Di banyak tempat, kita sering menemukan sosok-sosok muda yang mencoba menyapa jamaah dengan cara yang lebih akrab, lebih mendengar. Mereka mungkin bukan nama besar, tapi kehadirannya sangat dirasakan di lingkungan sekitar. Cerita ini mengajak kita membayangkan seorang khatib muda bernama Arif Rahman, yang menjadikan Masjid Al-Hikmah di sebuah sudut Banyumas sebagai ladang dakwah yang humanis. Arif bukan tokoh nyata, namun ia adalah representasi dari wajah-wajah muda yang tumbuh di tengah keresahan umat. Sosok seperti Arif adalah cermin dari realitas sosial yang kerap terabaikan: umat yang rindu kepada dakwah yang lebih menyentuh sisi kemanusiaan.
Belajar Mendengar di Mimbar
Setiap Jumat, Arif tidak hanya mempersiapkan teks khutbah, tetapi juga meluangkan waktu mendengar cerita jamaah selepas subuh. Ia percaya, seorang khatib seharusnya tidak berdiri di atas menara kebenaran, melainkan hadir di tengah umat, menjadi sahabat yang merangkul keresahan mereka. Dari obrolan ringan tentang harga kebutuhan pokok, kecemasan orang tua terhadap pergaulan anak, hingga kegelisahan atas polarisasi agama di media sosial, Arif merangkai tema khutbahnya. Ia sadar bahwa khutbah yang menyentuh adalah khutbah yang lahir dari denyut nadi masyarakat.
Dalam khutbahnya, Arif jarang mengutip dalil panjang lebar dengan bahasa tinggi. Ia memilih bertutur, menyampaikan pesan agama lewat kisah-kisah kecil yang dekat dengan keseharian jamaah. Inilah yang disebut Azyumardi Azra sebagai “Islam Substantif”, yakni dakwah yang lebih menekankan nilai dan makna ketimbang sekadar simbol dan seremonial (Azra, Islam Substantif, Mizan, 2000). Arif tidak anti terhadap teks-teks kitab, namun ia lebih mengutamakan bagaimana ajaran tersebut bisa dihidupkan dalam pengalaman sehari-hari jamaahnya.
Di sela-sela khutbahnya, ia kerap menyisipkan dialog retoris: “Ibu-ibu, siapa di rumah yang sering merasa khawatir anaknya terpengaruh tontonan di media sosial?” Pertanyaan sederhana ini sering memantik senyum para jamaah perempuan yang duduk di serambi belakang masjid. Dengan cara ini, khutbah menjadi lebih hidup dan interaktif, bukan sekadar monolog yang kaku.
Moderasi Bukan Wacana di Atas Kertas
Di tangan Arif, gagasan moderasi beragama tidak berhenti di meja seminar. Ia merasakannya sebagai kebutuhan mendesak di tengah umat yang kian rentan terbelah oleh isu-isu identitas. Buku Saku Moderasi Beragama terbitan Kementerian Agama (2020) memang sering ia baca, namun Arif tahu bahwa moderasi tidak cukup hanya dikampanyekan; ia harus dihadirkan dalam pola dakwah yang penuh empati. Moderasi baginya bukan jargon, melainkan sikap hidup yang ditunjukkan melalui laku sehari-hari.
Arif sering mengajak pemuda-pemudi di kampungnya untuk terlibat dalam diskusi santai selepas Maghrib, membahas isu-isu agama dengan pendekatan dialogis. Bukan untuk menggurui, tetapi menciptakan ruang bersama untuk bertanya dan mencari hikmah. Dalam forum-forum kecil ini, ia mendengarkan kegelisahan anak-anak muda tentang bagaimana menghadapi perbedaan pandangan di lingkungan mereka. Arif mengajarkan bahwa berdebat tidak harus saling menjatuhkan, bahwa perbedaan tidak perlu menjadi tembok pemisah.
“Moderasi itu dimulai dari cara kita mendengarkan orang lain,” ujar Arif dalam salah satu diskusi. Kalimat itu sederhana, tapi sering membuat para pemuda merenung. Dakwah yang mengedepankan rasa, bukan hanya logika, ternyata lebih mudah diterima dan membekas di hati.
