Meta kembali mengambil langkah berani dengan membangun laboratorium riset baru senilai $14,3 miliar yang difokuskan pada pengembangan superintelligence.
Di tengah kompetisi ketat dalam perlombaan kecerdasan buatan global, pendiri dan CEO Meta, Mark Zuckerberg, menargetkan pencapaian besar berikutnya dalam dunia AI: menciptakan mesin yang tidak hanya setara, tetapi melampaui kecerdasan manusia.
Keputusan membangun lab superintelligence ini adalah sinyal jelas dari Zuckerberg bahwa ia tidak ingin Meta sekadar jadi pemain di belakang layar.
Ia ingin Meta berada di garis depan revolusi AI, bahkan jika itu berarti menggelontorkan dana besar dan bersaing ketat dengan nama-nama seperti OpenAI, Google DeepMind, dan Anthropic.
Lab ini akan dipimpin oleh Alexandr Wang, CEO dan salah satu pendiri Scale AI, perusahaan yang dikenal luas dalam bidang data labeling dan infrastruktur AI.
Baca juga: Survei Twilio 2025: AI Tingkatkan Pendapatan Brand Indonesia
Meta bukan hanya berinvestasi di Scale AI, tetapi juga berhasil menarik Wang ke dalam proyek superambisius ini.
Apa Itu Superintelligence?
Dalam istilah teknologi, superintelligence merujuk pada sistem AI yang lebih cerdas dari otak manusia dalam hampir semua aspek, mulai dari logika, analisis, kreativitas, hingga pengambilan keputusan.
Istilah ini berbeda dengan AGI (Artificial General Intelligence), yang lebih merujuk pada kecerdasan mesin yang mampu melakukan semua tugas intelektual manusia.
Sementara AGI masih dianggap belum tercapai dan jalannya pun belum pasti, superintelligence sudah mulai menjadi topik serius di Silicon Valley.
Ini menandai pergeseran arah besar di industri teknologi, dari sekadar membuat AI generatif seperti chatbot ke arah mesin yang benar-benar bisa berpikir secara mandiri.
Siapa Lagi yang Mengembangkan Superintelligence?
Bukan hanya Meta yang masuk ke ranah ini. Ilya Sutskever, mantan Chief Scientist OpenAI, juga mendirikan startup bernama Safe Superintelligence, dengan misi untuk membangun superintelligence secara privat dan hanya akan merilis teknologi tersebut jika benar-benar aman.
Namun pendekatan Meta jauh lebih terbuka dan agresif: mereka siap merekrut para peneliti top dunia dengan tawaran gaji hingga $100 juta, dan menyatakan bahwa lab ini akan menjadi jantung riset AI mereka ke depan.
Kenapa Meta Bangun Lab Baru?
Meta sebenarnya telah terlibat di dunia AI sejak 2013. Saat itu, mereka membangun lab AI pertama yang dipimpin oleh ilmuwan AI ternama, Yann LeCun.
Namun seiring waktu, posisi Meta dalam perlombaan AI mulai tertinggal. Produk AI terbaru mereka, Llama 4, tidak mampu bersaing dengan model dari OpenAI dan Google.
Dengan adanya keluhan internal terkait manajemen proyek dan kehilangan sejumlah talenta, Meta menyadari bahwa mereka butuh langkah besar yang baru.
Baca juga: Cara Membuat dan Mengedit Gambar AI di WhatsApp dengan ChatGPT
Maka lahirlah ide mendirikan laboratorium khusus superintelligence ini, sebagai bentuk rebranding ambisi mereka di bidang AI.
Meta dikabarkan mulai meninggalkan pendekatan lama yang hanya mengandalkan data besar. Mereka kini menjajaki reinforcement learning, metode belajar AI berbasis trial-and-error untuk membawa sistem lebih dekat pada kecerdasan sejati.
Namun tidak semua ahli optimis. Subbarao Kambhampati, peneliti AI dari Arizona State University, menyebut bahwa teknologi saat ini masih jauh dari AGI atau superintelligence. Menurutnya, AI canggih pun tetap membutuhkan campur tangan manusia.
Meta dan Budaya Open Source
Salah satu keunikan Meta adalah komitmen mereka terhadap open source. Tidak seperti pesaingnya yang enggan membagikan teknologi terbaru, Meta justru mendorong pengembang dari seluruh dunia untuk mengakses dan mengembangkan teknologi mereka bersama.
Hal ini mempercepat ekosistem AI global, meski risikonya adalah kehilangan keunggulan kompetitif.
Sumber foto: Instagram