup ini bahkan berhasil mengamankan pendanaan awal sebesar USD 2 miliar (sekitar Rp33 triliun).
Dalam waktu kurang dari setahun, valuasi TML telah meroket menjadi lebih dari Rp197 triliun, bahkan sebelum merilis produk pertamanya.
Salah satu alasan tingginya antusiasme terhadap TML adalah banyaknya talenta dari OpenAI, Meta, dan perusahaan AI besar lainnya yang bergabung ke dalam tim Murati.
Produk AI pertama dari TML dijadwalkan rilis akhir tahun ini dan disebut-sebut akan menjadi pesaing kuat bagi GPT milik OpenAI maupun Gemini milik Google.
Meta dan Ambisinya Menguasai Talenta AI Dunia
Meta, melalui divisi baru Meta Superintelligence Labs (MSL), memang tengah gencar “memburu” para talenta terbaik di bidang AI.
Sejak mengakuisisi Scale AI pada Juni 2025, Meta telah merekrut tokoh-tokoh besar dari Google DeepMind, Apple, OpenAI, hingga Anthropic.
Beberapa di antaranya adalah:
- Alexandr Wang (mantan CEO Scale AI),
- Nat Friedman (mantan CEO GitHub),
- Trapit Bansal (pengembang model o-series di OpenAI),
- Jack Rae (pengembang Gemini di DeepMind),
- serta sejumlah eks staf Apple seperti Ruoming Pang dan Bowen Zhang.
Tidak main-main, kompensasi yang ditawarkan Meta ke sejumlah talenta tersebut dilaporkan mencapai ratusan juta dolar AS per individu.
Menjaga Independensi di Tengah Godaan Raksasa Teknologi
Keputusan Mira Murati dan Thinking Machines Lab untuk menolak tawaran Meta menjadi cerminan sikap tegas dalam mempertahankan integritas dan arah visi.
Murati menegaskan bahwa misi TML bukan sekadar membangun produk canggih, tetapi juga menciptakan AI yang bertanggung jawab, etis, dan tidak dikooptasi oleh kepentingan raksasa teknologi.
Langkah ini pun dianggap sebagai penegasan bahwa inovasi di bidang AI masih bisa dibangun dengan fondasi nilai, bukan sekadar kapital.
Banyak pengamat menyebut bahwa TML adalah startup AI pertama dengan skala global yang benar-benar “berdiri sendiri” tanpa afiliasi langsung dengan konglomerasi besar, baik dari Silicon Valley maupun China.