Pesan Islam yang Menyejukkan
Dalam khutbah-khutbahnya, Arif kerap mengutip refleksi Gus Mus tentang pentingnya membumikan amar ma’ruf nahi munkar dengan sejuk. Dalam bukunya Pesan Islam Sehari-hari, Ritus Dzikir dan Gempita Ummat (Risalah Gusti, 1999), Gus Mus menekankan bahwa berdakwah tidak harus dengan menghakimi, melainkan dengan merangkul dan memahami. Dakwah yang menyentuh hati akan jauh lebih bermakna ketimbang ceramah yang memaksakan kebenaran.
Arif menyadari, banyak jamaah yang mungkin tidak siap dengan retorika yang keras atau istilah-istilah teologis yang kaku. Oleh karena itu, ia berusaha membangun komunikasi dakwah yang sederhana namun jernih, agar setiap pesan keislaman terasa relevan dalam kehidupan sehari-hari. Ia sering bercerita tentang kisah-kisah kecil: seorang pedagang jujur di pasar, tetangga yang diam-diam membantu warga miskin, atau seorang anak muda yang tetap menjaga sopan santun meski hidup di tengah derasnya arus digitalisasi.
Baginya, kisah-kisah sederhana itu lebih efektif menanamkan nilai-nilai Islam ketimbang ceramah panjang yang penuh istilah asing. Inilah dakwah yang membumi, dakwah yang menghidupkan kembali nilai-nilai Islam yang ramah dan penuh kasih.
Menghidupkan Kembali Dakwah yang Membumi
Kisah Arif Rahman mungkin hanyalah potret imajinatif. Namun, ia lahir dari keprihatinan atas fenomena dakwah yang sering terjebak dalam formalisme. Banyak mimbar yang kehilangan sentuhan empati, terlalu sibuk menyampaikan fatwa tanpa mendengar denyut kehidupan umat. Cerita tentang Arif adalah ajakan untuk merenung, apakah mimbar-mimbar kita masih menjadi ruang yang ramah bagi semua kalangan, ataukah telah berubah menjadi menara penghakiman yang menakutkan?
Narasi ini adalah undangan reflektif bagi kita semua, bahwa mimbar masjid seharusnya menjadi ruang yang ramah, tempat di mana umat merasa didengarkan, bukan dihakimi. Dakwah yang membumi, yang tumbuh dari dialog, akan menjadi pondasi kuat bagi terciptanya harmoni sosial. Moderasi beragama bukan tugas satu pihak saja, melainkan ikhtiar kolektif yang dimulai dari cara kita berbicara dan mendengarkan.
Seperti yang diingatkan Prof. Moh. Roqib, Guru Besar UIN Saizu, “Dakwah hari ini bukan lagi soal siapa yang paling fasih bicara, melainkan siapa yang paling dalam mendengar.” Pesan ini bukan sekadar kutipan indah, tetapi merupakan pedoman penting di era di mana informasi begitu cepat menyebar, namun empati sering tertinggal.
Dalam bayangan Arif Rahman, dakwah bukanlah tentang menaklukkan podium, melainkan tentang menautkan hati. Ia percaya bahwa setiap khutbah yang jujur mendengar akan berbuah pada kesadaran kolektif, bahwa Islam adalah agama yang memuliakan akhlak dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Semangat ini yang perlu terus dihidupkan, agar mimbar-mimbar masjid kembali menjadi ruang harapan, bukan ruang penghakiman.
Kisah ini hanyalah sebuah cermin kecil dari realitas sosial kita, di mana nilai-nilai moderasi dan kesejukan dalam dakwah selalu relevan untuk dihidupkan kembali. Arif Rahman mungkin hanya karakter imajinatif, tetapi semangatnya nyata di banyak sudut negeri ini, di mana para dai muda berjuang menyapa umat dengan cara yang lebih ramah, lebih mendengarkan, dan lebih membumi.
Mungkin di masjid-masjid kecil, di kampung-kampung, sosok seperti Arif tengah tumbuh, menata kembali wajah dakwah yang lebih memeluk, bukan mendorong. Cerita ini adalah refleksi dari harapan, bahwa dakwah yang sejati selalu bermula dari ketulusan hati.***
Abdul Wachid B.S (Penulis adalah penyair, Guru Besar Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia, Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto)