Judul Buku: Nexus: A Brief History of Information Networks from the Stone Age to AI
Penerbit: Random House
Jumlah Halaman: 528 hal
ISBN 13: 978-0593734223
Pada pertengahan tahun 2000-an, Haedar Nashir berbicara di depan Forum Guru Besar Muhammadiyah (FGBM) tentang Yuval Noah Harari. Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini berbicara terkait kontroversi pemikiran yang disajikan oleh Yuval Noah Harari lewat buku-bukunnya, yakni Sapiens: A Brief History of Humankind (2011) dan Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2015). Ketua Umum PP Muhammadiyah ini mengetengahkan berbagai pemikiran Harari yang mengentak, di antaranya, seperti yang disampaikannya dalam buku Sapiens, tentang revolusi.
Revolusi yang dimaksud Harari adalah revolusi kognitif, revolusi agrikultur, hingga revolusi ilmiah. Dalam kaitan tersebut, Harari membagi realitas menjadi dua, yaitu realitas objekif dan realitas fiksi. Bagi Harari, agama, politik, dan ekonomi adalah realitas fiksi. Harari ‘konsisten” tidak percaya Tuhan. Tuhan, katanya, adalah realitas yang sangat rumit dipahami dan produk imajiner manusia. Sementara itu, manusia, hewan, dan tumbuhan adalah realitas objektif.
Saat berbicara tentang masa depan manusia, menurut Harari, dikatakan bahwa manusia memiliki kemampuan luar biasa hingga mampu merekayasa banyak hal. Manusia telah menjadi homo deus ketimbang homo sapiens, salah satunya dibuktikan dengan kemampuan rekayasa genetika dan kecerdasan buatan telah memungkinkan mereka hidup selama 500 tahun. Berbagai provokasi akademik Harari lewat bukunya mudah ditemui di toko buku hingga kini. Artinya, pemikiran Harari tetap memancing rasa ingin tahu masyarakat setelah sekian lama mengguncang kesadaran dan pengetahuan dan toko buku dengan kreatif mampu mengolahnya.
Kini ia hadir dengan buku baru, Nexus: A Brief History of Information Networks from the Stone Age to AI (2024). Lewat buku ini, Harari berupaya mengeskplorasi evolusi jaringan informasi dalam sejarah manusia. Oleh karenanya, ia memulai petualangan dari Zaman Batu hingga era Artificial Intelligent. Ia mengkombinasikan wawasan sejarah, perspektif filosofis, dan narasi teks yang mudah dipahami ke dalam buku baru ini. Ia menggedor kesadaran pembaca dalam merenungkan secara mendalam bagaimana arus dan aliran informasi telah mampu membangun peradaban manusia sekaligus tantangannya di masa depan.
Buku Nexus adalah mengenai perjalanan panjang sejarah manusia, itulah mengapa buku ini ditulis cukup tebal (528 hal). Nexus dimulai dari kemunculan homo sapiens dan interaksinya dengan beragam jenis manusia purba. Sejarah kemudian begitu dinamis saat perjumpaan narasi Harari dengan perkembangan teknologi mutakhir, sebut misalnya Neuralink (implan yang memungkinkan pengguna berkomunikasi dengan komputer hanya melalui pikiran) dan dampak AI terhadap masa depan peradaban manusia.
Dari tuturan historis yang disampaikannya, terdapat afirmasi penting yang dapat direnungkan bersama. Harari seperti mengajak pembaca pada dimensi moral dari “pelajaran” sejarah hasil tuturannya. Sejarah dalam perspektif Harari mengajarkan bahwa selalu ada konsekuensi etis dan moral dalam setiap tindakan yang diambil. Singkatnya, jika kerusakan yang dibuat dan dikaryakan pada saat ini, misalnya, manusia patut mengingat bahwa kelak mereka akan dicatat sebagai perusak itu sendiri.
Harari seperti mengingatkan pentingnya pertimbangan moral atas beragam capaian kemanusiaan yang pada akhirnya menghiasi kesejarahan manusia. Ia juga menantang kita sebagai manusia untuk merenungkan pilihan-pilihan kita dalam berkeputusan dan seterusnya mencatatkan sejarah (Darius Sporzynski, 2024). Di titik ini, ia selayaknya paripurna sebagai provokator sejarah manusia.
