Damianus D. Kumanireng (Guru pada SMAK Negeri Keerom, Papua)
Ekoteologi merupakan wilayah Teologi yang merefleksikan relasi manusia beriman dengan lingkungannya. Ekoteologi meletakkan manusia dan semesta dalam hubungan yang setara, saling bergantung, berkeadilan dan berkesinambungan. Penguatan Ekoteologi menjadi program prioritas Kementerian Agama periode 2025-2029 yang tertuang dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 244 Tahun 2025. Urgensi program ini menjadi jelas ketika kita menemukan fakta (bukan ramalan!) bahwa kondisi bumi kita sedang tidak baik-baik saja. Kenaikan suhu bumi akibat pemanasan global yang berefek pada anomali iklim dan bencana alam yang makin sering terjadi dan berdampak buruk bagi kehidupan, mengancam kehidupan.
Penetapan Ekoteologi menjadi program perioritas, seyogyanya mendorong seluruh Satuan Kerja di lingkungan Kementrian Agama berupaya sesuai konteksnya masing-masing bergerak mengimplementasikan Ekoteologi.
Sebagai sekolah di bawah payung binaan Ditjen Bimas Katolik Kementerian Agama Republik Indonesia, SMAK Negeri Keerom, mengimplementasilkan Eko Teologi dalam gerak kelompok yang diberi nama Pegiat “Laudato Si.” Laudato Si merupakan potret Ekoteologi dalam konteks Gereja Katolik. Laudato Si adalah nama dokumen gereja Katolik (ensiklik) yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus yang terbit pada bulan Mei 2015. Dokumen ini mengajak semua umat katolik dan semua orang yang berkehendak baik untuk merawat bumi, rumah kita bersama.
Ekologi Integral yang disarankan dalam Ensiklik Laudato Si menjadi potret Ekoteologi di SMAK Negeri Keerom, salah satu sekolah binaan Ditjen Bimas Katolik. Ekologi Integral menempatkan manusia sesama ciptaan dan lingkungan dalam saling ketergantungan dan menjadi dasar bagi seluruh kehidupan. Kita memerlukan cara pandang yang menyeluruh agar bisa mencapai solusi yang bermakna, berkeadilan serta berkelanjutan. Ekologi merefleksikan hubungan antara organisme-organisme hidup dan lingkungan di mana mereka berkembang.Tidak berlebihan untuk menekankan bahwa semuanya saling terhubung.
Apa yang dapat dibuat dengan Ekoteologi di SMAK Negeri Keerom? Kami menemukan kondisi dapur asrama yang memprihatinkan. Kesulitan ekonomi orang tua para siswa mempengaruhi layanan makanan bagi siswa di asrama. Kenyataan ini mendorong kami mencari solusi. Proses mencari solusi melibatkan siswa dengan membangun kehangatan relasi, membuka ruang diskusi bahkan seminar dengan tema kewirausahaan. Hasil diskusi dalam seminar itulah yang membuat gerakan perubahan menjadi bermakna.
Sebagai pendidik, kami berupaya membawa semangat Ekoteologi di tengah warga sekolah. Dalam keterbatasan kami berusaha mengajak rekan-rekan guru bekerja mendampingi siswa dalam program Komunitas Pegiat Laudato Si. Kami memberikan informasi, meyakinkan mereka akan pentingnya sikap peduli pada kondisi dapur asrama yang sulit, peduli pada kondisi bumi yang sedang menderita. Kami mendorong siswa untuk terus memelihara lingkungan sekolah/asrama dan mengupayakan kebun organik.
Puji Tuhan… sebuah kebun organik berhasil kami bangun. Kebun organik yang berfungsi selain sebagai ruang pembelajaran terbuka atau laboratorium alam, tetapi sekaligus ruang refreshing bagi siswa yang tinggal di asrama dan dapat membantu meringankan beban belanja di dapur. Belanja sayur sudah bisa dikurangi karena kami memanen sayur dari kebun yang kami upayakan.
Tuhan memang baik pada kami, Dia mengirim pertolongan tepat pada waktunya. Kami merasa perjalanan hidup kami di SMAK Negeri Keerom, sungguh dibimbing oleh Tuhan. Pesan Yesus: “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan” menguatkan hati kami untuk terus berjuang “memberi makan” para siswa di asrama. Kami membayangkan, seolah-olah Tuhan berdiri di kebun ini dan mengingatkan: “Tanah Papua itu kaya sumber daya alam, jangan biarkan mereka lapar di atas tanah yang kaya dan subur!”
Dititik ini patut ditegaskan bahwa upaya menghidupi Ekoteologi dan dan Laudato Si diharapkan mampu membentuk profil lulusan SMAK yang humanis, ekologis dan religius. Profil, kenangan perjumpaan Imam Besar Masjid Istiqlal dan Paus Fransiskus di awal September 2024 terasa meneguhkan gerak langkah SMAK untuk membangun manusia yang bertanggung jawab untuk merawat bumi, menghargai kehidupan yang Tuhan titipkan untuk semua.
Kami yakin, Ekoteologi bukanlah hal yang sulit dihayati di lingkungan kerja kita, bahkan menjadi jawaban Tuhan atas kesulitan hidup. Kami juga merasa Laudato Si bukan sekedar nama dokumen gereja tetapi suatu ungkapan rasa hati kami sendiri: “Terpujilah Engkau Tuhanku. Tuhan, terima kasih karena kangkung, bunga pepaya, pisang, jagung, singkong, keladi, petatas dan lele. Tuhan kami kau beri makan dari tanah ini; Tanah Papua… Terima kasih Tuhan.
Damianus D. Kumanireng (Guru pada SMAK Negeri Keerom, Papua)