Audiensi Tim Pengelola Program Makan Bergizi Gratis (MBG) NTT
Kupang (Kemenag) — Di Nusa Tenggara Timur (NTT), hidup kearifan lokal yang begitu luhur: rasa saling menghormati dalam keberagaman. Di bumi Flobamora (sebutan manis untuk NTT), di mana langit biru menyatu dengan laut yang tenang, dan kampung-kampung menjalin persaudaraan lintas agama, toleransi bukan sekadar cita-cita—melainkan kenyataan yang berdenyut dalam kehidupan sehari-hari.
Di sini, di Nusa Tenggara Timur, Moderasi Beragama tidak dibentuk oleh narasi besar dari atas, dari meja-meja seminar, tapi tumbuh secara organik dari bawah—dari perjumpaan antarwarga, dari gotong royong membangun kapela dan musholla, dari tawa bersama saat panen dan dari duka bersama saat kedukaan datang.
Dalam sebuah pesta syukur di rumah warga Katolik, misalnya, sudah menjadi hal lumrah bahwa tuan rumah akan mengundang seorang juru sembelih halal dari Masjid dan ibu-ibu dari majelis taklim untuk menyiapkan makanan bagi saudara-saudara Muslim. Saat hidangan disiapkan, selalu ada dua tempat makan—satu untuk umum, dan satu lagi dengan tanda khusus: “Halal untuk saudara Muslim”. Yang punya acara tidak sekadar melayani tamu; mereka melayani kemanusiaan.
Ketika perayaan Natal tiba, umat Muslim, Hindu, dan Buddha turut membantu mengatur lalu lintas di depan gereja, menjaga keamanan, bahkan ikut membagikan air minum kepada umat yang hadir. Begitu pun sebaliknya, saat gema takbir membahana menyambut Idulfitri, saudara-saudari beragama Katolik, Kristen, Hindu dan Buddha tak segan membantu menyiapkan tenda, mengatur parkiran, atau bahkan menjaga anak-anak yang bermain di halaman masjid. Ini bukan hanya kerja sama sosial, melainkan ekspresi cinta antariman.
Tentang indahnya kerukunan di NTT, seorang tokoh adat di Sumba Timur pernah berkata dengan sederhana, “Kalau kita satu kampung, maka kita satu hati.” Ungkapan ini seolah menjadi mantra tak tertulis yang membentuk cara hidup masyarakat NTT. Tak berlebihan jika nilai ini diperkokoh dalam prinsip Latin: “Concordia res parvae crescunt” — “Dengan persatuan, hal-hal kecil akan bertumbuh menjadi besar.”
Nilai inilah yang mendorong Tim Pengelola Program Makan Bergizi Gratis (MBG) Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk mengambil langkah luar biasa: memastikan bahwa makanan yang disajikan bagi para siswa tidak hanya sehat dan bergizi, tetapi juga sesuai dengan prinsip keimanan masing-masing, khususnya prinsip halal bagi umat Muslim. Suatu bentuk kepekaan sosial dan spiritual yang patut diacungi jempol.
Langkah ini membawa mereka melakukan audiensi bersama Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Timur, Reginaldus Saverinus Sely Serang, pada Senin (2/6/2025). Dalam pertemuan tersebut, suasana tidak hanya formal, tetapi juga penuh semangat kebersamaan. Kakanwil menyambut audiensi ini dengan tangan terbuka dan hati yang luas.
“Kami mengapresiasi semangat Tim Pengelola MBG yang proaktif memastikan bahwa makanan yang dikonsumsi siswa-siswi kita sesuai prinsip halal. Kami siap memberikan pendampingan, baik melalui Penyuluh Agama, Satgas Halal, maupun koneksi ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) setempat,” ujar Reginaldus.
Kakanwil juga menekankan bahwa jaminan produk halal bukan sekadar syarat legal-formal, melainkan tanggung jawab moral dan religius dalam penyelenggaraan layanan publik yang inklusif dan bermartabat. Sebuah pandangan yang selaras dengan semangat moderasi beragama dan ajaran lintas iman yang menempatkan manusia sebagai pusat pelayanan.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Regional Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Prov. NTT, Oswaldus Ngani, menyampaikan apresiasi atas kesempatan audiensi ini dan menyatakan kesiapan timnya untuk memperhatikan hal-hal yang disampaikan Kakanwil terkait halal.
Siap sedia untuk bekerja bersama lintas sektor dan lintas agama membuat ungkapan “Unitas in varietate” – “Persatuan dalam keberagaman”, menjadi semboyan yang hidup dan sungguh-sungguh dijalankan di NTT. Ia hadir di ruang kelas, di meja makan, di altar dan sajadah, dan bahkan di kantor-kantor pelayanan publik.
Apa yang kita saksikan di NTT sesungguhnya adalah sebuah miniatur Indonesia yang damai, di mana iman bukan alat pemisah, tetapi jembatan yang menghubungkan hati. Moderasi bukan slogan, tetapi napas kehidupan bersama.
Dan seperti embun pagi yang selalu datang dengan tenang, begitulah toleransi di bumi Flobamora—datang tanpa paksaan, tumbuh dalam kesadaran, dan bertahan karena cinta.
(Tryles Neonnub/Humas Kanwil Prov. NTT)