Negeri ini tidak pernah lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh dari darah yang mengalir di tanah basah, dari keringat yang meresap ke bumi, dari doa yang lirih dipanjatkan di sudut-sudut sunyi maupun diteriakkan lantang di medan pertempuran. Para pendahulu kita melawan penjajah dengan cara yang seringkali tak masuk akal, dengan senjata seadanya, dengan perut yang keroncongan, dengan tubuh yang ringkih namun menyimpan tekad yang lebih kokoh daripada baja, hingga akhirnya, setelah sekian lama bangsa-bangsa asing memeras nadi kita, lahirlah sebuah kesepakatan agung: mendirikan rumah bernama Indonesia, rumah yang disemen dengan iman, dipaku dengan persaudaraan, dan dipayungi oleh doa-doa yang tak pernah putus menuju langit.
Rumah itu berdiri di atas kesepakatan bersama. Kesepakatan bahwa bahasa kita satu. Kesepakatan bahwa nasib kita satu. Kesepakatan bahwa perbedaan bukan alasan untuk tercerai-berai. Suku-suku yang ratusan jumlahnya, agama yang bermacam-macam, budaya yang saling bertabrakan, semuanya dipayungi oleh satu kata: Indonesia.
Tetapi sebuah rumah, betapa pun megah ia berdiri, tidak pernah selesai sekali jadi. Selalu ada genteng yang rembes ketika hujan; selalu ada dinding yang perlahan merekah dimakan waktu; selalu ada kayu yang lapuk bila penghuninya hanya sibuk menyelamatkan diri sendiri dan lupa bahwa rumah itu bukan milik satu orang saja, melainkan milik semua jiwa yang lahir dari tanahnya, yang pernah dibesarkan oleh pelukan udaranya, dan yang pada suatu hari kelak akan dipeluk kembali oleh bumi yang sama. Maka, menjaga rumah ini sejatinya adalah menjaga diri kita sendiri. Sebab, keruntuhannya adalah keruntuhan kita, dan keutuhannya adalah keselamatan kita bersama.
Pada malam-malam sunyi, ketika lampu telah dipadamkan dan suara jangkrik mendominasi ruang, terbayang sebuah rumah besar bernama Indonesia. Rumah itu dahulu didirikan dengan tergesa namun sekaligus dengan cinta yang menyala-nyala, serupa rumah pengantin baru yang belum genap setahun menikah. Tiangnya berdiri kokoh namun belum sempat dipoles, dindingnya menjulang tetapi catnya masih kasar, atapnya tegak meski gentengnya banyak yang belum rapat, seakan seluruh proses pembangunan dilakukan serba terburu-buru karena para penghuninya ingin segera menempatinya.
Namun tergesa itu lahir bukan semata karena keinginan untuk berteduh, melainkan juga karena desakan sejarah, karena ada luka penjajahan yang harus segera ditutup dengan persatuan, ada darah yang telah tertumpah terlalu lama sehingga rumah itu menjadi simbol penyembuhan bersama. Ia dibangun dengan bahan seadanya tetapi dengan doa yang tak putus, disusun dengan bata yang rapuh namun diperteguh dengan harapan, dirangkai dengan kayu yang mungkin masih basah namun dipanaskan oleh semangat yang menyala. Rumah itu berdiri bukan hanya sebagai tempat berteduh, melainkan sebagai pernyataan bahwa sebuah bangsa telah memilih untuk hidup bersama, meski sadar sepenuhnya bahwa fondasi yang dipasang belum sempurna, bahwa retakan-retakan kecil akan selalu muncul, dan bahwa hanya dengan kesabaran serta ketulusanlah rumah besar bernama Indonesia itu bisa tetap tegak menghadapi waktu..
Lalu hari-hari berjalan. Rumah itu semakin ramai. Anak-anak lahir, cucu-cucu tumbuh. Ada yang rajin membersihkan, ada yang hanya menumpang tidur. Ada yang menyumbang bata, ada yang malah mencuri kayu untuk dijual kembali. Rumah besar itu pun mulai retak. Retakan kecil, yang pada awalnya bisa ditambal dengan adukan semen tipis, lama-lama dibiarkan. Kita terlalu sibuk. Terlalu lelah. Terlalu mementingkan diri sendiri.
