Buku: The Thinking Machine: Jensen Huang, Nvidia, and the World’s Most Coveted
Microchip
Penulis: James Witt
Penerbit: Viking
ISBN :10-059-3832698 / 13-978-0593832691
272 hal
Jika ada tokoh sekaliber Steve Jobs, penggagas dan pengembang Apple, dalam membuat presentasi bisnis yang fenomenal, visi yang mumpuni tentang masa depan teknologi, ikon teknologi canggih dunia, namun bergaya kasual, bisa jadi tokoh tersebut adalah Jensen Huang. Jaket kulit hitam sering tersemat di tubuhnya, menemaninya saat bertemu tokoh dunia atau tengah memberikan pandangannya di atas panggung. Huang kerap tampil segar dan cerdas dengan ide-ide inovatifnya dalam bidang teknologi.
Ia adalah pendiri sekaligus Chief Executive Officer (CEO) Nvidia, perusahaan multinasional Amerika Serikat yang memproduksi Graphics Processing Unit (GPU). Bisa dibilang, Huang adalah salah satu orang yang “bertanggung jawab” terhadap merebaknya pemakaian Artificial Intelligent (AI) belakangan ini sebab Nvidia, melalui chip semikondukor yang diproduksinya, dipakai oleh berbagai pusat pengolahan data dunia kini, selain fungsi dasarnya sebagai perangkat penyokong video game. Nvidia adalah sebuah kekuatan korporasi dan finansial tersendiri dengan valuasi mencapai miliar dolar AS dalam dua tahun terakhir.
Untuk setiap komputer yang ada di meja atau ditenteng ke mana pun, orang akan mudah memahami spesifikasinya yang terdiri dari sokongan GeForce untuk kartu grafisnya. GeForce adalah salah satu produk andalan Nvidia yang dikabarkan telah menggeser dominasi Intel dan AMD dalam persaingan produk kartu grafis komputer di dunia. Ia membuat tampilan layar komputer dan grafis seolah makin mendekati realitas, membawa kesan nyata di layar, melipat jarak antara realitas semu dan realitas sesungguhnya, dan AI dalam banyak hal telah merevolusi struktur pemahaman manusia.
Dalam film “subservience” (2024) yang dibintangi Megan Fox, penonton disuguhi penampilan AI yang canggih namun menggiriskan. Alice (diperankan oleh Megan Fox) digambarkan mampu menggantikan peran manusia dalam banyak hal selain rasa dan perasaan. Robot yang digerakkan AI ini mampu tampil sedemikian cantik dan menggoda, namun juga mematikan. Ia bahkan memiliki rasa cemburu pada tuannya (Nick) yang menyebabkan tumbuhnya sikap ganas pada keluarga Nick. Subservience menggambarkan batas pemanfaatan AI yang sulit dijelaskan. Ia berakhir dengan pertanyaan besar dengan tragedi interaksi robot dan manusia yang digambarkan belum selesai. Buku The Thinking Machine: Jensen Huang, Nvidia, and the World’s Most Coveted Microchip karya James Witt (2025) ini berkisah tentang kiprah Nvidia, capaian AI, dan sosok di balik kesuksesannya: Jensen Huang.
Witt mengulas “alumni” Silicon Valley, lokus pusat inovasi teknologi dan bisnis ternama di San Fransisco, setelah penulis ternama Walter Isaacson melakukannya pada Steve Jobs dan Elon Musk. Isaacson dengan cerdas membuat biografi keduanya sebagaimana Brad Stone melakukannya pada konglomerat Amazon Jeff Bezos atau Michael Becraft pada pendiri Microsoft, Bill Gates. Witt mengawali kisah Huang dengan menyatakan bahwa Huang adalah representasi dari inovasi dan gerak perubahan. Huang semula adalah vendor dari produksi perangkat keras video game yang, didukung visi teknologi dan industrial yang kuat, kemudian mengembangkan usahanya ke bisnis perangkat teknologi artificial intelligent. Shifting ini menjadikan Nvidia sebagai perusahaan yang sangat kuat secara finansial dan pengaruh dependensial di dunia.
Witt menggambarkan Huang sebagai pribadi yang hangat, jenaka, dan rendah diri, namun kadang merupakan sosok yang sulit ditebak. Dalam rangka mengembangkan perusahaan dan bisnisnya, ia membiasakan diri sebagai figur gila kerja yang biasa berteriak-teriak dalam memberikan instruksi ke bawahannya. Namun demikian, Jensen Huang adalah pribadi yang memiliki visi yang kuat dan pebisnis tangguh. Witt mengisahkan, Huang adalah figur yang dengan berani mengembangkan komputasi parallel (parallel computing) pada sekitar akhir 1990an pada saat banyak orang menghindarinya karena unsur spekulasinya yang tinggi.
Sempat membuat oleng Nvidia karena keuangan yang limbung dan valuasi yang mengecil tersebab mengikuti idenya dalam komputasi pararel, pilihan Huang menemukan titik balik tahun 2012 dengan kerja sama membuat neural networks bersama ilmuwan dari Kanada. Neural networks dan parallel computing dapat dikatakan sebagai kombinasi yang melandasi gagasan artificial intelligent. Pada praktiknya, Nvidia kemudian meraih kejayaan dengan produk-produknya. Membidani kerja sama dengan pionir kecerdasan buatan seperti OpenAI, Nvidia berkembang cepat dan menjadi tulang punggung berbagai aplikasi kecerdasan buatan lainnya, semisal Midjourney, ChatGPT, dan Copilot.
Huang berkembang dengan konsep diri yang disebutnya sebagai deep learning yang dikatakannya mampu merevolusi kehidupan manusia dan teknologi. Huang mendefinisikan deep learning sebagai pendekatan AI yang menggunakan jaringan jaringan saraf tiruan (neural networks) dengan banyak lapisan (layers) untuk meniru cara otak manusia memproses informasi. Berbeda dengan pemrograman tradisional yang mengandalkan aturan eksplisit, deep learning memungkinkan mesin untuk belajar dari data secara mandiri, menemukan pola, dan membuat prediksi.
Dengan keyakinan besar, Huang melihat deep learning sebagai penemuan ulang arsitektur komputer. Dalam pandangannya, deep learning menggeser paradigma dari CPU, yang berfokus pada pemrosesan sekuensial, ke GPU, yang unggul dalam pemrosesan paralel, memungkinkan pelatihan model AI skala besar seperti yang digunakan dalam ChatGPT atau model bahasa besar lainnya. Huang percaya deep learning memiliki potensi tak terbatas, dari mobil otonom, robotika, penemuan obat, hingga simulasi dunia virtual melalui Nvidia Omniverse. Ia sering menyebut AI berbasis deep learning sebagai “mesin penemuan ilmiah” yang dapat mempercepat inovasi manusia. Mungkin, di titik inilah Jensen Huang disebut Witt sebagai pribadi yang kadang angkuh, dengan pemaknaannya terhadap potensi AI.
Sebagai pribadi dengan resiliensi yang kuat, Jensen Huang percaya diri dengan konsep dirinya. Ia belajar banyak dari cerita kegagalannya di masa lalu. Dengan deep learning, Huang sering menganalogikannya melalui pendekatan hidupnya. Ia percaya, seperti jaringan saraf yang belajar melalui iterasi dan kesalahan (backpropagation), kesuksesan Nvidia berasal dari kemampuan untuk belajar dari kegagalan yang dirasakannya, seperti halnya kegagalan chip NV1 pada 1995 atau tantangan awal di pasar AI.
Bicara tentang potensi AI, di sini pula mungkin masalahnya. Huang sepertinya menghindari pertanyaan seperti ini dan dengan cukup ketus mengalihkan pertanyaan. Witt mengatakan hal tersebut dengan jelas di awal buku ini. Dalam buku Witt ini, Huang digambarkan menghindari diskusi mendalam tentang risiko eksistensial AI. Kita tahu, di balik kemampuan analitisnya, AI mengidap risiko cukup besar seperti penyalahgunaan teknologi atau dampak pada lapangan kerja. Huang lebih fokus pada potensi positif yang kadang dilihat sebagai sikap yang kurang berimbang. Buku The Thinking Machine: Jensen Huang, Nvidia, and the World’s Most Coveted Microchip adalah biografi sekaligus afirmasi sikap diri Jensen Huang.
Saiful Maarif, bekerja pada Ditjen Pendidikan Islam