Helmi Nasaruddin Umar berdialog dengan seorang anak di acara Sarasehan Hari Anak Nasional 2025, Sulsel, (23/7/2025)
Makassar (Kemenag) – Penasihat Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kementerian Agama RI Helmi Halimatul Udhmah menyampaikan pentingnya peran Kementerian Agama dalam menjamin pemenuhan hak-hak anak, khususnya dalam pendidikan keagamaan yang mencerahkan dan lingkungan spiritual yang ramah anak.
Hal ini disampaikannya saat membuka Sarasehan Hari Anak Nasional 2025 di Kantor Wilayah Kemenag Sulawesi Selatan.
“Anak-anak memiliki hak untuk beribadah dan mengembangkan potensi spiritualnya sesuai agama dan keyakinannya. Dalam konteks Kementerian Agama, pemenuhan hak anak juga mencakup hak atas pendidikan keagamaan yang mencerahkan, bukan yang menakutkan. Mereka juga berhak atas bimbingan moral yang memuliakan kemanusiaan, bukan yang membebani,” ujar Helmi Nasaruddin Umar di Makassar, Rabu (23/7/2025).
Menurut Helmi Nasaruddin, peran Kementerian Agama tidak berhenti pada penyampaian ajaran secara tekstual. “Kita perlu membangun ekosistem pendidikan dan keluarga yang ramah anak. Anak-anak harus merasa aman, dimengerti, dan tidak takut menyampaikan perasaannya. Kalau agama hadir sebagai tekanan, mereka akan menjauh, bukan mendekat,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan agar para pendidik dan tokoh agama menjauhi pola pengajaran berbasis ancaman. “Ajarkanlah dengan cinta, bukan dengan ketakutan. Bimbinglah dengan kasih sayang, bukan dengan amarah. Anak-anak akan lebih mudah menerima nilai-nilai luhur jika kita menyampaikannya dengan kelembutan,” ucapnya.
Sarasehan ini dihadiri oleh Staf Ahli Menteri Agama Toto, Staf Khusus Menteri Ismail Cawidu, Tenaga Ahli Bunyamin, Rektor Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar beserta para wakil rektor dan dosen, serta Kepala Kanwil Kemenag Sulawesi Selatan.
Berdialog dengan anak-anak, Helmi Nasaruddin mengundang sejumlah anak untuk berbagi pengalaman. Salah satunya adalah Aco, seorang remaja, siswa dari Makassar, yang dengan suara tenang menyampaikan isi hatinya tentang pola komunikasi satu arah di dalam rumah.
“Yang saya harapkan adalah orang tua mampu berkomunikasi dua arah terhadap anak. Karena saya sendiri merasa bahwa orang tua saya termasuk tipe yang hanya ingin didengar secara mutlak. Ketika saya ada perlu, terkadang orang tua hanya bilang, ‘Apakah kamu bisa seperti saya dulu?’” kata Aco.
Aco juga menyampaikan bahwa zaman sudah berubah dan cara orang tua memahami anak perlu ikut menyesuaikan. Ia merasa anak-anak sering tidak diberi ruang untuk menjelaskan maksudnya. “Misalnya ketika kami belajar lewat HP, langsung dibilang main. Tapi kalau kami diam, malah dianggap pemalas yang cuma tidur-tiduran. Rasanya kami seperti tidak punya kesempatan untuk menjelaskan maksud kami yang sebenarnya,” ungkapnya.
Helmi Nasaruddin memuji keberanian Aco dan mengingatkan para orang tua untuk merenungkan isi curhat tersebut. Ia mengajak Kementerian Agama dari pusat hingga daerah untuk memfasilitasi ruang aman bagi suara anak.
“Itu curahan hati seorang anak. Betapa rindunya dia, betapa ingin didengarkan suara hatinya. Kita juga dulu pernah jadi anak. Jadi jangan merasa paling benar hanya karena sekarang kita sudah jadi orang tua,” tegas Helmi Nasaruddin.
Ia mengusulkan agar ruang konseling dan layanan pendampingan psikososial menjadi bagian dari dukungan Kemenag di berbagai daerah. Hal ini termasuk untuk lingkungan satuan kerja Kemenag sendiri. “Saya mohon kepada Pak Kanwil, Dharma Wanita harus menyiapkan ruang khusus untuk konseling rumah tangga. Tidak boleh lagi ada pegawai curhat ke atasannya tentang masalah pribadi, karena itu justru menambah konflik. Kita harus menyediakan jalur yang aman dan profesional,” ujarnya.
Helmi Nasaruddin menegaskan bahwa agama dan cinta harus berjalan beriringan dalam membesarkan anak. “Kurikulum cinta itu penting, dan Kementerian Agama bisa memulainya. Dari mulai bangun tidur, dari cara kita berbicara, dan dari keikhlasan kita menjalankan peran. Kalau kita mendidik dengan cinta, anak-anak akan tumbuh dengan bahagia dan penuh semangat,” pungkasnya.