Dalam Surah Ar-Rum ayat 41, Allah memberi peringatan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Retakan-retakan itu adalah tanda. Tanda bahwa kita abai, bahwa kita lupa. Tanda bahwa rumah ini tidak bisa dibiarkan hanya berdiri di atas pondasi lama, tanpa upaya memeliharanya. Retak kecil adalah peringatan. Jika kita tidak peduli, ia akan melebar, tembok akan runtuh, rumah akan ambruk.
Kadang, negeri ini tampak bukan lagi rumah, melainkan perahu yang berlayar di samudra luas, lautan yang tidak pernah benar-benar tenang, sesekali hanya beriak kecil namun tiba-tiba bisa menghadirkan badai besar yang mengguncang hingga hampir menenggelamkan; perahu itu bernama Indonesia, dan di sekitarnya melintas kapal-kapal megah dengan mesin modern, layar menjulang, kompas digital, serta nahkoda yang ditempa sekolah-sekolah jauh di negeri asing, sementara perahu kita sejak mula hanya terbuat dari kayu sederhana, layar tambal dari kain lusuh, tali yang kadang putus, kemudi yang retak oleh usia, namun justru dengan perahu rapuh itulah pelayaran ditempuh, badai ditantang, gelombang dihadapi, dan berkali-kali keselamatan tercapai karena bukan keelokan kapal yang menentukan arah, melainkan kebersamaan penumpang, doa yang terus dipanjatkan, serta keyakinan bahwa Allah menuntun ke tepian tujuan.
Sejarah telah menuliskan bahwa perahu bernama Indonesia ini pernah oleng, nyaris karam di tengah samudra, namun selalu saja muncul tangan-tangan yang rela menambal celahnya dengan kesetiaan, bahu-bahu yang rela memikul beban dengan keikhlasan, sehingga meskipun badai tidak pernah benar-benar pergi dan ombak terus datang silih berganti, perahu itu tetap bertahan, sebab ada rahasia yang menyelubunginya: doa-doa yang dilangitkan para ibu, sujud panjang para ayah, tangis anak-anak yang tak ingin kehilangan tanah kelahirannya, dan janji Tuhan bahwa setiap kesulitan selalu diiringi jalan keluar, sehingga perahu ini, meski goyah dan retak, tetap berlayar dengan cahaya harapan yang tak pernah padam.
Masalah justru muncul bukan dari laut, bukan dari badai, bukan pula dari gelombang. Masalah muncul ketika kita yang ada di dalam perahu saling bertikai. Kita sibuk berebut kemudi, saling tarik layar, saling menyalahkan siapa yang paling pintar membaca bintang. Lalu, ketika retakan kecil muncul di badan kapal, tidak ada yang peduli menambalnya. Kita terlalu sibuk membuktikan siapa yang lebih pantas menjadi nahkoda.
Di luar sana, bukan hanya ombak yang harus diwaspadai. Ada bajak laut yang mengintai. Ada perompak yang matanya berbinar melihat perahu kita. Mereka tahu perahu ini sederhana, tapi indah. Perahu ini kecil, tapi sarat dengan harta: rempah, emas, kayu, batu mulia, dan kekayaan yang mereka impikan sejak lama.
Mereka tidak perlu menembakkan meriam. Tidak perlu mendobrak pintu. Mereka hanya perlu menunggu kita sibuk bertengkar. Ketika kita sudah saling baku hantam, perahu ini akan dengan mudah mereka rebut.
Al-Qur’an mengingatkan dalam Surah Ali Imran ayat 103: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliyah) kamu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara…”
Ayat itu, bagi saya, adalah peta pelayaran. Jangan tercerai-berai. Jangan berebut arah. Jangan sibuk menjatuhkan sesama awak. Kita sudah terlalu jauh berlayar, terlalu lama mengarungi samudra, terlalu banyak darah dan keringat tercurah untuk membuat perahu ini bertahan.
Saya pernah membayangkan negeri ini seperti shalat berjamaah. Ada imam, ada makmum. Imam bisa salah, dan makmum punya cara yang santun untuk mengingatkan. Imam bisa batal, dan ada cara untuk menggantinya. Tidak ada yang perlu ricuh, tidak ada yang perlu saling teriak. Semua ada aturannya.
