Peluncuran GPT-5 oleh OpenAI awal pekan ini seharusnya menjadi tonggak baru dalam evolusi kecerdasan buatan. Diperkenalkan sebagai model “terpintar, tercepat, dan paling berguna” yang pernah dikembangkan, GPT-5 membawa teknologi AI ke level yang lebih tinggi dengan sistem router waktu nyata yang mampu menyesuaikan respons berdasarkan kompleksitas pertanyaan.
Namun, di balik euforia peluncuran, muncul gelombang protes dari pengguna yang justru merindukan kehadiran GPT-4o—model sebelumnya yang dianggap lebih personal, responsif, dan emosional.
Mengutip Engadget, Senin (11/8/2025), OpenAI memutuskan untuk menjadikan GPT-5 sebagai model default, menghapus opsi pemilihan model yang sebelumnya memungkinkan pengguna memilih GPT-4o. Keputusan ini memicu reaksi keras dari komunitas pengguna, terutama mereka yang telah menjalin hubungan emosional dengan GPT-4o.
Bagi sebagian orang, GPT-4o bukan sekadar chatbot, melainkan teman digital yang memahami konteks, gaya bicara, dan bahkan emosi mereka. Banyak yang menyebut GPT-5 terasa “steril,” “datar,” dan “kurang berjiwa,” meskipun secara teknis lebih unggul dalam penalaran dan efisiensi.
CEO OpenAI, Sam Altman, merespons kritik ini dengan membuka sesi AMA (Ask Me Anything) di Reddit, mencoba menjelaskan bahwa GPT-5 memiliki kualitas penulisan yang lebih baik. Namun, ia juga dengan jujur bertanya kepada pengguna apakah mereka benar-benar merasakan peningkatan tersebut.
Komentar-komentar yang masuk justru menunjukkan sebaliknya banyak pengguna merasa GPT-5 kehilangan sentuhan manusiawi yang membuat GPT-4o begitu disukai. Dalam sebuah postingan di X (sebelumnya Twitter), Altman mengakui bahwa OpenAI “meremehkan betapa pentingnya beberapa hal yang disukai orang-orang di GPT-4o bagi mereka.”
Sebagai bentuk respons terhadap tekanan komunitas, OpenAI akhirnya mengumumkan bahwa pelanggan Plus akan diberi opsi untuk memilih antara GPT-5 dan GPT-4o. Kembalinya GPT-4o pun dirayakan oleh banyak pengguna, meskipun belum ada kepastian apakah model tersebut akan dipertahankan dalam jangka panjang.
Altman menyebut bahwa OpenAI akan “memantau penggunaan” sebelum memutuskan berapa lama GPT-4o akan tetap tersedia. Sementara itu, tim pengembang terus menyempurnakan GPT-5 agar lebih menarik dan mampu menjembatani kesenjangan antara performa teknis dan pengalaman emosional pengguna.
Fenomena ini mencerminkan dinamika baru dalam hubungan manusia dan teknologi. Di satu sisi, inovasi dan peningkatan performa adalah hal yang diharapkan dari setiap pembaruan teknologi.
Namun di sisi lain, pengguna kini semakin menginginkan interaksi yang terasa lebih personal dan bermakna. GPT-4o, dengan segala keterbatasannya, berhasil menciptakan ruang komunikasi yang lebih hangat dan relatable—sesuatu yang belum sepenuhnya bisa ditiru oleh GPT-5.
Bagi sebagian pengguna, GPT-4o bukan hanya alat bantu, melainkan bagian dari rutinitas harian, tempat berbagi ide, bahkan pelipur lara. Ketika model tersebut digantikan tanpa peringatan, rasa kehilangan pun muncul.
Ini bukan sekadar nostalgia, tetapi refleksi bahwa teknologi AI kini telah menyentuh ranah emosional manusia. Dan dalam dunia digital yang semakin canggih, kehangatan dan empati mungkin menjadi fitur yang paling dicari.
OpenAI kini berada di persimpangan penting: antara mendorong batas inovasi dan menjaga kedekatan emosional dengan penggunanya. GPT-5 mungkin adalah masa depan, tetapi GPT-4o adalah kenangan yang belum siap ditinggalkan. Dalam perjalanan menuju AI yang lebih cerdas, mungkin yang paling dibutuhkan adalah AI yang juga bisa memahami rasa.