Religiusitas Tanpa Moralitas, Sebuah Tantangan Bangsa
Tidak lama lagi, tepat pada hari Kamis, 5 Juni 2025, umat Islam sedunia akan berkumpul di Padang Arafah untuk melaksanakan wukuf—puncak ibadah haji yang sarat nilai spiritual, dengan lebih dari 210 ribu jamaah haji asal Indonesia mengukuhkan negeri ini sebagai salah satu pengirim terbesar dunia. Capaian ini sejalan dengan peringkat ke-7 Indonesia sebagai negara paling religius (CEOWORLD, 2024), tetapi paradoks memilukan justru muncul: Transparency International (2024) mencatat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia hanya 34 (skala 100), masuk 10 besar negara terkorup. Ironi serupa terlihat di sektor pendidikan melalui pemalsuan data akreditasi (jumlah dosen, fasilitas), penyuapan asesor (Mediakampus, 4 April 2025), dan 22,13% satuan pendidikan terindikasi kecurangan dalam akreditasi (Detikedu, 25 April 2025)—bukti nyata jurang lebar antara religiusitas simbolik dan moralitas etik yang seharusnya menjadi ruh keberagamaan.
Fenomena tersebut menjadi ironi sosial sekaligus tantangan karakter bangsa. Tingginya aktivitas keagamaan, yang seharusnya menjadi fondasi pembentukan integritas pribadi dan sosial, ternyata belum sepenuhnya mampu menekan praktik korupsi dan memperbaiki tata kelola publik. Azyumardi Azra dalam Corruption, Good Governance, and Civil Society (2010) menyoroti paradoks ini, di mana ajaran Islam secara tegas mengharamkan korupsi, namun praktiknya justru marak di Indonesia — negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Realitas ini memperlihatkan kompleksitas hubungan antara otoritas moral, ajaran etik agama, dan perilaku nyata warga negara, khususnya di kalangan elit politik dan birokrasi.
Para pemimpin agama sejatinya memiliki otoritas moral yang besar di tengah masyarakat. Namun, pengaruh mereka dalam menekan laju korupsi masih terbatas. Keterlibatan tokoh agama dalam berbagai inisiatif anti-korupsi kerap terhambat oleh berbagai faktor, mulai dari resistensi politik hingga tantangan komunikasi lintas institusi dan komunitas. Hal ini ditegaskan oleh Roshady dan Wibowo dalam penelitian, Exploring the Role of Religious Leaders and Religious Organizations in Combating Corruption in Indonesia (2024) menemukan, bahwa peran tokoh agama dan organisasi keagamaan dalam pemberantasan korupsi masih menghadapi sekat-sekat struktural dan kultural yang tidak mudah ditembus.
Kondisi ini menunjukkan bahwa persoalan korupsi di Indonesia bukan semata-mata soal lemahnya regulasi atau penegakan hukum, tetapi lebih dalam dari itu, menyentuh aspek moralitas dan integritas pribadi yang belum terbentuk secara kokoh. Religiusitas yang kuat di level ritual belum sepenuhnya menjelma menjadi etika sosial dan integritas publik. Oleh karena itu, diperlukan upaya serius untuk membangun kesadaran moral dan karakter bangsa yang tidak hanya bersandar pada aktivitas keagamaan seremonial, tetapi juga pada internalisasi nilai-nilai etik yang membentuk perilaku keseharian. Dalam konteks ini, momentum-momentum spiritual seperti ibadah haji, khususnya wuquf di Arafah, memiliki potensi besar untuk menjadi ruang refleksi moral bersama, sekaligus sarana pendidikan karakter yang bermakna bagi individu maupun masyarakat luas.
Wuquf di Arafah: Momentum Refleksi Moral dan Pendidikan Karakter
Ibadah haji, khususnya wuquf di Arafah, merupakan puncak spiritualitas dalam ajaran Islam. Pada saat itu, jutaan jamaah dari berbagai bangsa, ras, dan status sosial berkumpul di Padang Arafah, menanggalkan seluruh atribut duniawi, serta berdiri sama di hadapan Allah SWT sebagai makhluk yang lemah dan bergantung kepada-Nya. Nadia Caidi (2019) menyebut pengalaman spiritual ini sebagai transformational lived religion, yakni proses keberagamaan yang tidak hanya bersifat ritualistik, tetapi juga mampu mengubah cara pandang, perilaku, dan komitmen moral para pelakunya. Dalam konteks ini, wuquf di Arafah bukan sekadar ritual ibadah, melainkan momentum strategis untuk membangun kesadaran etik, memperdalam nilai-nilai kemanusiaan, dan meneguhkan komitmen integritas sosial.
Lebih jauh, Uswatun Hasanah (2023) menegaskan bahwa prosesi wuquf sejatinya dapat dimaknai sebagai laboratorium pendidikan karakter yang sangat efektif. Di dalamnya, jamaah dilatih untuk mengendalikan diri, menanamkan kejujuran, menjaga amanah, serta memiliki keberanian moral dalam menolak segala bentuk kemungkaran. Wuquf menjadi titik balik penting dalam kehidupan seorang Muslim, di mana refleksi diri dilakukan secara mendalam, niat ditata ulang, dan relasi sosial diperbaiki berdasarkan prinsip keadilan, kejujuran, serta kepedulian terhadap sesama. Nilai-nilai moralitas yang terbangun di Padang Arafah inilah yang seharusnya terus diinternalisasi dan diimplementasikan dalam perilaku sehari-hari, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun dalam ruang-ruang publik.
