Dengan lebih dari 270 juta jiwa, Indonesia adalah salah satu negara paling religius di dunia. Berdasarkan Survei Pew Research Center pada 2025, ditegaskan bahwa 93 persen penduduk Indonesia menganggap agama sebagai pilar utama kehidupan mereka. Masjid, gereja, vihara, dan pura menjadi pusat kegiatan sosial dan spiritual sehari-hari.
Data ini mencerminkan kekuatan iman masyarakat Indonesia yang cukup mengakar. Agama bukan hanya dijalankan sebagai praktik spiritual, lebih dari itu, agama juga bagian dari identitas nasional Indonesia. Sebagian besar mesyarakat Indonesia merasa bahwa menjadi manusia beragama sama halnya menjadi bagian penting dari identitas ke-Indonesia-annya. Poin besarnya, masyarakat Indonesia adalah pemeluk teguh agama yang diyakini masing-masing.
Sayangnya, kekuatan iman yang cukup tinggi tersebut tidak terhubung dengan tingkat kepedulian terhadap isu lingkungan, khususnya perubahan iklim. Kesadaran tentang perubahan iklim umat beragama justru berada di titik terendah. Hal ini dapat disimak dari hasil survei Pew Research 2025 yang juga mengungkap bahwa hanya 42 persen umat beragama di Indonesia yang menganggap perubahan iklim sebagai ancaman serius.
Relijius Tinggi, Kehawatiran Rendah
Pew Research 2025 telah menyajikan hasil temuannya, dan hal ini cukup memprihatinkan mengingat beberapa hal. Pertama, kesepakatan umat beragama di tingkat atas. Ditandatanganinya Deklarasi Istiqlal tahun 2024 yang berisi kesepakatan dan komitmen lintas agama yang diupayakan untuk memajukan perdamaian, kemanusiaan, dan pelestarian lingkungan, khususnya upaya menghadapi perubahan iklim.
Diinisiasi oleh Imam Besar Masjid Istiqlal dan Paus Fransiskus, serta dihadiri semua perwakilan umat beragama dan penganut kepercayaan, Deklarasi Istiqlal adalah momentum penting kesepahaman dan kesepakatan seluruh umat beragama menghadapi dua krisis utama yang dihadapi secara global, yakni dehumanisasi dan perubahan iklim. Deklarasi Istiqlal 2024 patut dilihat sebagai komitmen penting umat beragama dalam merespons perkembangan, namun hal tersebut tidak berlaku saat ditanyakan tentang perubahan iklim.
Kedua, rilis resmi pemerintah terkait perubahan iklim. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam Climate Outlook 2025 memprediksi kenaikan suhu rata-rata dan potensi La Niña lemah yang dapat memperparah bencana banjir dan kekeringan. Rilis ini menekankan bahwa perubahan iklim tetap menjadi ancaman nyata, dengan peningkatan suhu global, curah hujan ekstrem, dan risiko bencana hidrometeorologi yang terus meningkat. Di tengah ancaman di depan mata ini, mestinya umat beragama di Indonesia tampil menyuarakan perlunya kesadaran perubahan iklim.
Padahal, agama, dengan nilai-nilai etis dan moralnya, seharusnya menjadi motor penggerak kesadaran lingkungan. Dalam Islam, Al Qur’an (QS. Ar-Rum: 41) mengingatkan bahwa kerusakan di bumi adalah akibat ulah manusia, sekaligus panggilan untuk menjaga keseimbangan alam. Dalam tradisi Kristen, Kitab Kejadian tegas menegaskan peran manusia sebagai penatalayan bumi. Hindu dan Buddha pun menawarkan ajaran tentang harmoni dengan alam.
Ketiga, fatalisme relijius. Salah satu yang menyebabkan paradoks dan ambivalensi umat beragama dalam memandang persoalan perubahan iklim adalah kecenderungan fatalisme religius. Dengan fatalisme relijius, sebagian umat beragama menafsir bencana alam sebagai murni kehendak Tuhan yang tak dapat diubah. Survei Pew Research 2025 tentang sikap terhadap iklim mencatat bahwa 38 persen responden cenderung mengaitkan fenomena cuaca ekstrem dengan takdir ilahi daripada aktivitas manusia seperti emisi karbon. Pandangan ini melemahkan urgensi untuk bertindak, karena perubahan iklim dipandang sebagai sesuatu di luar kendali manusia.
Keempat, keteladanan salah arah. Pada Mei 2024, mantan Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang memungkinkan ormas agama memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) tanpa lelang, termasuk untuk batubara dan nikel.
Lewat peraturan pemerintah ini, ormas agama yang seharusnya menjadi teladan etika lingkungan seterusnya terlihat sebagai mitra pemerintah dalam ekspansi tambang. Menurut laporan yang diterbitkan oleh Kantor Layanan Proyek Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Office for Project Services, UNOPS, 2021) tambang berkontribusi 79 persen terhadap emisi gas rumah kaca (GRK). Di Indonesia, deforestasi akibat tambang nikel dan batubara melepaskan 2,24 miliar ton karbon per tahun (KLHK, 2025), sementara hilirisasi nikel, jika dihitung emisinya, bisa mencapai 500 kali lebih besar dari proses penambangan langsung (studi University of Queensland, 2025).
Kesepakatan ormas agama dengan negara memperburuk kondisi di lapangan dan membingungkan umat karena menumbuhkan kontradiksi sangat nyata. Ketika pemuka agama terlibat dalam tambang batubara, pesan “jaga bumi sebagai amanah Tuhan” menjadi kurang kredibel. Kesepakatan ini juga seperti “menusuk punggung” berbagai gerakan yang telah membangun kesadaran umat, di antaranya melalui inisiasi wakaf hutan dan Zakat, Infaq, dan Sadaqah (ZIS) untuk transisi energi.
Ketidakpercayaan Relijius
Berbagai kondisi tersebut mengakibatkan tumbuhnya ketidakpercayaan relijius (religious distrust) di mana umat melihat agama sebagai bagian dari sistem yang mendukung emisi, bukan melawannya. Semua pihak seyogianya tidak boleh diam. Sudah terlanjur menerima konsesi tambang, ormas keagamaan harus prioritaskan green mining, seperti teknologi rendah karbon, reklamasi lahan, dan keterlibatan masyarakat lokal.
Selain itu, penguatan nalar beragama yang berdampak sosial juga penting, misal dengan integrasi etika iklim dalam khotbah keagamaan yang mendorong tumbuhnya wakaf hutan dan fatwa lebih tegas tentang anti-tambang yang destruktif.
Dalam upaya tersebut, kolaborasi dengan pemerintah harus transparan, bukan sekadar konsesi. Umat beragama dengan religiusitas tinggi seperti Indonesia memiliki potensi besar namun butuh kepemimpinan moral yang konsisten. Saat agenda Conference of Parties (COP) 30 2025 di Belem, Brazil mendekat, kesepakatan seperti ini harus dievaluasi ulang demi kredibilitas agama sebagai agen perubahan, bukan sekadar mitra ekonomi. Krisis iklim pada dasarnya adalah juga ujian iman. Tentu saja semua pihak berkepentingan agar realitas dan kontradiksi tidak meruntuhkannya.
Saiful Maarif (penulis bekerja di Ditjen Pendidikan Islam)
Opini ini telah ditayangkan di Kompas.id pada 19/9/2025, https://www.kompas.id/artikel/paradoks-umat-beragama-dalam-memandang-perubahan-iklim?open_from=Opini_Page
