Nepal baru saja membuat langkah balik yang dramatis dalam kebijakan digitalnya. Setelah sempat memblokir akses ke 26 platform media sosial populer seperti Facebook, Instagram, YouTube, dan X, pemerintah akhirnya mencabut larangan tersebut pada Senin malam.
Dilansir dari Techcrunch, Rabu (10/9/2025), keputusan ini muncul sebagai respons langsung terhadap gelombang protes besar-besaran yang dipimpin oleh generasi muda, terutama Gen Z, yang turun ke jalan menuntut kebebasan berekspresi di ruang digital.
Larangan tersebut diberlakukan menyusul arahan resmi pada 25 Agustus yang mewajibkan perusahaan media sosial asing untuk mendaftarkan operasional mereka di Nepal dan menunjuk perwakilan lokal dalam waktu tujuh hari.
Ketika sebagian besar platform gagal memenuhi tenggat waktu tersebut, pemerintah mengambil langkah ekstrem dengan memutus akses secara nasional. Namun, langkah ini justru memicu kemarahan publik yang meluas, terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa yang menjadikan media sosial sebagai ruang utama untuk belajar, berkomunikasi, dan menyuarakan pendapat.
Senin malam menjadi titik balik. Menteri Komunikasi dan Teknologi Informasi Nepal, Prithvi Subba Gurung, mengumumkan bahwa larangan tersebut resmi dicabut. Pernyataan ini disampaikan hanya beberapa jam setelah ribuan demonstran, banyak diantaranya siswa berseragam sekolah, memenuhi jalan-jalan di berbagai kota.
Protes damai yang awalnya bertujuan untuk menuntut akses kembali ke media sosial berubah menjadi bentrokan keras dengan aparat keamanan, mengakibatkan sedikitnya 19 korban jiwa dan lebih dari 100 orang luka-luka, menurut laporan media lokal.
Perdana Menteri Nepal, KP Sharma Oli, dalam pernyataan resminya menyebut bahwa kekerasan terjadi akibat infiltrasi oleh kelompok tertentu. Namun, ia menegaskan bahwa pemerintah tidak pernah menolak aspirasi generasi muda. Pernyataan ini dianggap sebagai upaya untuk meredakan ketegangan sekaligus mengakui bahwa suara publik, terutama dari generasi digital-native, tidak bisa lagi diabaikan.
Reaksi internasional terhadap larangan ini pun tak kalah keras. Organisasi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Amnesty International menyuarakan keprihatinan mereka atas pembatasan kebebasan berekspresi dan hak berkumpul secara damai.
Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia menyerukan kepada pemerintah Nepal untuk menghormati hak-hak dasar warga, terutama dalam konteks digital yang semakin penting dalam kehidupan sehari-hari.
Menariknya, tidak semua platform terkena dampak larangan. TikTok dan Viber, misalnya, tetap dapat diakses karena telah memenuhi persyaratan pemerintah dan terdaftar secara lokal. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut bukan semata-mata soal pemblokiran, tetapi bagian dari strategi regulasi yang lebih luas terhadap platform digital asing.
Larangan media sosial ini juga menjadi bagian dari rangkaian kebijakan yang lebih besar. Awal tahun ini, pemerintah Nepal mengusulkan rancangan undang-undang media sosial yang kontroversial, yang masih menunggu persetujuan parlemen.
RUU tersebut mencakup ancaman hukuman penjara dan denda bagi unggahan yang dianggap bertentangan dengan kepentingan nasional. Federasi Jurnalis Internasional menyebut bahwa usulan ini berpotensi merusak kebebasan pers dan ekspresi digital secara signifikan.
Kejadian ini menjadi pengingat bahwa media sosial bukan lagi sekadar platform hiburan, tetapi telah menjadi ruang publik yang vital dalam demokrasi modern. Ketika akses terhadapnya dibatasi, masyarakat terutama generasi muda akan bergerak.
Nepal kini menghadapi tantangan besar: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan akan regulasi digital dengan komitmen terhadap kebebasan sipil. Dan yang lebih penting, bagaimana memastikan bahwa suara rakyat tetap menjadi kompas utama dalam setiap kebijakan teknologi.