Microsoft digugat oleh sekelompok penulis ternama, termasuk pemenang Pulitzer Kai Bird dan jurnalis Jia Tolentino, atas dugaan penggunaan ilegal buku-buku mereka untuk melatih kecerdasan buatan (AI) milik perusahaan. Gugatan ini menjadi babak terbaru dalam perseteruan global antara industri kreatif dan perusahaan teknologi dalam era AI generatif.
Gugatan diajukan pada Selasa waktu setempat di pengadilan federal New York, dan menyebut bahwa Microsoft menggunakan hampir 200.000 buku digital bajakan sebagai bahan pelatihan model AI bernama Megatron, sebuah sistem algoritma teks yang mampu menghasilkan respons seperti manusia.
Para penulis menuduh Microsoft menciptakan model komputer yang “dibangun dari hasil kerja ribuan penulis, serta dirancang untuk meniru gaya, suara, dan tema karya mereka”, tanpa izin ataupun kompensasi.
Para penggugat meminta kompensasi hingga US$150.000 (sekitar Rp2,4 miliar) per karya yang dilanggar, serta perintah pengadilan untuk menghentikan praktik pelanggaran hak cipta oleh Microsoft.
“Ini bukan sekadar pencurian konten, tetapi pencurian gaya berpikir dan ekspresi intelektual penulis,” ujar salah satu isi gugatan, seperti dilansir dari Reuters.
Microsoft belum memberikan tanggapan resmi atas gugatan tersebut. Sementara itu, kuasa hukum para penulis juga menolak berkomentar lebih lanjut.
Gugatan terhadap Microsoft ini muncul hanya sehari setelah pengadilan federal di California memutuskan bahwa perusahaan AI Anthropic memang melakukan “fair use” dalam penggunaan materi berhak cipta untuk pelatihan AI, namun tetap bisa dianggap bersalah jika terbukti menggunakan versi bajakan.
Putusan ini menjadi tonggak hukum penting di AS terkait legalitas penggunaan karya berhak cipta dalam pelatihan AI, yang selama ini masih berada dalam wilayah abu-abu.
Microsoft bukan satu-satunya raksasa teknologi yang menghadapi tekanan hukum. Perusahaan seperti Meta, Anthropic, dan bahkan mitranya sendiri, OpenAI, juga tengah bergulat dengan gugatan dari penulis, media, dan penerbit yang menuntut kejelasan serta kompensasi atas pemanfaatan karya mereka dalam pelatihan mesin AI.
Para perusahaan teknologi umumnya berargumen bahwa mereka melakukan “fair use”, atau penggunaan wajar, dengan alasan konten yang dihasilkan AI bersifat transformatif dan tidak menyalin secara langsung karya asli. Namun, bagi para penulis, praktik ini merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hak kekayaan intelektual.
Jika gugatan ini dimenangkan oleh para penulis, Microsoft dan perusahaan lain bisa menghadapi kewajiban membayar ratusan juta dolar hanya untuk satu model AI. Lebih jauh lagi, keputusan ini bisa membuka jalan bagi regulasi yang lebih ketat terhadap cara pelatihan model AI di masa depan.
Saat teknologi semakin cepat melaju, pertanyaan besar pun muncul adalah, siapa yang benar-benar memiliki hak atas pengetahuan, gaya bahasa, dan kreativitas manusia ketika semuanya bisa dilatih ulang oleh mesin?