Teknologi kecerdasan artifisial atau Artificial Intelligence (AI) semakin banyak dimanfaatkan, tidak hanya untuk hal-hal positif tetapi juga untuk tindak kejahatan dan penipuan. Penggunaan AI dalam pembuatan foto dan video palsu, yang dikenal dengan istilah deepfake, telah menunjukkan betapa canggihnya teknologi ini meskipun potensinya disalahgunakan.
Inovasi seperti deepfake ini mampu menciptakan konten yang nyaris sempurna, sehingga banyak pihak, baik masyarakat umum maupun para ahli, bisa terkecoh oleh hasil rekayasa digital tersebut.
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, mengimbau masyarakat untuk lebih waspada terhadap penyalahgunaan teknologi AI dalam aksi kriminalitas dan penipuan. Menurut Nezar, kemampuan AI untuk menghasilkan video dan foto yang sangat mirip dengan aslinya menjadikan proses penipuan semakin sulit dideteksi.
“Kita bisa menyaksikan sekarang video-video yang dihasilkan oleh AI itu nyaris sempurna, banyak orang bahkan terkecoh, bukan hanya orang awam, para ekspert pun kadang-kadang terkecoh dengan video ataupun foto yang dihasilkan karena sangat mirip dengan yang asli,” ujar Nezar.
Pemanfaatan AI untuk kejahatan tidak hanya terbatas pada pembuatan deepfake, melainkan juga mencakup pemalsuan bukti transfer bank yang menipu nasabah. Teknologi ini memungkinkan pembuatan bukti transfer, lengkap dengan detail hologram, secara cepat dan mudah ditiru, sehingga menimbulkan keraguan bagi penerima transfer.
Dalam upaya memerangi penyalahgunaan AI, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Komdigi) telah menerbitkan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 yang memuat Etika Kecerdasan Artifisial.
Langkah ini diambil sebagai respons terhadap meningkatnya kejahatan digital dan penipuan menggunakan teknologi AI. Selain itu, Komdigi telah menjalin koordinasi intensif dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia guna mencegah serta memitigasi kerugian yang dialami nasabah akibat kejahatan dengan teknologi AI, termasuk tindak kejahatan di sektor keuangan dan perbankan.
Pemerintah Indonesia juga mengandalkan berbagai regulasi yang ada untuk memberantas kejahatan berbasis teknologi AI. Di samping penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (PDP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-Undang Hak Cipta, Nezar Patria menekankan bahwa perkembangan AI yang sangat cepat menuntut adanya regulasi khusus yang lebih adaptif.
Hal ini penting agar regulasi yang diterapkan dapat mengimbangi kemajuan teknologi, sehingga risiko penyalahgunaan AI dapat diminimalkan. Sebagai solusi jangka panjang, pemerintah tengah menyusun peta jalan pengembangan AI yang komprehensif.
Peta jalan ini bertujuan untuk memastikan bahwa pemanfaatan teknologi AI di Indonesia dapat digunakan secara positif sambil mampu memitigasi dampak negatif yang mungkin timbul akibat penyalahgunaan.
Dengan penerapan regulasi yang lebih spesifik dan pengawasan jumlah penggunaan teknologi AI yang meningkat, diharapkan kejahatan digital yang memanfaatkan AI dapat dicegah secara lebih efektif.
Melalui langkah-langkah strategis dan integrasi kebijakan regulasi yang kuat, diharapkan Indonesia mampu mengoptimalkan potensi AI untuk inovasi dan kemajuan teknologi tanpa mengorbankan keamanan siber.
Kesadaran masyarakat dan penegakan hukum yang tegas merupakan kunci utama dalam menghadapi tantangan kejahatan digital di era kecerdasan artifisial yang terus berkembang.