Temuan serupa juga diungkapkan oleh M. Zulfa (2015), yang melalui risetnya menunjukkan bahwa aspek spiritual dan psikologis dalam prosesi wuquf memiliki peran signifikan dalam membangun kesadaran moral dan komitmen etis para jamaah haji. Kesadaran tersebut tidak hanya terbatas saat pelaksanaan ibadah, melainkan berpotensi menjadi bekal penting dalam membentuk perilaku sosial yang lebih bermartabat. Jika nilai-nilai ini berhasil dibawa pulang dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam ranah penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik, maka upaya pencegahan korupsi dapat dilakukan secara lebih fundamental — yakni dari hulu, melalui pembentukan karakter pribadi yang bermoral dan berintegritas.
Berangkat dari dimensi spiritual dan reflektif yang terkandung dalam prosesi wuquf di Arafah, nilai-nilai moral yang dibentuk dalam momen tersebut sejatinya dapat dijabarkan lebih konkret sebagai fondasi karakter pendidikan karakter. Nilai-nilai ini tidak hanya bersifat personal, tetapi juga relevan dalam membentuk etos sosial yang adil, bersih, dan berkeadaban. Dalam konteks ini, penting untuk mengidentifikasi dan mengartikulasikan nilai-nilai pendidikan karakter pendidikan karakter yang secara implisit terkandung dalam ritual wuquf, sebagaimana dijabarkan berikut ini.
Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Wuquf di Arafah
Prosesi wuquf di Arafah tidak hanya memiliki dimensi spiritual, tetapi juga memuat pesan-pesan moral yang kuat, yang relevan untuk membangun karakter pendidikan karakter dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setidaknya terdapat enam nilai utama yang dapat diinternalisasi dari praktik ini. Pertama, kejujuran dan amanah. Wuquf mendorong jamaah untuk berani bersikap jujur, tidak hanya kepada Allah SWT, tetapi juga dalam interaksi sosial, termasuk dalam menjaga kepercayaan publik yang merupakan pilar utama tata kelola yang bersih. Nilai ini menjadi modal sosial penting dalam melawan budaya manipulatif dan penyalahgunaan kekuasaan.
Kedua, pengendalian diri (self-control). Dalam kondisi berkumpul di Padang Arafah yang serba terbatas dan menantang, jamaah dididik untuk menahan amarah, mengekang nafsu kekuasaan, serta menolak dorongan melakukan penyimpangan. Latihan spiritual ini memiliki implikasi langsung terhadap kemampuan seseorang untuk menahan diri dari praktik-praktik koruptif, yang sering kali berakar dari ketidakmampuan mengendalikan hawa nafsu.
Ketiga, introspeksi diri (muhasabah). Wuquf menjadi waktu terbaik bagi jamaah untuk melakukan evaluasi total atas kualitas amal, moral pribadi, dan komitmen sosialnya. Praktik muhasabah ini penting untuk membangun kesadaran etis, mengidentifikasi potensi penyimpangan, dan menetapkan komitmen perbaikan moral yang konsisten, khususnya bagi mereka yang memiliki peran publik.
Keempat, kesetaraan dan kemanusiaan. Di Arafah, semua jamaah berdiri dalam posisi yang sama tanpa sekat status, jabatan, atau kekuasaan. Nilai ini menumbuhkan empati sosial, solidaritas, dan kesadaran bahwa setiap manusia memiliki martabat yang sama di hadapan Allah SWT. Prinsip ini sejalan dengan nilai keadilan sosial yang menjadi fondasi utama dalam sistem pemerintahan yang pendidikan karakter.
Kelima, kepatuhan kepada hukum ilahi. Wuquf mengajarkan pentingnya ketaatan terhadap syariat, yang menjadi rujukan moral dan etis dalam bertindak. Kepatuhan ini tidak hanya berlaku dalam konteks ibadah ritual, tetapi juga harus terimplementasi dalam tindakan sosial dan kebijakan publik. Integritas pribadi dan kepatuhan terhadap hukum ilahi menjadi benteng utama melawan godaan korupsi.
Keenam, solidaritas sosial dan inklusivitas. Momentum Arafah mengajarkan pentingnya keberpihakan terhadap nilai keadilan, penolakan terhadap diskriminasi, serta kepedulian terhadap kelompok rentan. Spirit ini penting untuk membangun sistem sosial yang bersih, adil, dan berpihak pada kepentingan bersama, sehingga dapat menekan praktik korupsi yang sering kali bersumber dari ketimpangan sosial dan eksklusivisme kekuasaan.
Nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin yang terkandung dalam prosesi wuquf di Arafah, sebagaimana dijelaskan Hidayat (2020), menjadikan ibadah haji sebagai media pembentukan empati sosial, keadilan, dan keberanian moral untuk menolak kemungkaran, sehingga wuquf tidak hanya ritual spiritual tetapi juga sarana pendidikan karakter pendidikan karakter yang strategis dalam konteks pribadi dan sosial-politik. Bila dikelola secara sistematis, nilai kejujuran, amanah, pengendalian diri, dan solidaritas sosial dari wuquf dapat menjadi fondasi penting bagi gerakan moral nasional untuk mencegah korupsi, khususnya dalam situasi krisis integritas di Indonesia. Oleh karena itu, nilai-nilai tersebut harus ditransformasikan dari pengalaman spiritual personal menjadi gerakan sosial dan pendidikan publik yang berkelanjutan, dengan strategi konkret yang relevan dan kontekstual bagi masyarakat Indonesia kontemporer.
Menguatkan Gerakan Pendidikan Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Arafah
Momentum ibadah haji, khususnya prosesi Wuquf di Arafah, bukan hanya menjadi puncak spiritualitas umat Islam, tetapi juga ruang edukasi moral yang strategis bagi pembentukan karakter bangsa. Setiap tahun, lebih dari 210 ribu jamaah haji Indonesia, termasuk di dalamnya pejabat publik, aparatur sipil negara (ASN), legislator, dan tokoh masyarakat, hadir dalam peristiwa agung ini. Kehadiran mereka sesungguhnya membuka peluang besar untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter secara lebih efektif melalui pendekatan spiritualitas yang menyentuh kesadaran terdalam individu.
Untuk itu, diperlukan strategi penguatan gerakan pendidikan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Arafah yang terstruktur dan berkelanjutan. Pertama, pembiasaan nilai-nilai spiritual dan pendidikan karakter bagi ASN, pejabat publik, serta tokoh masyarakat perlu diintensifkan dengan menjadikan nilai kejujuran, amanah, pengendalian diri, dan tanggung jawab sosial dalam kegiatan sehar-hari yang bertumpu pada dimensi moral dan religiusitas personal.
Kedua, integrasi nilai-nilai pendidikan karakter berbasis spiritualitas ke dalam kurikulum pendidikan formal di sekolah, madrasah, pesantren, dan kampus menjadi langkah strategis yang tak terhindarkan. Pendidikan agama harus dikembangkan tidak sekadar menjadi pelajaran dogmatis, tetapi sebagai instrumen pembentukan karakter pendidikan karakter yang aplikatif di lingkungan sosial, politik, dan birokrasi.
Ketiga, penguatan materi khutbah haji dan bimbingan manasik dengan narasi nilai-nilai pendidikan karakter dapat menjadi medium dakwah efektif di tengah jamaah haji. Penyampaian pesan moral tentang pentingnya kejujuran, pengendalian diri, serta amanah dalam mengelola amanat publik dapat menjadi pengingat kolektif, terlebih bagi mereka yang memiliki otoritas kekuasaan.
Keempat, pelibatan para jamaah haji dalam gerakan moral masyarakat pasca ibadah haji juga penting untuk dioptimalkan. Para jamaah haji, sebagai individu yang telah mengalami momentum spiritual Arafah, dapat diarahkan menjadi agen perubahan di komunitasnya masing-masing, membawa semangat pendidikan karakter ke ruang-ruang sosial, keagamaan, dan birokrasi.
Langkah-langkah tersebut selaras dengan komitmen pemerintah dalam memperkuat tata kelola pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan berintegritas, sekaligus mendorong lahirnya masyarakat religius yang berkarakter. Dengan demikian, pendidikan karakter berbasis nilai Arafah diharapkan tidak sekadar menjadi agenda seremonial, tetapi menjelma sebagai gerakan moral yang mampu menjawab krisis integritas bangsa secara substansial dan berkelanjutan.
Ajakan Bersama
Gerakan pendidikan karakter tidak cukup hanya mengandalkan instrumen hukum semata, melainkan memerlukan kekuatan moral yang kokoh, komitmen spiritual yang mendalam, serta pendidikan karakter yang sistematis dan berkelanjutan. Wuquf di Arafah memberikan pelajaran penting tentang nilai kejujuran, pengendalian diri, dan amanah yang harus menjadi pondasi dalam setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai ini bukan hanya menjadi bekal spiritual bagi individu, tetapi juga modal utama untuk membangun integritas sosial dan moral dalam menghadapi tantangan korupsi yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, mari bersama-sama menjadikan ibadah haji, khususnya prosesi wuquf di Arafah, bukan sekadar ritual tahunan yang bersifat seremonial, melainkan titik tolak untuk membangun pendidikan karakter dan gerakan moral pendidikan karakter yang nyata dan berkelanjutan. Dengan mengaktualisasikan nilai-nilai luhur tersebut dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat mewujudkan Indonesia yang lebih bersih, adil, dan bermartabat. Semoga upaya ini menjadi langkah nyata dalam membangun bangsa yang berintegritas dan berkeadaban. *****Wallāhu a’lam bish-shawāb.
Dr. A. Umar, MA (Dosen FITK UIN Walisongo Semarang)