Bayangkan jika shalat berjamaah berubah jadi arena gaduh. Makmum sebelah kanan ingin ruku’ lebih cepat. Makmum sebelah kiri ingin sujud lebih lama. Imam ditarik ke depan, lalu ditarik ke belakang. Apa jadinya? Shalat itu batal. Dan kita bukan lagi jamaah, melainkan gerombolan yang kehilangan arah.
Negeri ini persis begitu. Jika semua ingin menjadi imam, maka shalat akan kacau. Jika semua ingin mengendalikan kemudi, perahu akan karam. Kita butuh tata tertib. Butuh kesabaran. Butuh adab.
Di era digital, perpecahan semakin mudah tumbuh. Media sosial menjadi pasar yang riuh, tapi juga arena yang sering menelanjangi manusia. Saya pernah mendengar kisah seorang anak muda yang bunuh diri hanya karena dibuli komentar. Katanya, hanya komentar. Tetapi apakah kita benar-benar paham betapa tajamnya komentar bisa melukai?
Ada pula orang yang diperas dengan rekaman dirinya, dipaksa menyerahkan uang hanya karena takut videonya tersebar. Dunia maya, yang awalnya dianggap jendela kebebasan, berubah menjadi ruang penyiksaan.
Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda: “Seorang muslim adalah yang orang lain selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika lisan saja bisa melukai, apalagi jari yang menuliskan kata-kata di layar kaca. Retakan perahu kita hari ini bukan hanya berasal dari politik dan ekonomi. Retakan itu juga datang dari cara kita bersikap di dunia maya. Dari jari-jari yang terlalu cepat mengetik, dari mulut yang terlalu ringan menghina, dari hati yang semakin tipis empatinya.
Kita tidak ingin hanya meratap. Retakan, bagaimanapun, bisa ditambal. Rumah bisa diperbaiki, perahu bisa dikuatkan kembali. Caranya? Sederhana tapi tidak mudah: dengan kebersamaan. Salah satu ayat yang paling saya suka ada di Surah Al-Maidah ayat 2:
Artinya :“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
Ayat itu seperti panduan tukang. Jika ada retakan, jangan biarkan. Ambil semen kebajikan, ambil pasir kesabaran, campur dengan air doa, lalu tambalkan pada dinding rumah kita. Jika perahu bocor, ambil papan persaudaraan, paku dengan iman, ikat dengan takwa, maka ia akan kuat kembali. Menambal retakan bukan pekerjaan satu orang. Tidak ada tukang super. Tidak ada nahkoda tunggal. Semua harus bergerak. Semua harus rela turun tangan.
Coba kita membayangkan Indonesia sebagai sebuah doa panjang. Doa yang tidak berhenti di bibir, tapi terus bergaung dalam hati. Doa yang dulu dibaca oleh para pejuang ketika darah menetes di tanah. Doa yang dibisikkan para ibu ketika melepas anaknya berperang. Doa yang kita warisi, yang sampai sekarang belum selesai kita panjatkan. Indonesia bukan sekadar negara. Ia adalah doa yang sedang terus-menerus kita amini bersama. Dan doa, seperti perahu, hanya akan selamat jika semua penumpangnya percaya bahwa arah kiblatnya satu.
Indonesia adalah perahu itu. Ia mungkin tak sebesar kapal modern negara-negara lain. Tapi ia punya cerita panjang, punya daya tahan, punya jiwa yang tak mudah karam. Kita hanya perlu menyadari bahwa musuh sejati bukanlah sesama awak, melainkan badai, ombak, dan bajak laut yang selalu mengintai di luar sana. Perahu ini, bagaimanapun keadaannya, adalah rumah kita. Dan rumah, betapapun rapuh, selalu layak kita jaga bersama. Jangan biarkan ia runtuh hanya karena kita sibuk mengeluhkan retakan kecil, tapi tidak pernah mau menambalnya. Mungkin begini cara paling sederhana untuk mengingatkannya: rumah ini adalah milik kita semua. Perahu ini adalah milik kita semua. Negeri ini adalah milik kita semua.
Dan pada akhirnya, sebagaimana doa yang tidak pernah putus, kita hanya bisa berserah: “Rabbana la tuzigh qulubana ba’da idh hadaytana wahab lana min ladunka rahmah, innaka antal wahhab.”
(Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi).
Semoga perahu ini, betapapun retak, tetap bisa membawa kita berlayar hingga sampai ke pantai tujuan.
Syafaat (ASN Kementerian Agama / Ketua Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi)