Fadhly Azhar (ASN Ditjen Pendidikan Islam)
Ketika bangsa ini merayakan Hari Lahir Pancasila setiap 1 Juni, pertanyaan mendasar yang layak diajukan adalah: siapa penjaga nilai-nilai Pancasila dalam keseharian masyarakat? Di luar ruang-ruang formal negara, pesantren hadir sebagai penjaga nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila—bukan dalam bentuk pidato, melainkan dalam bentuk laku luhur kehidupan.
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren telah lama berperan tidak hanya dalam mendidik umat, tetapi juga menanamkan nilai kebangsaan, kemanusiaan, dan persatuan. Pesantren tidak lahir dari ruang steril, tetapi dari realitas sosial yang penuh dinamika—kemiskinan, ketimpangan struktural, kolonialisme modern, hingga pluralisme budaya.
Pancasila dan Laku Luhur Pesantren
Lima sila Pancasila sesungguhnya telah lama terpatri dalam nilai-nilai pesantren. Tauhid dan ajaran akhlak membentuk fondasi spiritual santri, yang sejalan dengan sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Pendidikan adab, empati kepada sesama, dan pengabdian kepada masyarakat mencerminkan sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam kehidupan asrama, pesantren melatih santri hidup bersama dalam keberagaman suku dan latar daerah. Inilah bentuk nyata dari Persatuan Indonesia. Sementara itu, pengambilan keputusan di pesantren—baik oleh dewan asatidz maupun musyawarah antar santri—mencerminkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Di banyak pesantren juga berkembang koperasi santri, pertanian organik, dan usaha mandiri yang menunjukkan pengejawantahan keadilan sosial.
Pesantren dan Sejarah Kebangsaan
Sejarah mencatat, banyak tokoh pendiri bangsa lahir dari rahim pesantren. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, tak hanya ulama besar, tetapi juga pejuang kemerdekaan. Gus Dur, cucunya, bahkan membawa nilai-nilai pesantren hingga ke istana negara, menegaskan bahwa Islam dan nasionalisme tidak perlu dipertentangkan.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, pesantren menjadi pusat perlawanan terhadap penjajah. Setelah Indonesia merdeka, pesantren menjadi penopang utama pendidikan masyarakat akar rumput. Di masa Orde Baru, ketika Pancasila dijadikan alat kontrol politik, pesantren justru tampil sebagai ruang otentik penyemaian nilai-nilai luhur bangsa.
Tantangan Kekinian dan Peran Strategis
Di era digital, pesantren menghadapi tantangan baru: arus ideologi transnasional yang intoleran, degradasi moral remaja, dan tantangan kemandirian ekonomi. Namun, banyak pesantren telah merespons secara progresif. Pesantren Al-Ittifaq di Ciwidey mengembangkan agrobisnis modern berbasis koperasi. Pesantren Tebuireng digitalisasi literatur klasik (turats) agar lebih mudah diakses generasi muda. Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, bahkan merancang pendidikan inklusif untuk penyandang disabilitas.
Inovasi-inovasi ini adalah wujud nyata Pancasila dalam bentuk praksis: keadilan sosial, musyawarah, dan keberpihakan pada kelompok rentan. Santri hari ini tidak hanya belajar fikih dan tafsir, tetapi juga jurnalistik, teknologi informasi, dan kewirausahaan. Ini membuktikan bahwa pesantren mampu menjadi agen perubahan sekaligus penjaga nilai-nilai kebangsaan.
Menguatkan Sinergi Pesantren dan Negara
Negara telah menunjukkan pengakuan formal terhadap pesantren melalui UU No. 18 Tahun 2019. Namun pengakuan saja tidak cukup. Diperlukan keberpihakan nyata yang berupa fasilitasi perancangan anggaran berdasarkan fungsi dakwah dan pemberdayaan masyarakat, kurikulum Pancasila berbasis budaya lokal, serta pelibatan pesantren dalam agenda strategis seperti toleransi, ketahanan lingkungan, pangan, pendidikan karakter, dan dakwah terapan ekoteologis-kemanusiaan
Penting juga bagi aparatur pemerintahan untuk tidak berfikir melembagakan nilai Pancasila secara kaku. Pancasila, bagaimanapun adalah Kumpulan saham kebaikan dan perjuangan dari berbagai golongan bangsa. Salah satunya, Pesantren. Biarkan pesantren merawat nilai-nilai itu dengan pendekatannya sendiri—kultural, sufistik, dan penuh teladan. Seperti kata Gus Mus: “Pancasila itu bukan untuk dihafal, tapi dihayati. Dan pesantren tempat terbaik untuk itu.”
Dari Pesantren untuk Indonesia
Pesantren adalah laboratorium hidup Pancasila. Di sana, keimanan dan kebangsaan berpadu. Di sana, kemanusiaan dan persatuan diajarkan dengan penuh hikmah. Di sana pula, masa depan Indonesia yang adil dan beradab sedang disiapkan.
Pancasila yang diiringi dengan pelukan laku luhur pesantren bukan hanya bertahan—tetapi tumbuh menjadi pelita peradaban yang menjaga akar, menyalakan cahaya, dan mengarahkan langkah bangsa.
Fadhly Azhar (ASN Ditjen Pendidikan Islam)