Secara umum, Harari membagi buku Nexus: A Brief History of Information Networks from the Stone Age to AI ke dalam tiga bagian utama. Di bagian awal, Nexus berupaya mendalami sistem komunikasi awal yang dikembangkan manusia. Dalam upaya ini, Nexus menggambarkan dasar-dasar peradaban manusia yang, di antaranya, disokong oleh peninggalan-peninggalan pada lukisan gua dan bermacam simbol tulisan kuno. Dalam kaitan ini Harari berargumen bahwa informasi bukan hanya sekadar representasi kebenaran, melainkan juga bagian dari upaya manusia untuk membangun konektivitas dengan yang lebih besar.
Di zaman modern, informasi mengalami evolusi besar-besaran. Informasi telah berubah sedemikian rupa dengan berbagai produk manusia dalam menerjemahkan upaya mereka memahami konteks informasi dalam bentuk mesin cetak, telegraf, telepon, radio, hingga internet. Bukan hanya merubah cara manusia berkomunikasi, beragam teknologi temuan manusia tersebut juga memengaruhi secara signifikan struktur kekuasaan, ekonomi, politik, dan norma budaya. Di bagian dua ini, Harari terlihat mulai gelisah dengan perkembangan informasi.
Ia, misalnya, risau dengan kemenduaan jaringan informasi karya manusia yang lazim dikenal dengan teknologi. Kemenduaan tersebut adalah bahwa pada praktiknya teknologi dapat disalahgunakan. Satu sisi, teknologi dapat membebaskan manusia dari ketidakmampuan mereka. Dari semula tidak mampu menjangkau dimensi lain, teknologi mampu melakukannya dan manusia akhirnya mengambi manfaat darinya. Namun begitu, informasi pada saat yang sama juga dipakai sebagai alat penindasan dan propaganda.
Di bagian akhir, yang disebut inti dari Nexus, Harari membahas dampak AI terhadap jaringan informasi. Keras, ia menyebut perkembangan AI sebagai “kecerdasan alien” karena memiliki kuasa di luar kendali manusia dan memiliki ancaman terhadap otonomi manusia. Harari menilai, Artificial Intelligent mampu menjadi entitas dan mampu memerankan diri menjadi alat kontrol sosial. Di titik ini, Harari malah meyakini AI mampu memerankannya jauh lebih efektif ketimbang manusia yang menciptakan AI. Dengan segala kecanggihannya, Harari menilai AI mampu menciptakan pesaing baru, bahkan lebih, dalam kontestasi dengan manusia. AI pada akhirnya akan menjadi makhluk baru yang menggantikan kedaulatan manusia.
Membaca Nexus seperti membaca masa depan dengan penuh cemas. Nexus seperti kabar buruk yang menghantam tugas dan hakikat kemanusiaan. Ia hadir semata mengetengahkan skenario buruk tumpas dan berhentinya kemanusiaan, digantikan Artificial Intelligent (AI). Di titik kegamangan ini, Harari kurang lebih bersemangat sama sebagaimana yang disuarakan Mustafa Suleyman dalam bukunya, The Coming Wave (2023). Harari dan Suleyman berhak mengabarkannya karena tugas akademik dan ilmuwan yang disandangnya. Karena tugas akademik inilah, Daren Acemoglu, misalnya, peraih Penghargaan Nobel Bidang Ekonomi Tahun 2024, memiliki pandangan yang sama sekali berbeda dengan Yuval Noah Harari dan Mustafa Suleyman.
Penulis buku Why Nation Fail: The Origins of Power Prosperity anda Poverty (2013) ini berpendapat bahwa AI tidak semengerikan yang dibayangkan banyak orang. Meski sama-sama bersifat prediktif, ekonom dan dosen di Massachusetts Institute of Technology (MIT) ini berpandangan bahwa AI hanya akan mengambil 5 persen tugas manusia dan hanya menambah 1% PDB global selama dekade berikutnya. Prasyarat dan kondisi ia wajibkan, yakni para pemimpin perlu memperhatikan bagaimana investasi terhadap AI dijalankan.
Saiful Maarif (bekerja pada Ditjen Pendidikan Islam)