Haji bukan sekadar ibadah ritual. Ia adalah ibadah multidimensi—spiritual, sosial, politik, ekonomi, dan budaya—yang kelima dari rukun Islam. Sekian banyak buku dan tulisan telah membedah bagaimana haji mampu memantik perubahan sosial. Bahkan, jejak kemerdekaan bangsa ini tak bisa dilepaskan dari momen-momen haji di Tanah Suci, tempat para tokoh dunia Islam dahulu bertemu, saling menguatkan, dan merancang perlawanan terhadap penjajahan. Di sana, semangat kolektif tumbuh dalam zikir, dalam diskusi, dalam diam yang penuh tekad.
Kini, di era digital, dimensi sosial haji bertambah satu lagi, media sosial. Platform digital telah menjadi panggung baru tempat umat berbagi cerita, kesan, dan momen sakral. Seorang teman saya di Facebook, sebut saja HK, hampir setiap hari mengunggah perjalanan hajinya—dari persiapan keberangkatan, suasana bandara, hotel dekat Masjidil Haram, hingga usai menjalani umrah wajib. Bukan sekadar pamer, ia seolah mengajak kita ikut serta, membagi rasa, dan menularkan getaran suci yang ia rasakan. Media sosial telah menjelma ruang berbagi makna.
Namun, kita juga tak bisa serta merta menilai fenomena ini dengan kacamata hitam putih. Ada yang mengkritik, kadang dengan nada sinis, “Emang ibadah harus live update?” Seolah haji yang sejatinya sunyi dan khusyuk tak layak dikabarkan secara publik. Wajar saja. Sebab sebagian orang masih merasa, spiritualitas yang tulus mestinya tak diumbar. Apalagi saat momen-momen intim seperti thawaf, sai, atau wukuf, yang sejatinya adalah penghayatan paling pribadi antara seorang hamba dan Tuhannya.
Benar. Saat hati larut dalam thawaf, dan air mata luruh dalam sunyi Arafah, kamera dan notifikasi sebaiknya disingkirkan. Publisitas bisa membuyarkan kekhusyukan, apalagi jika terbersit rasa ingin dilihat. Tapi kita juga perlu jernih memandang. Tak semua unggahan soal haji bernuansa pamer. Banyak pula yang bermuatan budaya, tradisi, dan pengalaman kolektif yang memperkaya pemahaman kita tentang keberagamaan lintas bangsa.
Misalnya, unggahan tentang bagaimana rombongan dari berbagai negara bersatu dalam satu lingkaran thawaf. Atau bagaimana kerumunan manusia mengalir menuju Mina untuk melontar jumrah. Termasuk kisah ziarah ke makam ulama Nusantara yang wafat di Tanah Suci, mencicipi kuliner khas Timur Tengah, hingga momen-momen bersua dengan jemaah dari belahan dunia lain. Semua itu adalah narasi budaya, jendela untuk memahami keragaman dan kekayaan pengalaman spiritual umat Islam global.
Di satu sisi, unggahan-unggahan ini bisa menjadi bagian dari “jurnal digital” masyarakat haji masa kini. Kita hidup di zaman digital, di mana hampir setiap langkah terekam, disimpan dalam big data, dan tersebar dalam hitungan detik. Maka media sosial bukan hanya soal eksistensi atau citra. Ia bisa menjadi alat dakwah yang halus, dokumentasi yang otentik, bahkan refleksi diri yang mendalam.
Lihat saja video-video pendek di TikTok atau Instagram. Ada yang menginformasikan larangan ihram, ada yang mengingatkan amalan utama saat wukuf, ada pula yang sekadar memberi tahu letak toilet pria dan wanita. Sederhana, tapi penting. Bagi jemaah, informasi seperti ini sangat berguna. Bagi calon haji, ini bisa menjadi panduan awal. Informasi kecil, dampak besar.
Di balik unggahan itu, banyak yang tak hanya sekadar berbagi, tapi juga ingin menyampaikan rasa syukur, atau mungkin bahkan sedang mencari ketenangan. Tak jarang, satu unggahan jujur tentang kelelahan saat mabit di Muzdalifah, atau keharuan saat mencium Hajar Aswad, menggugah ribuan hati. Menggerakkan kembali niat orang-orang yang sempat pudar. Membakar kembali kerinduan pada Baitullah. Dalam kisah itu, kita semua merasa ikut hadir, meski hanya lewat layar.
Dengan begitu, pengalaman haji tak lagi bersifat eksklusif dan tersembunyi. Ia berubah menjadi kisah kolektif umat, menjadi inspirasi yang melintasi jarak dan waktu. Apa yang dulu hanya bisa dikenang oleh si pelaku, kini bisa menjadi bahan refleksi banyak orang. Ia menular, menyebar, dan mempererat persaudaraan. Bukankah berbagi rasa adalah bentuk tertinggi dari kasih sayang spiritual?
Media sosial juga memudahkan jemaah merekam perjalanan mereka secara otentik dan kontekstual. Tak semua orang bisa menulis jurnal atau membuat narasi menyentuh. Tapi satu foto, satu caption yang jujur, bisa menjadi catatan berharga. Setiap unggahan adalah pengingat—tentang hiruk-pikuk lautan manusia di Jamarat, tentang khusyuknya doa di Multazam, atau haru saat mengenang pertemuan dengan sahabat lama di tenda Mina. Semua itu, meski sederhana, bisa menghidupkan kembali ruh spiritual saat nanti telah kembali ke tanah air.
Lebih jauh lagi, media sosial adalah jembatan yang menghubungkan jemaah dengan keluarga di rumah. Di saat komunikasi terbatas, satu unggahan foto atau video bisa menjadi penenang hati. Sebuah gambar saat makan bersama, cerita kecil tentang keramahan petugas, atau video pendek menunggu salat di Masjid Nabawi bisa membawa ketenangan dan senyum di rumah. Bahkan, tak hanya keluarga—tetangga, teman lama, kawan sejawat ikut larut dalam atmosfer spiritual tersebut. Media sosial menyatukan yang jauh. Meski kadang juga bisa menjauhkan yang dekat, jika tak bijak menggunakannya.
Karenanya, di tengah semua kemudahan ini, kebijaksanaan tetaplah kunci. Haji adalah ibadah, bukan konten semata. Ia bukan sekadar cerita untuk dibagikan, tapi juga ruang sunyi untuk merenung. Keseimbangan antara dokumentasi dan kekhusyukan harus terus dijaga. Tak semua harus diunggah, tapi tak semua juga harus dicurigai. Karena kita tak pernah benar-benar tahu apa niat di balik satu unggahan—bisa jadi ia adalah doa, bisa juga dakwah.
Pada akhirnya, media sosial telah mengubah wajah haji secara kultural. Ia menjadi ruang reflektif, penguat spiritual, dan jembatan antar manusia. Maka di era digital ini, berbagi momen haji bukan hanya relevan, tapi juga bermakna. Ia menyentuh hati, menyebarkan inspirasi, dan mempererat persaudaraan dalam semangat yang luhur.
Dan bukankah semua yang menebar kebaikan, meski lewat jempol dan layar, tetaplah bernilai ibadah?[]
Thobib Al Asyhar (Direktur GTK Madrasah)