Pengadilan di Pakistan pada Jumat (11/7) memutuskan untuk menangguhkan sementara perintah yang menginstruksikan pemblokiran lebih dari dua lusin kanal YouTube milik tokoh-tokoh yang kritis terhadap pemerintah, termasuk kanal milik mantan Perdana Menteri Imran Khan dan partainya, Pakistan Tehreek-e-Insaf (PTI).
Keputusan penangguhan ini diumumkan oleh pengacara pembela Imaan Mazari, yang mewakili dua dari para pembuat konten yang terdampak.
Sebelumnya, YouTube, yang dimiliki oleh perusahaan teknologi raksasa Alphabet Inc. mengirim pemberitahuan kepada 27 kreator konten di Pakistan, menyatakan bahwa kanal mereka bisa diblokir jika tidak mematuhi perintah pengadilan magistrat di Islamabad.
Perintah awal dari pengadilan magistrat dikeluarkan setelah Lembaga Investigasi Kejahatan Siber Nasional dalam laporan tertanggal 2 Juni menuduh kanal-kanal tersebut telah menyebarkan konten yang bersifat mengintimidasi, provokatif, dan menghina institusi serta pejabat negara.
Namun, pengacara Imaan Mazari berargumen bahwa perintah tersebut tidak memiliki dasar hukum yang sah.
“Keputusan itu bersifat sepihak dan dikeluarkan tanpa memberi kesempatan kepada pihak pembela untuk menyampaikan argumen,” kata Mazari kepada wartawan, yang juga dilansir dari Reuters.
Ia juga menambahkan bahwa pengadilan magistrat tidak memiliki yurisdiksi untuk mengeluarkan perintah pemblokiran semacam itu.
Langkah pemblokiran tersebut sebelumnya memicu kritik dari berbagai kelompok masyarakat sipil dan pegiat hak digital. Mereka menilai bahwa jika dilanjutkan, hal ini akan menjadi serangan serius terhadap kebebasan berekspresi di Pakistan.
Pasalnya, media sosial seperti YouTube dan platform digital lainnya menjadi ruang penting bagi suara-suara oposisi, di tengah tuduhan bahwa pemerintah secara sistematis membungkam media cetak dan televisi.
Sidang lanjutan kasus ini dijadwalkan akan digelar pada 21 Juli 2025 di pengadilan tingkat sessions (pengadilan banding di bawah Mahkamah Tinggi).
Sebagai informasi, dalam sistem peradilan Pakistan, kasus biasanya dimulai dari pengadilan magistrat, dan dapat diajukan banding ke pengadilan sessions, lalu ke pengadilan tinggi (High Court), dan pada akhirnya ke Mahkamah Agung.
Sementara itu, YouTube belum memberikan komentar resmi atas permintaan tanggapan dari Reuters terkait kontroversi ini.