Setiap habis Subuh, suasana di sekitar hotel-hotel jemaah Indonesia di Mekkah berubah seperti pasar tumpah dadakan, seperti di depan hotel Alsoltiya Tower 1, Al-Ghadeer, Safa Almurja, dll di wilayah Syisa. Pinggir-pinggir jalan depan hotel yang awalnya sepi di siang atau malam hari, ketika subuh tiba seketika dipenuhi pedagang asongan yang datang membawa berbagai barang dagangan dengan gerobak atau bahkan mobil khusus, mulai dari telur rebus yang masih hangat, buah-buahan segar, lauk pauk khas rumahan, sampai gamis, surban, baju anak-anak, tasbih, hingga tas untuk mengemas belanjaan yang kian menumpuk.
Para pedagang kaki lima menjajakan dagangannya dengan cara yang unik untuk mencuri perhatian. Wajah pedagang itu khas Asia Selatan—kebanyakan berasal dari Bangladesh (Banggali). Tapi mereka seperti sudah menyatu dengan irama Mekkah. Memahami anatomi lokasi pemondokan dan saat-saat polisi lokal melakukan patroli. Juga mereka memahami kapan para jemaah luang untuk berbelanja. Logat jualan mereka terdengar luwes saat memanggil pembeli: “Ayo beli… murah… seratus, dua ratus… diskon! Diskon!”.
Yang agak lucu, para pedagang “kambuhan” ini sering “kucing-kucingan” dengan polisi setempat. Mereka membawa semacam gerobak khas Arab Saudi, atau bahkan sekedar menggelar semacam kain kotak-kotak sebagai alas dagangan. Begitu ada razia polisi, mereka kabur menghindar. Tak sedikit pula toko-toko permanen di sekitar pemondokan Mekkah memasang papan nama: Toko Indonesia. Penamaan Toko Indonesia sebagai upaya daya tarik penjualan untuk calon pembeli dari jemaah Indonesia.
Para pedagang asongan maupun Toko Indonesia juga “pandai” berbahasa Indonesia, meski patah-patah. Mereka tahu betul kelemahan jemaah haji Indonesia soal keterbatasan bahasa asing, khususnya Arab. Karena itu, kata-kata sakti untuk memikat hati jemaah Indonesia disampaikan berulang-ulang hingga banyak jemaah datang. Mereka tidak sekadar menjual barang, namun juga memahami selera dan budaya konsumennya. Di sana, jemaah hilir-mudik membawa kantong plastik, kadang kardus besar, penuh belanjaan.
Jemaah haji perempuan asal Sengkang, Hasna La Sake Beddu, embarkasi UPG adalah salah satu jemaah haji Indonesia yang “aktif” belanja di sekitar hotel. Bahkan saat ditanya apakah kopernya sudah penuh? dia menjawab: “sudah, bahkan kemarin saya sudah kirim kargo 40 Kg ke rumah (tanah air) melalui Pos Indonesia”, tegasnya dengan bangga.
Hal sama juga dilakukan jemaah haji asal Lampung, dimana ia setiap pagi pasti belanja ke pedagang asongan di sekitar hotel. “Habis belanja bu?”, tanya saya sambil jalan. “Iya mas, saya dari Lampung. Saya seneng ada padagang di sini. Jadi saya lebih mudah cari oleh-oleh, dan juga cari makanan dan buah-buahan”, jawabnya sumringah.
Lalu, fenomena apa itu? Sekilas, semuanya tampak seperti gejala konsumerisme. Seolah-olah, jemaah Indonesia begitu gemar belanja hingga tak bisa menahan diri. Namun, kalau kita tilik lebih dalam, apa yang mereka beli bukan semata untuk diri sendiri. Belanjaan itu kebanyakan akan dibagikan. Buah tangan. Oleh-oleh. Hadiah untuk tetangga, kerabat, teman kantor, hingga pengurus masjid di kampung halaman. Ada semacam kebahagiaan tersendiri saat bisa membagikan sesuatu yang “dari Tanah Suci”.
“Saya sudah siapkan dana oleh-oleh sejak dari rumah,” kata Bu Lilis, jemaah asal Garut. “Bukan soal belanja karena lapar mata, tapi karena saya ingin keluarga di rumah juga ikut merasakan berkah dari Tanah Haram. Meski cuma sajadah atau kurma, mereka pasti senang.”
Demikian juga Pak Sabar dari Tulungagung, bahkan sudah mencicil pengiriman belanjaannya. “Sudah dua kali saya kirim lewat Pos Indonesia. Supaya nanti nggak terlalu berat bawanya waktu pulang,” ujarnya dengan bangga. “Ini bukan foya-foya, ya. Ini buat cucu-cucu, tetangga, dan ustaz di langgar kampung.”, katanya.
Banyak dari mereka memang sudah menyiapkan anggaran khusus untuk oleh-oleh ini. Mereka sadar, harga-harga di Mekkah tidak selalu murah. Mereka belanja dengan uang riyal tidak terasa mahal. Tapi bukan soal murah atau mahal. Yang penting, ada sesuatu yang bisa dibagikan saat pulang nanti. Bahkan layanan Pos Indonesia sampai membuka konter khusus di lobi hotel untuk memfasilitasi pengiriman belanjaan ke tanah air. Jemput bola, karena tahu betapa seriusnya urusan oleh-oleh ini bagi jemaah Indonesia.
Semangat berbagi oleh-oleh dalam jumlah banyak inilah yang mungkin menjadi kekhasan jemaah haji Indonesia. Ini berkesuaian dengan sebuah hasil penelitian tentang berbagi dapat meningkatkan kebahagiaan lebih dari membelanjakan untuk diri sendiri. Contohnya adalah penelitian Dunn, Aknin, & Norton (2008). Hasil termuannya bahwa orang yang membelanjakan uang untuk orang lain (misalnya, memberi hadiah atau berdonasi) melaporkan adanya tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang menggunakannya untuk diri sendiri.
Sementara menurut penelitian Nelson et al. (2016) tentang “Berbagi Meningkatkan Hubungan Sosial” menunjukkan bahwa berbagi, seperti memberi hadiah atau membantu teman dapat memperkuat hubungan sosial, yang merupakan salah satu faktor utama kebahagiaan jangka panjang.
Di sinilah kita melihat sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar konsumsi bagi jemaah haji Indonesia. Di balik gemar belanja itu, tersimpan watak khas jemaah Indonesia, jiwa berbagi. Mereka tidak hanya membawa pulang pengalaman spiritual dari Mekkah, tetapi juga membawa semangat memberi, merawat silaturahmi, dan menanamkan rasa syukur lewat hadiah kecil yang mereka bawa pulang.
Pasar tumpah habis Subuh di sekitar hotel di Mekkah itu bukan hanya tentang jual-beli. Ia adalah cermin dari watak sosial yang solider, ramah, dan penuh empati. Dan mungkin, di tengah hiruk-pikuk dunia yang makin individualistis, jemaah Indonesia diam-diam sedang memberi pelajaran, bahwa berbagi itu indah, bahkan dalam wujud sekantong kurma atau sehelai sajadah kecil dari Tanah Haram.
Itulah gambaran keunikan jemaah Indonesia. Selain jumlahnya banyak, lebih dari 200 ribu jemaah, mereka memiliki tradisi dan budaya khas yang mudah dikenali. Selain kesukaan belanja, mereka sering mengenakan baju khas nusantara, kopiah, gamis, jilbab, sarung, dan terlihat sering berkerumun untuk sekedar ngobrol sambil merokok dan ngopi. Unik, ramah, dan jumlahnya banyak. Itulah Indonesia.[]